Setelah membahas “Indonesia Menuju Budaya Berbohong”, kali ini
blog FightForFreedom
masih membahas seputar media televisi, dengan me-review sebuah film dokumenter
tentang media televisi di Indonesia yang telah disalahgunakan untuk kepentingan
pribadi pemilik media.
Benar kata Pak Lambang, kalau mau mendapatkan fakta berita
yang sebenar-benarnya ikutilah linimasa Twitter, bukan media televisi. Dengan
adanya twitter (terutama dari jurnalis independen), media massa mainstream
tidak bisa lagi mengontrol dan menentukan opini. Ya, saya sepakat, karena media
televisi di Indonesia saat ini sudah menjadi “Tell Lie Vision”.
Tanah, air dan
udara, –merupakan sumber daya yang terbatas dan memiliki nilai yang sangat
berharga– harus dikuasai negara dan sebesar-besarnya digunakan untuk
kepentingan rakyat. Namun sayangnya di Indonesia, frekuensi publik sebagai
kekayaan udara dieksploitasi sedemikian rupa oleh para pemilik media (khususnya
televisi), dan digunakan sebesar-besarnya untuk kepentingan ekonomi dan politik
mereka sendiri tanpa memikirkan kepentingan publik. Benar-benar negara ini
sudah terbeli!
Setelah reformasi (1998), dengan cepat konglomerasi media menjadi corak industri media di Indonesia dan semakin hari kita menyaksikan pola itu berkembang semakin pesat. Mencengkeram semakin dalam pada sistem operasi media di Indonesia. Ribuan media dengan aneka format baik itu cetak, online, radio, televisi, yang informasinya kita baca, kita lihat dan kita dengar setiap hari ternyata hanya dikendalikan oleh 12 group media saja.
Setelah reformasi (1998), dengan cepat konglomerasi media menjadi corak industri media di Indonesia dan semakin hari kita menyaksikan pola itu berkembang semakin pesat. Mencengkeram semakin dalam pada sistem operasi media di Indonesia. Ribuan media dengan aneka format baik itu cetak, online, radio, televisi, yang informasinya kita baca, kita lihat dan kita dengar setiap hari ternyata hanya dikendalikan oleh 12 group media saja.
12 group media
dengan pemilik yang memiliki kepentingannya sendiri-sendiri, membanjiri publik
dengan tayangan-tayangan dalam kanal-kanal media milik mereka yang
me-manisfestasi-kan kepentingan yang jelas bukan merupakan kepentingan publik.
12 grup media itu mengendalikan ribuan media dengan aneka format. Nah, untuk
seluruh televisi di negeri ini hanya dimiliki oleh 5
orang saja. Ketua Umum Partai Golkar Aburizal Bakrie adalah pemilik ; Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh adalah pemilik MetroTV;
Ketua Dewan Pakar Partai Nasdem Harry Tanoesodibjo (kini telah keluar dari
Nasdem) adalah pemilik RCTI, GlobalTV dan MNCTV; Chairul Tanjung adalah pemilik
TransTV dan Trans7. Yang akibatnya, televisi menjadi kerap melakukan politisasi
dalam sebuah berita antara lain dengan memilih narasumber yang cenderung
berpihak kepada mereka. Hanya Eddy Kurnadi Sariaatmadja pemilik SCTV dan
Indosiar yang tidak memiliki afiliasi langsung dengan partai politik.
Jelas,
masyarakat sebagai konsumen merupakan pihak yang paling dirugikan akibat
perilaku media yang menggunakan frekuensi untuk kepentingan pribadi.
Kanal-kanal yang seharusnya digunakan untuk memberikan edukasi yang benar
justru digunakan oleh pemilik media untuk melawan musuh-musuhnya. Frekuensi
publik digunakan untuk kepentingan mereka, aktivitas kegiatan ketua parpol yang
sekaligus pemilik media disiarkan selama ber-jam-jam. Tidak hanya pada kemasan
berita, tapi juga kemasan lain seperti acara hiburan, talkshow, bahkan running
text, “pesan politik” pemilik televisi tersebut disisipkan.
Oligopoli
biasanya dilakukan oleh perusahaan – perusahaan bermodal besar. Saat perusahaan
media melakukan oligopoli mereka berdagang melalui frekwensi publik yang
tujuannya adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Kenyataannya, bagaimana
kondisinya kini? Saya rekomendasikan Anda membaca artikel “Oligopoli Media Sudah pada Tahap Membahayakan”,
artikel tersebut menyoroti bahwa tahap kepemilikan media sudah pada tahap
membahayakan dimana jurnalis yang dipekerjakan direduksi menjadi pegawai dan
bukan penulis kritis, korbannya masyarakat mendapatkan produk berita
jualan, bukan produk berkualitas perbaikan hidup mereka.
Isu – isu
politik yang kerap ditampilkan dalam pemberitaan memang ada, namun kemudian
tidak ada tanggapan berarti karena lagi-lagi isu tersebut berhasil ditutupi
dengan baik oleh media. Yang terjadi di Indonesia kurang lebih sama dengan
penelitian Noam Chomsky di buku “Politik Kuasa Media” yang mempengaruhi
pertelevisian di Amerika.
Film Dokumenter Tentang Konglomerasi Media
Fakta-fakta seputar konglomerasi televisi dan kasus-kasus lain soal kepemilikan media inilah kemudian diangkat oleh sutradara muda Ucu Agustin yang bekerja sama dengan Ursula Tumiwa dalam sebuah film dokumenter ‘DI BALIK FREKUENSI’. Film ini mengambil dua tagline sebagai otokritik bagi media, yaitu: “Hentikan Monopoli, Kembalikan Frekuensi!” dan “Media Mengabdi Publik, Tidak Menghamba Pada Pemilik”. Film dokumenter ini mengajak publik untuk melihat apa yang kini tengah terjadi di dunia media di negara kita, khususnya berkenaan dengan media yang menggunakan frekuensi publik sebagai sarananya: televisi. Pemilik media di Indonesia banyak menggunakan frekuensi publik untuk kepentingan bisnis dan politiknya, sehingga pemberitaan televisi berita kerap memihak pemilik media. Film dokumenter ini merupakan salah satu bagian dari proyek Cipta Media Bersama, sebuah proyek kolaborasi dari organisasi nonprofit Wikimedia, ICT Watch!, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dengan dukungan Ford Foundation, yang bertujuan untuk membuat masa depan media yang lebih baik di Indonesia. Ini merupakan film dokumenter panjang pertama (berdurasi 2 jam 20 menit) yang berbicara tentang media. Proses riset sudah dimulai sejak 15 Desember 2011, bertepatan dengan dibelinya portal berita Detik.com oleh Trans Corporation. Film ini mengisahkan tentang jurnalis yang percaya bahwa pekerja media harus Independen, kritis dan sejahtera. Luviana adalah seorang jurnalis, telah bekerja 10 tahun di MetroTV sebagai Asisisten Producer News. Luviana dimutasi dari newsroom ke HRD, tapi ia menolak karena ia journalist. Ia kemudian di-PHK sepihak karena mempertanyakan sistem manajemen yang tak berpihak pada pekerja, dan ia juga mengkritisi independensi newsroom yang kerap dipakai oleh kepentingan pemilik. Hingga kini, kasus Luviana masih belum ada penyelesaiannya. Anda bisa melihat jejak-jejak aksi perjuangannya melalui blog WordPress-nya tersebut. Banyak hal-hal reflektif dan personal yang ia share selama menjalani dan melalui semua proses yang berkenaan dengan kasusnya melawan Metro TV. Anda juga bisa melihat foto-foto dokumentasinya di WordPress lainnya Dukung Luviana atau twitter @dukungluviana. Silakan sahabat blogger mem-follow blog dan twitter-nya guna update informasi dan memberikan dukungan. Film ini juga mengisahkan tentang Hari Suwandi dan Harto Wiyono. Mereka adalah dua orang warga korban lumpur Lapindo yang berjalan kaki dari Porong (Sidoarjo) ke Jakarta. Menghabiskan waktu hampir satu bulan demi tekad untuk mencari keadilan bagi warga korban Lapindo yang pembayaran ganti ruginya oleh PT Menarak Lapindo Jaya belum lagi terlunasi. Namun kemudian TV One memutarbalikkan pemberitaan tentang kasus Hari Suwandi dan Harto Wiyono. Aksi protes yang di awal tampak sangat menggebu-gebu sehingga menuai banyak simpati ini berakhir dengan antiklimaks yaitu Hari Suwandi mendadak muncul di layar TV One yang menangis, menyesali aksinya dan meminta maaf kepada Aburizal Bakrie. Sungguh aneh, ada apa dibalik semua itu? Kita tahu, Aburizal Bakri adalah nama di balik perusahaan-perusahaan yang menaungi PT Lapindo dan TV One. Apa yang terjadi di balik perubahan sikap drastis Hari yang sebelumnya begitu heroik? Mari sejenak kita saksikan teaser film dokumenter tersebut di bawah ini:
link film tsb > http://www.youtube.com/watch?feature=player_embedded&v=mjmRuiWHUAQ
Film
dokumenter ini membawa kita pada perjalanan akan sebuah pencarian terhadap
makna:
- Untuk siapa media dan pers/jurnalisme itu ada?
- Untuk siapa mereka bekerja? Untuk publik ataukah untuk pemilik media?
Diharapkan
film dokumenter ini bisa sebagai cermin untuk dapat memperlihatkan kenyataan
masa depan sebagai pekerja media dan memberikan pemahaman yang lebih baik
tentang bagaimana media bekerja. Juga sebagai cermin bagi masyarakat umum, cermin
ini diharapkan menjadi perubahan sikap dari penerimaan mutlak
penayangan-penayangan berita sehingga mereka menjadi lebih awas dalam memilih
informasi yang mereka terima.
Dalam
catatannya tentang film ini, Ucu Agustin menulis:
Pers dulu
dibungkam, pers sekarang dibeli. Benarkah itu yang tengah terjadi di dunia
media kita di era konglomerasi media pasca reformasi 14 tahun silam?
Film ini telah
diputar perdana tadi malam, 24 Januari 2013, di Blitz Megaplex Grand Indonesia,
Jakarta. Kemudian akan dilanjut dengan menggelar roadshow ke beberapa kota di
Indonesia. Dalam penjelasannya di official web-nya, pemutaran gratis melalui
online ditunda terlebih dahulu karena ada rencana untuk mengikutsertakan film
ini ke festival film. Film ini tidak menggunakan hak cipta jadi siapa pun yang
mau menonton nantinya bisa menggandakan tanpa harus izin terlebih dahulu.
Mereka menggunakan creative common, jadi hak cipta itu ada di tangan
publik, sehingga siapapun boleh menggandakan film ini secara gratis asal bukan
untuk kepentingan komersial. Insya Allah, para pembaca setia blog FightForFreedom
akan saya kabari begitu film ini dilepas secara online dan gratis.
Terima kasih
buat Ucu Agustin dan tim untuk karya yang luar biasa dan mencerahkan kami ini.
Salam hangat
tetap semangat,
Iwan Yuliyanto
Iwan Yuliyanto
***********
Referensi:
Referensi:
- Official Web: behindthefrequency.com.
- Dua image pada jurnal ini diambil dari Official Fanpage: FB FrekuensiPublik.
- Official Twitter: @dbalikfrekuensi.
- Portal KBR: Ketika Media Menggunakan Frekuensi untuk Kepentingan Pribadi.
- Tempo.co: Oligopoli Media Sudah Pada Tahap Membahayakan.
- AntaraNews: 12 Grup Media Besar Kuasai Indonesia.
sumber : http://iwanyuliyanto.wordpress.com/2013/01/25/di-balik-frekuensi-tentang-manipulasi-media-di-indonesia/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar