Rahmat Abdullah, yang seringkali dipanggil Bang Mamak
oleh warga Kampung Kuningan ini, meskipun lahir dari pasangan asli Betawi,
namun ia selalu menghindari sebutan Betawi yang dianggapnya berbau kolonial
Belanda. Ia lebih bangga dengan menyebut Jayakarta, karena baginya itulah nama
yang diberikan Pangeran Fatahillah kepada tanah kelahirannya. Sebuah sikap yang
tak lain lahir dari semangat anti kolonialisme dan imperialisme, serta
kebanggaan (izzah) terhadap warisan perjuangan Islam.
Pada usia 11 tahun, Rahmat kecil harus menapaki
hidupnya tanpa asuhan sang ayah, karena saat itu ia telah menjadi seorang anak
yatim. Sang ayah hanya mewariskan pada dirinya usaha percetakan-sablon, yang ia
kelola bersama sang kakak dan adik untuk menutupi segala biaya dan beban hidup
yang mesti ditanggungnya.
Meskipun begitu, Rahmat bukanlah remaja yang cengeng.
Walaupun harus ikut membanting tulang mengais rezeki, ia tetap tak mau
tertinggal dalam pendidikan. Awal pendidikan resminya ia mulai sejak masuk sekolah
dasar negeri di bilangan Kuningan, yang kala itu masih berupa perkampungan
Betawi, belum berdiri gedung-gedung pencakar langit. Dan seperti umumnya
generasi saat itu, Rahmat kecil setiap pagi mengaji (belajar membaca Al Quran,
baca tulis Arab, kajian aqidah, akhlaq & fiqh dengan metode baca kitab
berbahasa Arab, nukil terjemah dan syarah ustadz) baru siang harinya
dilanjutkan dengan sekolah dasar.
Tahun 1966, setelah lulus SD, yang tahun ajarannya
diperpanjang setengah tahun karena terjadi peristiwa G-30-S/PKI, Rahmat masuk
SMP. Tapi kali ini ia mesti keluar lagi karena terjadi dilema dalam dirinya.
Ironi memang, di satu sisi keaktifan dirinya sebagai aktifis demonstran anggota
KAPPI & KAMI yang dikenal sebagai angkatan 66, namun di hari Jum’at sekolahnya
justru masuk pukul 11.30, tepat saat shalat Jum’at.
Karenanya pada permulaan tahun ajaran berikutnya
(1967/1968) Rahmat memutuskan pindah ke Ma’had Assyafi’iyah, Bali Matraman.
Dari hasil test dan interview, ia harus duduk di kelas II Madrasah Ibtidaiyah
(tingkat SD). Namun Rahmat tidak puas dengan hasil itu, ia mencoba melakukan
lobby dengan seorang ustadz, untuk melakukan test ulang hingga ia pindah duduk
di kelas III.
Permulaan belajar di Ma’had ini, bagi Rahmat begitu
berbekas. Apalagi ia harus ikut mengaji pada seorang ustadz senior Madrasah
Tsanawiyah (Tingkat SMP) yang sangat streng dalam berbicara dan mengajar dengan
bahasa Arab. Namun tak selang lama, ternyata sang guru kelas ini justru
sama-sama mengaji bersamanya.
Rahmat memang langsung meloncat naik ke kelas V, di
sinilah ia belajar ilmu nahwu dasar yang sangat ia sukai karena dengan ilmu itu
terkuaklah setiap misteri intonasi dan narasi penyiar Shauth Indonesia, yang
sering disiarkan oleh radio RRI dengan berbahasa Arab. Siaran inilah yang menjadi
acara kesukaan Rahmat. Sehingga meski hidupnya serba kekurangan, namun karena
sadar akan pentingnya komunikasi dan informasi, Rahmat merelakan uang makannya
untuk dikumpulkan sedikit demi sedikit dari hasil jerih payahnya mencari
pelanggan sablon, untuk membeli radio. Padahal saat itu, radio masih menjadi
status simbol bagi orang-orang kaya zaman itu.
Selepas kelas V, Rahmat melanjutkan di Madrasah
Tsanawiyah Assyafi’iyah. Di MTs ini ia belajar ushul fiqh, musthalah hadits,
psikologi & ilmu pendidikan, di samping tetap belajar ilmu nahwu, sharf dan
balaghah. Tapi pelajaran yang paling ia sukai adalah talaqqi. Biasanya talaqqi
ini dilakukan langsung dengan para masyaikh (kiai) serta bimbingan langsung
sang orator pembangkit semangat yang selalu memberikan inspirasi Rahmat muda,
KH Abdullah Syafi’i.
Di saat ini pula Rahmat merintis dakwah dengan
mengajar di Ma’had Asyafi’iyah dan Darul Muqorrobin, Karet Kuningan. Di tempat
inilah Rahmat remaja mengabdikan dirinya sebagai guru, pendidik dan mengajarkan
berbagai ilmu. Keseharian ini ia jalani bertahun-tahun dengan berjalan kaki
dari Bali Matraman ke Karet Kuningan. Bahkan untuk memberikan pelajaran
tambahan berupa les privat pun ia lakukan dengan berjalan kaki masuk ke
lorong-lorong jalanan Jakarta hingga larut malam.
Semangat hidup dan dakwah ini juga ia tuangkan dalam
berbagai untaian bait-bait syair, puisi serta berbagai tulisan artikel kecil
yang ia kirim ke berbagai media. Tak jarang ia juga berlatih bermain teater
bersama rekan-rekan guru atau teman-teman seperjuangannya.
Dari jerih payah inilah, selain bisa membeli sebuah
motor Honda 66 atau sering disebut motor Chips, Rahmat Abdullah mampu mengasah
watak dan pikirannya sehingga menjadi murid terbaik dan murid kesayangan dari
KH. Abdullah Syafi’i. Bahkan sempat pada tahun 1980, bersama empat rekannya mau
diberangkatkan ke Universitas Al Azhar Kairo Mesir, namun sayang gagal karena
adanya ‘fitnah’ dari kalangan internal.
Namun hal itu tak menyurutkan Rahmat untuk selalu
belajar. Sejak berkenalan dengan Syeikh Mesir yang pernah dikenalkan KH.
Abdullah Syafi’i padanya, ia mulai senang melahap berbagai buku dan pemikiran
Islam seperti Hasan Al Banna, Sayyid Quthb, Al Maududi serta tokoh nasional
seperti HOS Cokroaminoto dan M. Natsir.
Sedang dari perjalanan dakwah bersama remaja-remaja
Kuningan, menjadikannya sangat suka kala berdiskusi dan berguru dengan
tokoh-tokoh M Natsir, Mohammad Roem ataupun Syafrudin Prawiranegara. Rahmat pun
mengakui secara terus terang mengadopsi logika dan metode orasi yang ia ambil dari
sang orator Isa Anshari dan Buya Hamka serta sang gurunya sendiri, Abdullah
Syafi’i yang masyhur dengan teriakan lantang penggugah jiwa.
Rahmat remaja meski dikenal sebagai demonstran tapi
sosoknya dikenal lembut, bahkan dianggapnya seringkali tidak bisa marah.
Kemarahannya akan terlihat meledak jika Islam dilecehkan. Sebagaimana saat
mendengar pembicaraan sang kakak, Rahmi, saat meminta kolega bisnisnya yang
bekerja sebagai Kopasanda -Kopassus- untuk melunasi hutangnya. Tapi Kopassanda
malah menjawab, “Nabi saja bisa meleset janjinya.” Kontan mendengar pernyataan
itu Rahmat keluar dari ruangan samping dan langsung berucap, “Nabi yang mana
janjinya tidak tepat,” Kopasanda itu malah menjawab, “Anda ndak usah ikut
campur dengan urusan ini.” Rahmat remaja langsung menyambut, “Suara Bapak
terdengar di telinga saya di sini, sekali pun bapak berpakaian dinas, nabi yang
mana yang ingkar janji itu,” ujar Rahmat menahan emosi. Akhirnya Kopasanda itu
minta maaf.
Sikap tegas ini lah yang menjadikan Rahmat Abdullah muda
sangat disegani para pemabok ataupun preman. Karena caranya mendekati yang
bersahabat. Bahkan, meski pernah kakaknya disakiti jagoan Kuningan waktu itu,
H. Hamdani, ia tetap bisa menghadapinya dengan baik. Malah anak jagoan itu yang
kemudian sempat ditahan polisi.
Anak-anak muda, preman, seniman semuanya ia rangkul
terutama dalam wadah seni teater yang sering ia gelar di lapangan depan masjid
Raudhtul Fallah —lapangan yang berada di belakang Dubes Malaysia saat ini-. Di
tempat inilah Rahmat muda sering mengekspresikan syair dan puisinya serta
peranan imajinasi dan pemikirannya sebagai sutradara teater dengan menggelar
pagelaran teater drama terbuka. Teater yang terakhir kali ia pentaskan berjudul
“Perang Yarmuk” yang tampil bersama Abdullah Hehamahua (1984). Dimana
pementasannya sempat dikepung oleh intel dan aparat keamanan karena dianggap
subversif di masa kekuasan Suharto.
Selepas pentas pun, tak ayal Rahmat dipanggil untuk
menghadap KODIM. Namun Rahmat justru menjawab “Kalau yang memanggil Ibu, saya akan
datang. Kalau yang memanggil KODIM sampai kapan pun saya tak akan pernah
datang. Kalau mau saya datang ke KODIM, datang dulu ke ibu saya,” ungkap Rahmat
muda menjawab aparat dari kodim yang melayangkan surat panggilannya. Bahkan
salah satu aparat KODIM, Soeryat, sempat menangis di hadapan Rahmat muda karena
nasehat-nasehatnya agar tidak saling ‘memberangus’ sesama Muslim.
Keasyikan menceburkan diri dalam dakwah, rupanya
menjadikan Rahmat tak sadar telah dimakan usia. Rahmat baru tersadar ketika
seorang teman yang baru menikah mengingatkan sudah waktunya memikirkan bangunan
rumah tangga. Barulah ia menyadari usianya sudah memasuki tahun ke-32.
Malam itu, malam Kamis 14 Ramadhan 1405 H. (1984 M),
bertiga; Rahmat, ibunda dan bibi datang mengkhitbah seorang anak yang pernah
menjadi muridnya, Sumarni, tatkala Rahmat duduk di kelas II MTs. Saat itu
Sumarni masih menjadi siswi kelas I Madrasah Ibtidaiyah (lk. Umur 5 tahun). Ia
adalah sang nominator juara I untuk lomba praktik ibadah.
Saat berlangsungnya khitbah, ketika keluarga Rahmat
mengajukan usulan walimah bulan Syawal seperti kebiasaan Rasululllah saw,
seorang ustadz wakil dari perempuan mengatakan, “Itu tetap walimah, tetapi Anda
tidak akan menemukan keberkahan seperti bulan (Ramadhan) ini.” Akhirnya, disepakati
untuk nikah besok malamnya, malam Jum’at 15 Ramadhan. “Soal KUA urusan Ane,
tinggal terima surat aje,” ujar ustadz tadi. “Bah, ini rada-rada ketemu,” ujar
Rahmat muda dalam hati.
Walhasil sampai menjelang rombongan berangkat 15
Ramadhan itu, masih ada teman pemuda masjid yang bertanya, “Ini mau kemana
sih?” Apalagi suasana saat itu memang masih represif. Bahkan belum sebulan
menikah, di pagi buta ba’da subuh sesaat setelah peristiwa Tanjung Periok,
Rahmat telah dijemput untuk mendengarkan rekaman peristiwa penembakan massa di
Tanjung Priok yang terjadi semalam. Pagi itu lelaki yang sudah mulai akrab
dipanggil Ustadz Rahmat itu, bersama pemuda Islam lainnya langsung meninjau
lokasi yang porak poranda. Mendengar peristiwa itu pun, sang mertua justru mengusulkan
untuk selalu membawa sang isteri untuk diajak juga keliling berbagai kota di
Jawa. “Untuk penjajagan sikap ummat dan apa yang kerennya disebut
‘konsolidasi’lah,” ujar Ustadz Rahmat saat diwawancarai beberapa saat lalu.
Setelah menikah, ia tinggal di Kuningan, bersama Ibu
dan Adiknya. Hingga lahir tiga orang anaknya, Shofwatul Fida (19), Thoriq Audah
(17) dan Nusaibatul Hima (15).
Pada pertengahan tahun 80-an Rahmat muda bergabung
dengan Harakah Islamiyah yang saat itu tumbuh berkembang di Indonesia. Bersama
Abu Ridho, Hilmi Aminudin dan beberapa tokoh pemuda Islam lainnya terus bersatu
bergerak dalam dakwah yang lebih luas dan tertata. Gerakan dakwahnya ini lebih
terinspirasi pada gerakan Ikhwanul Muslimin yang didirikan oleh Hasan Al Banna
di Mesir yang sama-sama menjadi acuan kalangan muda saat itu
Pemikiran Hasan Al Banna yang telah lama menginspirasi
dakwah pribadinya kini telah bertemu implementasinya bersama teman-teman yang
merintis pendidikan dan kaderisasi dalam rangka penyadaran akan Islam dan
mempertahankan kemurniannya. Di wadah baru inilah Rahmat selain berdiskusi,
mengakses berbagai informasi tanpa melalaikan fungsi utama juga sebagai
pendidik, penceramah, Rahmat merintis sebuah majalah Islam yang sangat disukai
dan digemari kalangan muda. Namun sayang, saluran ekspresi pemikirannya itu
harus dibredel di saat rezim orde baru mulai mengkhawatirkan kiprahnya. Namun
pembredelan itu tak menyurutkan Rahmat untuk membuka lembaran baru berekspresi
dalam dakwah.
Dan setelah 8 tahun menetap di Kuningan, ia mengontrak
di Jl. Potlot I/ 29 RT 2 RW 3 Duren Tiga, Kalibata. Di sana lahir anaknya, Isda
Ilaiha (13). Tapi panggilan dakwah sepertinya lebih memanggilnya. Tahun 1993
bersama murid-muridnya mencoba membangun pengembangan dunia pendidikan dan sosial
dengan mendirikan Islamic Center Iqro’ yang terletak di Pondok Gede, Bekasi,
Jawa Barat.
Di sini pula ia menetap dan memboyong keluarganya dari
kontrakannya di Gang Potlot, Duren Tiga, Kalibata menuju tanah yang masih penuh
rawa untuk berekspresi mengembangkan cita-citanya melalui kajian kitab-kitab
klasik dan kontemporer. Di tempat terakhir ini merintis segala impian dan lahir
anak-anaknya, Umaimatul Wafa (11), Majdi Hafizhurrahman (9), Hasnan Fakhrul
Ahmadi(7).Di sini kesibukannya, semakin padat. Tetapi, kebiasaan pribadinya,
untuk membaca, mengkaji Al Qur’an dan Tafsirnya, Hadits dan syarahnya tetap
berjalan. Begitupun, kegiatannya mengisi pengajian di kantor, kampus, serta
melayani berbagai macam konsultasi sejak lepas subuh hingga jam 08.00 pagi. Ditambah
lagi kesibukan di Iqro’.
Bahkan, kegiatan rutin ini tetap ia jalani meskipun
semenjak tahun 1999 ia diamanahi sebagai Ketua Bidang Kaderisasi DPP Partai
Keadilan. Demikian juga saat beralih menjadi Ketua Majelis Syuro sekaligus
Ketua Majelis Pertimbangan Partai Keadilan Sejahtera yang ia dirikan bersama
teman-teman seperjuangan setelah lebih dari 10 tahun ia rintis.
Pada tahun 2004 sang aktivis demonstrasi, budayawan,
filosof, guru dan pendidik yang disegani anak muda ini harus masuk ke gedung
parlemen. Ustadz Rahmat terpilih sebagai wakil rakyat dari daerah pemilihan
Bandung, Jawa Barat. Dan baru pada saat Ustadz Rahmat Abdullah mencalonkan diri
inilah Bandung untuk pertama kalinya dimenangkan partai Islam.
Meskipun telah menjadi wakil rakyat, Ustadz Rahmat
dikenal dikalangan Komisi III sebagai wakil rakyat yang tetap bersuara lantang,
namun penuh santun dan filosofis sekaligus puitis dalam mengkritisi setiap
kabijakan. Tak peduli menteri, presiden dan pejabat manapun ia sampaikan
kritikan tajam membangunnya yang seringkali menjadi wacana baru bagi para
pemimpin negeri ini.
Bahkan jabatan terakhir sebagai Ketua Badan Penegak
Disiplin Organisasi Partai Keadilan Sejahtera ia emban dengan penuh amanah dan
luapan semangat hingga akhir hayatnya saat ia harus dijemput kematian sesaat
setelah berwudhu hendak menunaikan penghambaan pada sang Khalik, Selasa (14/6).
Sebuah harapan yang mungkin telah engkau ungkapkan
sepekan sebelum dirimu meninggal. Dimana tidak biasanya dirimu ditegur isterimu
ketika membuka album-album kenanganmu. “Lihat nih, orang Betawi kini telah
keliling dunia, ke Inggris, Jerman, Belanda, Perancis, Amerika juga Makkah.
Tinggal ke akheratnya saja yang belum,” ujarmu berseloroh yang kini telah kau buktikan.
Demikian biografi singkat KH Rahmat Abdullah, semoga
Allah melapangkan kuburnya, yang kami kutip dari warisansangmurabbi.com.
Beberapa tulisan beliau bisa disimak di Hasanalbanna.com.
Sumber :
http://www.fimadani.com/sang-murabbi-kh-rahmat-abdullah/