Saat ini baru saja siswa kelas akhir SMA
mengikuti salah satu jalur seleksi masuk perguruan tinggi dengan sistem
undangan yang baru, implementasi perubahan tata cara masuk perguruan
tinggi sebagai pelaksanaan amar MK tentang pembatalan UU BHP. Siswa
diberi pilihan sekaligus banyak PTN, dimana pada kurun waktu sebelumnya
setiap PTN menawarkan undangan masuk bagi siswa SMA secara
sendiri-sendiri. Kelihatannya tantangan pendidikan tinggi pertanian
untuk mendapatkan input mahasiswa yang bagus semakin besar.
Sudah menjadi fenomena, tidak hanya di
Indonesia, termasuk di di Amerika Serikat, Filipina dan negara lain yang
“basisnya” pertanian, terjadi penurunan minat kuliah di bidang
pertanian. Merujuk studi Sjafrida dan Firdaus (2009), selama kurun waktu
lima tahun terakhir terjadi penurunan minat siswa untuk masuk ke
peguruan tinggi bidang pertanian. Kecuali hanya di beberapa perguruan
tinggi seperti IPB dan beberapa universitas di Jawa Timur, di banyak
perguruan tinggi terjadi bangku kosong untuk bidang pertanian yang
ditawarkan. Tidak kurang terdapat lebih dari 5 ribu bangku kosong di
tahun 2008. Dengan demikian menjadi pertanyaan besar, bila dikatakan
pembangunan pertanian untuk Indonesia masih penting, bagaimana kualitas
sumberdaya manusia yang akan menjadi penggeraknya? Apa yang dapat
mendorong minat siswa sehingga nantinya akan membawa perbaikan
konfigurasi ketenagakerjaan di bidang pertanian?
Terlebih dahulu mari kita tengok
konfigurasi ketenagakerjaan Indonesia dikaitkan dengan aspek pendidikan.
Dari data Keadaan Pekerja BPS, hampir 40 persen tenaga kerja di
Indonesia masih hanya lulus SD atau bahkan tidak tamat SD sama sekali.
Yang tamat SMU/SMK sebanyak 28 persen, lebih tinggi 8,5 persen daripada
yang tamat SMP. Menarik pula, ternyata proporsi yang bergelar sarjana
juah lebih tinggi daripada yang lulus dari program diploma, yang bila
ditotalkan keduanya mengambil porsi lebih dari 12 persen. Komposisi ini
tentunya sangat berbeda dengan negara yang lebih dulu berkembang, dimana
proporsi tenaga kerja didominasi oleh lulusan sekolah menengah kejuruan
atau lulusan program diploma (politeknik, community college).
Lebih dalam lagi, konfigurasi ketenagakerjaan untuk sektor pertanian di
Indonesia ternyata masih jauh lebih buruk. Hanya 0,1 persen dari yang
bekerja di sektor ini yang berpendidikan sarjana; lebih tinggi sedikit,
yaitu sekitar 0,2 persen pekerja menamatkan jenjang diploma, dan hanya
sekitar 7 persen di antara pekerja pertanian yang tamat sekolah menengah
atas.
Penelusuran lebih lanjut terhadap minat
lebih dari 4 ribu siswa peserta SNMPTN (Sjafrida dan Firdaus, 2010),
diketahui bahwa mayoritas untuk pilihan pertama bidang kuliah diberikan
siswa tersebut untuk bidang teknik dan kesehatan. Bidang pertanian
menjadi pilihan pertama sekitar 12 persen siswa, berada di bawah bidang
sosial dan bidang pendidikan (MIPA). Diindikasikan pula daris studi
tersebut motivasi utama dalam menentukan pilihan tersebut adalah
keinginan untuk mendapatkan pekerjaan yang baik dan adanya peluang untuk
berwirausaha. Selain itu peran orang tua sangat dominan dalam
pengambilan keputusan siswa. Hal ini sebenarnya adalah lumrah. Survey di
USA yang dilakukan oleh Marklein (2007) juga menunjukkan faktor mencari
pekerjaan yang baik juga merupakan pertimbangan utama dalam memilih
kuliah di bidang apa, setelah pertimbangan reputasi akademik perguruan
tinggi bersangkutan. Dari fakta empirik tadi, patut menjadi pertanyaan,
sejauhmana bidang pertanian mempunyai prospek bagi siswa yang memutuskan
untuk mendalaminya?
Jawaban tentunya terkait dengan prospek
pertanian di masa depan. Cara paling mudah yang biasanya digunakan pakar
untuk melihat peran pentingnya pertanian antara lain dengan menggunakan
jargon 5F atau FEW. Untuk 5F, pertanian akan selalu penting di suatu
negara karena merupakan penyedia pangan untuk manusia, pakan untuk
ternak, bioenergi, serat dan sumber pendapatan serta devisa atau food, feed, fuel, fiber and finance. Sedangkan FEW muncul terkait isu krisis global terkini yaitu krisis pangan, energi dan air atau food, energy and water.
Untuk Indonesia, yang tercatat porsi terbesar dari masyarakatnya masih
bekerja di bidang pertanian, tentulah tidak perlu diperdebatkan
pentingnya sektor ini. Yang perlu dilakukan adalah bagaimana memberi
keyakinan kepada orang muda bahwa berusaha atau bekerja di sektor
pertanian memang akan memberikan masa depan yang baik.
Sebagai contoh bila di era 70-an jurusan
Tanah adalah termasuk bidang yang diminati lulusan sekolah menengah,
karena waktu itu bekerja di bidang Agraria akan memberikan pendapatan
yang baik, yang berbeda dengan sekarang. Padahal dengan cara yang sama,
orang dapat diyakinkan bahwa dengan kuliah di sana misalnya orang dapat
menjadi pengusaha pupuk (organik) yang sukses. Di salah satu universitas
ternama di Belanda, jurusan ini masih menjadi bidang yang paling
diminati siswa karena aspek ini menjadi tantangan utama di sana untuk
keberhasilan berusaha di bidang pertanian.
Peternakan dan Perikanan Budidaya yang
juga semakin kurang diminati oleh siswa SMA, sebenarnya bisa sangat
prospektif. Para pimpinan daerah saat ini berbondong-bondong datang ke
Solo, guna menyaksikan bisnis sukses di bidang peternakan yang dilakukan
oleh seorang mantan dosen UGM. Meksipun komoditi utamanya sapi perah,
namun core business-nya adalah biogas, pupuk organik, yang
diintegrasikan dengan budidaya ikan patin, shingga dengan luasan lahan
sekitar 13 hektar, ia mampu meraih omset tidak kurang dari seratus
milyar rupiah per bulan. Nilai yang harusnya mampu menggiurkan minat
siswa SMA untuk kuliah di bidang ini. Selain itu sarjana peternakan
tidak harus sebatas menjadi pengusaha ayam atau ternak besar yang cukup
berisiko. Setelah lulus tidak mustahil menjadi pebisnis sukses karena
mempunyai waralaba yoghurt atau produk dari susu lainnya. Atau seorang
sarjana perikanan dapat menjadi pengusaha ikan hias karena dibekali ilmu
menyilangkan berbagai jenis, atau menjadi pemasok bibit ikan yang
beromset milyaran rupiah.
Demikian pula kuliah di bidang Hama dan
Penyakit atau Proteksi Tanaman yang juga merupakan bidang yang jarang
dipilih sekolah siswa SMA saat ini. Ketidaktahuan akan menjadi apa
nanti mungkin salah satu penyebabnya. Padahal selain bekerja di
Karantina atau instansi lain, menjadi pengusaha pestisida (botanis) yang
akan semakin dibutuhkan di masa mendatang harusnya dapat diyakinkan
kepada calon siswa.
Memang tidak mudah mengubah cara
berfikir anak muda kita. Kebiasaan yang serba instan juga menyebabkan
banyak yang tidak mempersiapkan diri dengan baik saat memasuki dunia
riil setelah keluar dari perguruan tinggi. Di sisi lain, perguruan
tinggi memang harus dapat meyakinkan dan membantu calon mahasiswa untuk
mewujudkan niat mereka untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik
setelah jadi sarjana. Beberapa ilustrasi di atas menunjukkan pentingnya
jiwa kewirausahaan dalam berbagai bidang kuliah di pendidikan tinggi
pertanian. Syukur saat ini banyak perguruan tinggi sudah menekankan
pentingnya kewirausahaan sebagai pelengkap bekal ilmu bagi calon
sarjana. Tekad yang keras dan keberpihakan sangat diharapkan dari setiap
pemimpin perguruan tinggi, sehingga menjadikan anak didiknya
wirausahawan menjadi karakter yang melekat dalam misinya.
Penulis:
M. Firdaus, PhD
Vice Dean, Faculty of Economics and Management
Bogor Agricultural University
Vice Dean, Faculty of Economics and Management
Bogor Agricultural University
sumber : http://www.dikti.go.id/?p=8273&lang=id