Written by Yodhia Antariksa
Posted September 3, 2012 at 12:00 am
Hari-hari ini, langit diatas kota Tokyo terasa
begitu kelabu. Ada kegetiran yang mencekam dibalik gedung-gedung raksasa yang
menjulang disana. Industri elektronika mereka yang begitu digdaya 20 tahun
silam, pelan-pelan memasuki lorong kegelapan yang terasa begitu perih.
Bulan lalu, Sony diikuti Panasonic dan Sharp
mengumumkan angka kerugian trilyunan rupiah. Harga-harga saham mereka roboh
berkeping-keping. Sanyo bahkan harus rela menjual dirinya ke perusahaan China.
Sharp berencana menutup divisi AC dan TV Aquos-nya. Sony dan Panasonic akan
mem-PHK ribuan karyawan mereka. Dan Toshiba? Sebentar lagi divisi notebook-nya
mungkin akan bangkrut (setelah produk televisi mereka juga mati).
Adakah ini pertanda salam sayonara harus
dikumandangkan? Mengapa kegagalan demi kegagalan terus menghujam industri
elektronika raksasa Jepang itu? Di Senin pagi ini, kita akan coba menelisiknya.
Serbuan Samsung dan LG itu mungkin terasa begitu
telak. Di mata orang Jepang, kedua produk Korea itu tampak seperti predator
yang telah meremuk-redamkan mereka di mana-mana. Di sisi lain, produk-produk
elektronika dari China dan produk domestik dengan harga yang amat murah juga
terus menggerus pasar produk Jepang. Lalu, dalam kategori digital gadgets,
Apple telah membuat Sony tampak seperti robot yang bodoh dan tolol.
What went wrong? Kenapa perusahaan-perusahaan top
Jepang itu jadi seperti pecundang? Ada tiga faktor penyebab fundamental yang
bisa kita petik sebagai pelajaran.
Faktor 1 : Harmony Culture Error. Dalam era digital
seperti saat ini, kecepatan adalah kunci. Speed in decision making. Speed in
product development. Speed in product launch. Dan persis di titik vital ini,
perusahaan Jepang termehek-mehek lantaran budaya mereka yang mengangungkan
harmoni dan konsensus.
Datanglah ke perusahaan Jepang, dan Anda pasti akan
melihat kultur kerja yang sangat mementingkan konsensus. Top manajemen Jepang
bisa rapat berminggu-minggu sekedar untuk menemukan konsensus mengenai produk
apa yang akan diluncurkan. Dan begitu rapat mereka selesai, Samsung atau LG
sudah keluar dengan produk baru, dan para senior manajer Jepang itu hanya bisa
melongo.
Budaya yang mementingkan konsensus membuat
perusahaan-perusahaan Jepang lamban mengambil keputusan (dan dalam era digital
ini artinya tragedi).
Budaya yang menjaga harmoni juga membuat ide-ide
kreatif yang radikal nyaris tidak pernah bisa mekar. Sebab mereka keburu mati :
dijadikan tumbal demi menjaga “keindahan budaya harmoni”. Ouch.
Faktor 2 : Seniority Error. Dalam era digital,
inovasi adalah oksigen. Inovasi adalah nafas yang terus mengalir. Sayangnya,
budaya inovasi ini tidak kompatibel dengan budaya kerja yang mementingkan
senioritas serta budaya sungkan pada atasan.
Sialnya, nyaris semua perusahaan-perusahaan Jepang
memelihara budaya senioritas. Datanglah ke perusahaan Jepang, dan hampir pasti
Anda tidak akan menemukan Senior Managers dalam usia 30-an tahun. Never.
Istilah Rising Stars dan Young Creative Guy adalah keanehan.
Promosi di hampir semua perusahaan Jepang
menggunakan metode urut kacang. Yang tua pasti didahulukan, no matter what. Dan
ini dia : di perusahaan Jepang, loyalitas pasti akan sampai pensiun. Jadi terus
bekerja di satu tempat sampai pensiun adalah kelaziman.
Lalu apa artinya semua itu bagi inovasi ? Kematian
dini. Ya, dalam budaya senioritas dan loyalitas permanen, benih-benih inovasi
akan mudah layu, dan kemudian semaput. Masuk ICU lalu mati.
Faktor 3 : Old Nation Error. Faktor terakhir ini
mungkin ada kaitannya dengan faktor kedua. Dan juga dengan aspek demografi.
Jepang adalah negeri yang menua. Maksudnya, lebih dari separo penduduk Jepang
berusia diatas 50 tahun.
Implikasinya : mayoritas Senior Manager di beragam
perusahaan Jepang masuk dalam kategori itu. Kategori karyawan yang sudah menua.
Disini hukum alam berlaku. Karyawan yang sudah
menua, dan bertahun-tahun bekerja pada lingkungan yang sama, biasanya kurang
peka dengan perubahan yang berlangsung cepat. Ada comfort zone yang bersemayam
dalam raga manajer-manajer senior dan tua itu.
Dan sekali lagi, apa artinya itu bagi nafas
inovasi? Sama : nafas inovasi akan selalu berjalan dengan tersengal-sengal.
Demikianlah, tiga faktor fundamental yang menjadi
penyebab utama mengapa raksasa-raksasa elektronika Jepang limbung. Tanpa ada
perubahan radikal pada tiga elemen diatas, masa depan Japan Co mungkin akan
selalu berada dalam bayang-bayang kematian.
by Yodhia Antariksa
So guys,
mari kita pelajari lagi mengenai pentinganya
Inovasi, Budaya kerja, dan Manajamen,
Demi Kemajuan perusahaan yang dibangun oleh kita,
dari kita dan untuk kita... :)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar