Selasa, 18 Maret 2014

KIOKU (KENANGAN) - edcoustic

Kioku no naka de itsumo aru (slalu ada dalam ingatanku)
Hajimete atta toki (pertama kali bertemu)
Tomodachi ni natte (sahabatku)
Kimi wa tetsudatte kureta (kau membantuku)
Tanoshimi kanashimi (dalam suka dan duka)
Yasashii hito da yo (kamu itu orang yang baik)
Ima kimi wa inakunatta (sekarang kau tlah tiada)
Boku wa nanimo ienai (saya tak dapat berkata apapun)
Sora wa kumori ni natte (langit pun menjadi mendung)
Jibun no kokoro mitai (seperti perasaanku)
Totemo kurushii desu (begitu menderita)
Kono koto wo shinjirarenai (saya tak percaya hal ini)
Kimi wa ippai koto wo oshiette kureta (tlah banyak hal yang kau ajarkan padaku)
Soko de siawase ni nasai (bahagialah disana)

Sabtu, 15 Maret 2014

Bayangan Hitam ku :D

Bicara tentang mengejar jodoh? Hal ini rasanya tak beda seperti mengejar bayangan kita sendiri di bawah terik matahari. Kita kadang pernah/sedang/akan selalu mengejar dan mencari siapa dan di mana jodoh kita, tanpa kita sadari pula terkadang jodoh itu tlah berada dekat dalam kehidupan kita. Manusia sering tanpa sadar, bilapun ia, maka hal itu biasanya datang terlambat.
Jodoh kita itu sebenarnya sedekat bayangan kita sendiri. Begitu dekat, tapi kenampakannya masih samar.
Biarkan lah dulu waktunya berlalu, terus berjalan saja.
Pantaskan diri kita menjadi lebih baik dan sukses dalam hidup. Masalah jodoh, nanti juga ketemu.
*lanjutkan perjalanan, lanjutkan petualangan*

Rabu, 12 Maret 2014

Demi Anak tetap bersekolah, Sang Ayah rela jalan kaki 8 Km setiap Hari

Seorang pria asal Fengyi, Provinsi Sichuan, China, membuktikan bahwa dirinya adalah ayah yang sangat mencintai putranya meski putranya itu menderita cacat sehingga tak bisa berjalan.

Dengan segala keterbatasan putranya itu, Yu Xukang (40) tetap menginginkan putranya yang kini berusia 12 tahun itu mengenyam pendidikan. Sayangnya, selain kondisi putranya yang cacat, minimnya sarana transportasi dari desanya menuju sekolah terdekat menjadi kendala.

Sebagai solusi, Yu memutuskan untuk menggendong putranya menyusuri jalan tanah dan berbatu sejauh 8 kilometer untuk mengantar putranya bersekolah. Tak hanya itu, Yu juga menjemput dan kembali menggendong putranya saat sekolah usai. Jadi, dalam sehari Yu harus berjalan dan menggendong putranya hampir 16 kilometer.

"Saya tahu putra saya memiliki keterbatasan fisik, tetapi tak ada yang salah dengan otaknya. Sayangnya, tak ada sekolah yang bisa menerima dia di sini," kata Yu.

"Satu-satunya sekolah yang mau menerimanya hanyalah di SD Fengyi yang jauhnya sekitar 8 kilometer dari desa kami," ujar Yu.

Yu bercerai dengan istrinya sembilan tahun lalu saat Xiao, sang putra, baru berusia tiga tahun. Yu akhirnya memutuskan untuk membesarkan Xiao sendiri. Yu bertekad putranya tidak akan menderita meski hanya diasuh satu orangtua dan berusaha memberi yang terbaik untuk anaknya itu.

Karena tak ada bus sekolah atau transportasi publik yang bisa mengantar anaknya itu ke sekolah, maka Yu memutuskan satu-satunya alternatif adalah menggendong Xiao saat berangkat dan pulang sekolah.

Yu memperkirakan bahwa dia sudah berjalan lebih dari 2.500 kilometer naik dan turun bukit selama mengantar anaknya bersekolah.

"Putra saya tak bisa berjalan sendiri sehingga dia juga tak bisa naik sepeda. Dia sudah berusia 12 tahun, tetapi tingginya hanya 90 cm," ujar Yu.

"Namun, saya bangga dia kini menjadi salah satu murid dengan nilai terbaik di kelasnya dan saya tahu dia akan mencapai banyak hal hebat. Saya ingin dia bisa kuliah di universitas," Yu berharap.

Setelah kehidupan Yu Xukang dibahas banyak media China, kemudian pemerintah lokal memutuskan akan menyewakan rumah bagi Yu dan putranya di dekat sekolah sehingga Yu tak perlu menggendong putranya itu terlalu jauh.

Selain itu, sekolah Xiao juga akan memiliki asrama dan Xiao bisa menjadi penghuni asrama sehingga bisa mengurangi beban sang ayah.


http://internasional.kompas.com/read/2014/03/11/1814080/Pria.Ini.Setiap.Hari.Gendong.Anaknya.yang.Cacat.16.Km.ke.Sekolah
 

Selasa, 18 Februari 2014

Mau Jadi Apa setelah Lulus Sarjana Pertanian?


Saat ini baru saja siswa kelas akhir SMA mengikuti salah satu jalur seleksi masuk perguruan tinggi dengan sistem undangan yang baru, implementasi perubahan tata cara masuk perguruan tinggi sebagai pelaksanaan amar MK tentang pembatalan UU BHP. Siswa diberi pilihan sekaligus banyak PTN, dimana pada kurun waktu sebelumnya setiap PTN menawarkan undangan masuk bagi siswa SMA secara sendiri-sendiri. Kelihatannya tantangan pendidikan tinggi pertanian untuk mendapatkan input mahasiswa yang bagus semakin besar.

Sudah menjadi fenomena, tidak hanya di Indonesia, termasuk di di Amerika Serikat, Filipina dan negara lain yang “basisnya” pertanian, terjadi penurunan minat kuliah di bidang pertanian. Merujuk studi Sjafrida dan Firdaus (2009), selama kurun waktu lima tahun terakhir terjadi penurunan minat siswa untuk masuk ke peguruan tinggi bidang pertanian. Kecuali hanya di beberapa perguruan tinggi seperti IPB dan  beberapa universitas di Jawa Timur, di banyak perguruan tinggi terjadi bangku kosong untuk bidang pertanian yang ditawarkan. Tidak kurang terdapat lebih dari 5 ribu bangku kosong di tahun 2008. Dengan demikian menjadi pertanyaan besar, bila dikatakan pembangunan pertanian untuk Indonesia masih penting, bagaimana kualitas sumberdaya manusia yang akan menjadi penggeraknya? Apa yang dapat mendorong minat siswa sehingga nantinya akan membawa perbaikan konfigurasi ketenagakerjaan di bidang pertanian?

Terlebih dahulu mari kita tengok konfigurasi ketenagakerjaan Indonesia dikaitkan dengan aspek pendidikan. Dari data Keadaan Pekerja BPS, hampir 40 persen tenaga kerja di Indonesia  masih hanya lulus SD atau bahkan tidak tamat SD sama sekali. Yang tamat SMU/SMK sebanyak 28 persen, lebih tinggi 8,5 persen daripada yang tamat SMP. Menarik pula, ternyata proporsi yang bergelar sarjana juah lebih tinggi daripada yang lulus dari program diploma, yang bila ditotalkan keduanya mengambil porsi lebih dari 12 persen. Komposisi ini tentunya sangat berbeda dengan negara yang lebih dulu berkembang, dimana proporsi tenaga kerja didominasi oleh lulusan sekolah menengah kejuruan atau lulusan program diploma (politeknik, community college). Lebih dalam lagi, konfigurasi ketenagakerjaan untuk sektor pertanian di Indonesia ternyata masih jauh lebih buruk. Hanya 0,1 persen dari yang bekerja di sektor ini yang berpendidikan sarjana; lebih tinggi sedikit, yaitu sekitar 0,2 persen pekerja menamatkan jenjang diploma, dan hanya sekitar 7 persen di antara pekerja pertanian yang tamat sekolah menengah atas.

Penelusuran lebih lanjut terhadap minat lebih dari 4 ribu siswa peserta SNMPTN (Sjafrida dan Firdaus, 2010), diketahui bahwa mayoritas untuk pilihan pertama bidang kuliah diberikan siswa tersebut untuk bidang teknik dan kesehatan. Bidang pertanian menjadi pilihan pertama sekitar 12 persen siswa, berada di bawah bidang sosial dan bidang pendidikan (MIPA). Diindikasikan pula daris studi tersebut motivasi utama dalam menentukan pilihan tersebut adalah keinginan untuk mendapatkan pekerjaan yang baik dan adanya peluang untuk berwirausaha. Selain itu peran orang tua sangat dominan dalam pengambilan keputusan siswa. Hal ini sebenarnya adalah lumrah. Survey di USA yang dilakukan oleh Marklein (2007) juga menunjukkan faktor mencari pekerjaan yang baik juga merupakan pertimbangan utama dalam memilih kuliah di bidang apa, setelah pertimbangan reputasi akademik perguruan tinggi bersangkutan. Dari fakta empirik tadi, patut menjadi pertanyaan, sejauhmana bidang pertanian mempunyai prospek bagi siswa yang memutuskan untuk mendalaminya?

Jawaban tentunya terkait dengan prospek pertanian di masa depan. Cara paling mudah yang biasanya digunakan pakar untuk melihat peran pentingnya pertanian antara lain dengan menggunakan jargon 5F atau FEW. Untuk 5F, pertanian akan selalu penting di suatu negara karena merupakan penyedia pangan untuk manusia, pakan untuk ternak, bioenergi, serat dan sumber pendapatan serta devisa atau food, feed, fuel, fiber and finance. Sedangkan FEW muncul terkait isu krisis global terkini yaitu krisis pangan, energi dan  air atau food, energy and water. Untuk Indonesia, yang tercatat porsi terbesar dari masyarakatnya masih bekerja di bidang pertanian, tentulah tidak perlu diperdebatkan pentingnya sektor ini. Yang perlu dilakukan adalah bagaimana memberi keyakinan kepada orang muda bahwa berusaha atau bekerja di sektor pertanian memang akan memberikan masa depan yang baik.

Sebagai contoh bila di era 70-an jurusan Tanah adalah termasuk bidang yang diminati lulusan sekolah menengah, karena waktu itu bekerja di bidang Agraria akan memberikan pendapatan yang baik, yang berbeda dengan sekarang. Padahal dengan cara yang sama, orang dapat diyakinkan bahwa dengan kuliah di sana misalnya orang dapat menjadi pengusaha pupuk (organik) yang sukses. Di salah satu universitas ternama di Belanda, jurusan ini masih menjadi bidang yang paling diminati siswa karena aspek ini menjadi tantangan utama di sana untuk keberhasilan berusaha di bidang pertanian.

Peternakan dan Perikanan Budidaya yang juga semakin kurang diminati oleh siswa SMA, sebenarnya bisa sangat prospektif. Para pimpinan daerah saat ini berbondong-bondong datang ke Solo, guna menyaksikan bisnis sukses di bidang peternakan yang dilakukan oleh seorang mantan dosen UGM. Meksipun komoditi utamanya sapi perah, namun core business-nya adalah biogas, pupuk organik, yang diintegrasikan dengan budidaya ikan patin, shingga dengan luasan lahan sekitar 13 hektar, ia mampu meraih omset tidak kurang dari seratus milyar rupiah per bulan. Nilai yang harusnya mampu menggiurkan minat siswa SMA untuk kuliah di bidang ini. Selain itu sarjana peternakan tidak harus sebatas menjadi pengusaha ayam atau ternak besar yang cukup berisiko. Setelah lulus tidak mustahil menjadi pebisnis sukses karena mempunyai waralaba yoghurt atau produk dari susu lainnya. Atau seorang sarjana perikanan dapat menjadi pengusaha ikan hias karena dibekali ilmu menyilangkan berbagai jenis, atau menjadi pemasok bibit ikan yang beromset milyaran rupiah.

Demikian pula kuliah di bidang Hama dan Penyakit atau Proteksi Tanaman yang juga merupakan bidang yang jarang dipilih sekolah siswa SMA saat ini.  Ketidaktahuan akan menjadi apa nanti mungkin salah satu penyebabnya. Padahal selain  bekerja di Karantina atau instansi lain, menjadi pengusaha pestisida (botanis) yang akan semakin dibutuhkan di masa mendatang harusnya dapat diyakinkan kepada calon siswa.

Memang tidak mudah mengubah cara berfikir anak muda kita. Kebiasaan yang serba instan juga menyebabkan banyak yang tidak mempersiapkan diri dengan baik saat memasuki dunia riil setelah keluar dari perguruan tinggi. Di sisi lain, perguruan tinggi memang harus dapat meyakinkan dan membantu calon mahasiswa untuk mewujudkan niat mereka untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik setelah jadi sarjana. Beberapa ilustrasi di atas menunjukkan pentingnya jiwa kewirausahaan dalam berbagai bidang kuliah di pendidikan tinggi pertanian. Syukur saat ini banyak perguruan tinggi sudah menekankan pentingnya kewirausahaan sebagai pelengkap bekal ilmu bagi calon sarjana. Tekad yang keras dan keberpihakan sangat diharapkan dari setiap pemimpin perguruan tinggi, sehingga menjadikan anak didiknya wirausahawan menjadi karakter yang melekat dalam misinya.

Penulis:
M. Firdaus, PhD
Vice Dean, Faculty of Economics and Management
Bogor Agricultural University 

sumber : http://www.dikti.go.id/?p=8273&lang=id
 

Dunia Pertanian di Titik Nadhir




Ada sebuah ironi ketika bangsa ini dikenal sebagai negara agraris,ternyata tidak berbanding lurus dengan minat calon mahasiswa pada studi pertanian. Setidaknya data pada hasil Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) tahun 2008 menunjukkan masih terdapat 2.894 kursi kosong pada program studi bidang pertanian di 47 perguruan tinggi negeri. Sedangkan pada tahun 2009,data dari panitia SNMPTN trend tersebut terus berlangsung dengan banyaknya bangku kosong yang masih tersedia di 42 PTN yang menyebutkan studi pertanian salah satu yang tidak populer. Bisa dibayangkan ketika kebutuhan pangan kita sudah tidak ada lagi yang mengurus dan mengembangkannya. Sementara negara-negara lain berlomba-lomba mengembangkan bidang pertanian sebagai bargaining ekonomi dalam era globalisasi.
 
Tidak dapat disangkal sampai hari ini sektor pertanian masih merupakan sektor andalan bagi perekonomian Indonesia. Hal ini bisa dilihat dari sumbangan terhadap Produk Domestik Bruto, penyerapan tenaga kerja, penerimaan devisa, pengurangan kemiskinan dan ketahanan pangan. Era kejayaan sektor pertanian menuai berkah pada zaman swasembada pangan pada tahun 1984. Gelar sarjana pertanian begitu bergengsi. Namun, memasuki lompatan jauh ke era industrialisasi,sektor pertanian ikut tenggelam digilas laju pembangunan pabrik-pabrik yang menggusur lahan-lahan pertanian. Sektor pertanian mau tidak mau terkena stigma sebagai pekerjaan orang miskin. Image-nya lekat dengan pekerjaan yang tidak memiliki prospek ke depan.

Konstuksi paradigma seperti ini tidaklah muncul dari ruang kosong. Kita turut mendekonstruksi dan memberi simbol-simbol sektor pertanian menjadi tidak menarik. Padahal, sektor pertanian merupakan penyedia bahan baku bagi industri,selain itu produk pertanian merupakan kontributor komoditas ekspor yang cukup penting dan penyedia lapangan kerja untuk mengurangi pengangguran. Faktor pentingnya sektor pertanian dikalahkan oleh derap laju indutri yang di satu sisi juga menunjukkan perkembangan yang signifikan.Sektor industri telah berhasil meningkatkan investasi,mendongkrak pertumbuhan ekonomi,peningkatan pendapatan per kapita dan kesempatan kerja yang lebih bervariasi. Meskipun demikian, untuk negara Indonesia yang mayoritas penduduknya adalah bertani,maka fokus pada pengembangan pertanian adalah harga mati.

Salah satu dari sekian banyak permasalahan yang menyandera sektor pertanian adalah SDM yang minim. Perguruan tinggi sebagai pencetak ahli-ahli pertanian menghadapi situasi dimana fakultas pertanian tidak diminati oleh calon mahasiswa. Artinya, kita akan menghadapi krisis SDM bidang pertanian di masa datang. Sementara negara-negara lain sudah mengembangkan variasi-variasi produk pertaniannya. Kita terbenam dalam lumpur paradigma yang menganggap untuk bisa mengembangkan pertanian tidak perlu kuliah di perguruan tinggi.

Ada beberapa faktor penyebab untuk bisa menjawab kenapa program studi pertanian sepi peminat. Pertama, adanya image negatif yang mengaitkan pertanian adalah pekerjaan yang tidak memiliki prospek cerah untuk menjamin masa depan. Mulai dari keluarga sebagai pranata terkecil,orang tua mensosialisasikan anak-anak harus menjadi dokter, pilot, polisi dan bidang kerja lain yang non-pertanian. Pilihan bertalian dengan ekspektasi. Memilih jalan menjadi sarjana pertanian dianggap sama dengan memilih mendapat status kemiskinan dan pengangguran. Kedua,sektor non pertanian lebih menjanjikan lapangan pekerjaan dan jaminan kesejahteraan yang lebih bervariasi. Hal ini bisa kita lihat dengan mata telanjang di kolom lowongan kerja di berbagai media massa yang sangat jarang membutuhkan lulusan dari fakultas pertanian.Pada tahun 2008, ada 940 perusahaan/jasa membutuhkan tenaga kerja, tetapi hanya 3 (tiga) perusahaan atau sekitar 0,31 persen dari total perusahaan/jasa yang membutuhkan tenaga kerja di bidang sarjana pertanian.

Ketiga,pengembangan sektor pertanian oleh pemerintah berjalan setengah hati.Pemerintah lebih memihak pada sektor industri yang dianggap lebih cepat memacu pertumbuhan ekonomi. Selain itu, polarisasi pembangunan kota dan desa juga turut menyumbang makin ditinggalkannya sektor pertanian. Kota identik dengan kemakmuran dengan sektor industrinya.Sedangkan desa identik dengan daerah miskin yang tidak punya masa depan bagi pencari kerja.Padahal jika sektor ini berkembang dan didukung penuh pemerintah,maka akan menarik gerbong minat calon mahasiswa dan lulusan pertanian untuk bekerja di sektor pertanian.

Keempat,peran universitas yang belum mampu melakukan transformasi dalam pengembangan sektor pertanian. Lulusan-lulusan pertanian cenderung memiliki kemampuan yang homogen hanya di seputar penguasaan teori. Menurut hasil Survey Subdirektorat Kurikulum dan Program Studi yang dilansir tahun 2005, seorang lulusan sarjana pertanian setidaknya dituntut memiliki 8 kompetensi penting, yakni kompetensi umum di sektor pertanian, mengerti dan menguasai kearifan lokal daerah yang menjadi domisili ia berkarir, piawai memanfaatkan ICT, memiliki kemampuan penyelesaian masalah yang baik, berjiwa enterpreneur, memiliki pengetahuan bisnis, komunikatif dan mampu bekerja sama serta memiliki jiwa leadership.

Melihat peta permasalahan di atas kita pertama-tama melihat bagaimana arti penting sektor pertanian bagi pembangunan bangsa. Untuk itu ada beberapa langkah yang bisa kita rumuskan bersama untuk mengatasi minimnya peminat studi pertanian. Hal yang sangat mendesak yang perlu dilakukan adalah dekonstruksi stigma pertanian sebagai pekerjaan yang identik dengan kemiskinan. Kita ingin mendengar anak-anak berlomba mengangkat tangan ketika ditanya siapa yang ingin jadi sarjana pertanian. Kita ingin melihat kursi-kursi perguruan tinggi selalu penuh dengan antusiasme. Memulainya dari citra pertanian dan lulusan-lulusannya yang berhasil membuat terobosan-terobosan dalam bidang pertanian.Pertanyaannya mungkin sama dengan kenapa profesi dokter begitu diminati,kenapa pilot menjadi impian mayoritas anak-anak.Ternyata pekerjaan-pekerjaan seperti dokter mampu menjamin kesejahteraan dan akhirnya mendapat prestise di mata publik.Sedangkan pertanian harus bisa membuktikan diri bahwa lulusannya tidak melulu bekerja dengan cangkul,sepetak sawah dan pola-pola tradisional lainnya.Pembuktian dimulai dari perguruan tinggi yang mengembangkan pertanian menjadi profesi yang menjamin kesejahteraan. Semisal memfokuskan pada agroteknologi/agro- ekoteknologi dan agribisnis. Penting kiranya merubah kurikulum untuk menarik minat dan menyesuaikan dengan kebutuhan di masa depan.Memasukkan kewirausahaan dalam kurikulum juga menarik,agar lulusan pertanian tidak hanya menghasilkan tetapi bisa juga menjual hasil produknya. Generasi muda akan tertarik jika usaha yang dilakukan menjanjikan potensi yang besar.

Dukungan dari pemerintah sangat vital.Mengembalikan sektor pertanian sebagai primadona menjadi keharusan.Pemerintah memiliki kekuasaan dan sumberdaya untuk mengembangkan pertanian melalui departemen pertanian.Intinya, jika pertanian didukung perkembanganya oleh pemerintah. Hal ini akan ditangkap calon mahasiswa sebagai sebuah peluang.Memberi perhargaan (reward) bagi peneliti-peneliti akan sangat membantu sektor ini diminati.Dukungan beasiswa terhadap riset-riset mahasiswa,penyediaan lapangan kerja bagi lulusan pertanian bisa mendongkrak citra yang telah lama pudar.

Kiranya upaya serius menjadikan pertanian sebagai motor pembangunan juga harus diselaraskan dengan faktor pendukungnya.Jika tidak,maka bisa dibayangkan anak-anak yang berasal dari keluarga petani tidak lagi punya cita-cita mengembangkan sektor pertanian negerinya. Mereka saja sudah kehilangan,apalagi anak-anak dari keluarga non pertanian?

sumber : http://lsapinsancitakapuas.blogspot.com/2012/05/dunia-pertanian-dititik-nadhir.html