Kamis, 05 Juli 2012

Memimpin, Melayani dan Mencintai


Bagaimanakah sifat atau karakter yang perlu kita miliki ketika dipercaya pada sebuah posisi tertentu ?
“Anda bisa mencintai seseorang tanpa memimpinnya, akan tetapi Anda tidak bisa memimpin seseorang tanpa mencintainya”
, ini merupakan petikan motto hidup yang selalu saya gunakan. Bagi saya pemimpin tidak bisa terlepas dari melayani dan mencintai rakyatnya. Seorang pemimpin dunia pun dikenal dan dikenang positif oleh bangsanya bila ia mampu berkorban untuk rakyatnya. Sebutlah Nelson Mandela di Afrika Selatan atau Mahatma Gandhi di India. Mereka telah membuktikan kecintaan pada bangsanya dengan mewakafkan dirinya untuk perubahan, atas dedikasinya itulah mereka selalu di cintai oleh rakyatnya.

Menjadi Ketua, Kepala, atau Presiden tidak sekedar hanya untuk kepentingan pragmatis keberhasilan program kerja atau hanya sekedar mencapai tujuan taktis dari dakwah. Kita coba kembali ke hakekat kepemimpinan yang seringkali di lupakan oleh seorang kader dakwah. Saya pun harus tegas mengkritik seorang Presiden Mahasiswa yang masih berpikir konservatif dan sempit mengenai kepemimpinan di BEM. BEM bukanlah tempat bagi para kader dakwah untuk memindahkan LDK ke lembaga tersebut. Kita tidak mengisi kepemimpinan disana jika hanya untuk bedol desa kader dan melegetimasi gerakan kita dalam sebuah wadah formal yang terpercaya.
Sebagai seorang pemimpin yang arif dan bijak di sebuah lembaga kemahasiswaan kita perlu menunjukkan dan membuktikan bahwa kita adalah milik semua, bukan hanya milik kelompok geng mesjid saja. Kita di amanahkan untuk memimpin agar sebanyak mungkin mahasiswa di kampus kita terbangun potensi kebaikannya dan mereka bisa bergerak bersama kita untuk membangun rakyat. Kepemimpinan di BEM lahir untuk menjawab kebutuhan tersebut, dan kita sebagai kader siyasi perlu dapat terbuka, mengayomi serta mengkolaborasikan semua potensi yang ada tersebut.
 
Memimpin
Sebagai seorang pemimpin, kita perlu dengan benar memahami hakekat kepemimpina tersebut. Seorang pemimpin harus memiliki gagasan murni atas pemikiran dan idealismenya akan masa depan dari lembaga yang akan ia pimpin. Gagasan inilah menjadi modal bagi dirinya dalam memimpin dan menjadi landasan pemikiran dalam mengembangkan program. Gagasan ini adalah gagasan yang dibangun juga dengan mengambil aspirasi dari komunitas, artinya jangan sampai juga gagasan yang kita bawa bertentangan dengan nilai atau norma yang berlaku dalam komunitas tersebut.
Setelah gagasan itu terbangun, maka tanggung jawab pemimpin adalah untuk mengkomunikasikan gagasan tersebut kepada komunitas. Tentu bukan sekedar komunikasi dalam konteks menyampaikan atau menginformasikan saja. Melainkan juga untuk meyakinkan komunitas kita agar mau berjuang bersama mewujudkan gagasan tersebut. Dalam proses ini bisa dikatakan terjadi kolaborasi mimpi, mimpi seorang pemimpin menjadi mimpi bersam seluruh anggota komunitas.
Sebagai soerang da’i, kader dakwah siyasi juga harus mampu membahasakan semua gagasan yang diangkat dalam bahasa yang dapat dicerna oleh komunitas. Hindari bahasa yang melangit sehingga gagasan kita hanya akan menjadi gagasan “tingkat dewa” yang tidak bisa dicerna dan diterjemahkan oleh anggota komunitas tersebut. Yakinkanlah dengan segala upaya yang ada agar mereka mau bergerak bersama kita.
Pada akhirnya gagasan dan komunikasi tiada artinya tanpa keteladanan. Seorang pemimpin yang mampu menjadi teladan bagi anggotannya akan menjadi bukti bahwa dirinya mampu “menunjukkan jalan” bagi para pendukungnya. Seorang pemimpin kini tidak bisa bertahan tanpa adanya keteladanan sosial. Keteladan sosial ini akan mendorong kepercayaan, dan juga sebagai media pembuktian bahwa diri kita tidak hanya sekedar berbicara, akan tetapi sikap dan kebiasaan kita juga meyakinkan bahwa kita mampu mengembang amanah dan mimpi yang diberikan.

Melayani
Pemimpin itu harus melayani, bukan dilayani. Ia harus menjadi orang yang memberikan pelayanan kepada orang-orang yang memberikan kepercayaan kepadanya. Al-Quran mengilustrasikan hubungan antara pemimpin dan masyarakat yang dipimpinnya sebagai satu sistem yang saling mempengaruhi. Sistem itu sendiri merupakan kumpulan komponen-komponen yang berada pada alur yang sama. Dalam al-Quran digambarkan bahwa seorang pemimpin yang baik diperuntukan bagi masyarakat yang baik pula. Pemimpin yang mampu mengayomi, membimbing dan bersama-sama dengan apa yang dipimpinnya memperbaiki keadaan adalah pemimpin yang diharapkan. Pemimpin yang selalu dinantikan kedatangannya, pemimpin yang selalu dirindukan pemikirannya dan sebuah kebijakan penentuan keputusan sikap untuk terus memberi yang terbaik akan apa yang ada disekitarnya. Seorang Pemimpin sejatinya adalah seorang “Pelayan”, seorang abdi masyarakat, yang rela berjuang dan berkorban tanpa melihat apa yang akan dia dapatkan dari apa yang dia kerjakan.
Seorang Pelayan akan melakukan yang terbaik kepada yang dilayaninya, dan sebuah dasar kuat akan kesadaran pengabdian diri pada sekitarnya. Kemampuan menjaga/mengontrol ke-ego an untuk kepuasan pribadi menjadi tantangan besar akan sebuah kepemimpinan. Pemimpin yang terlahir dari proses besar akan menghasilan karakter kepemimpinan yang kuat. Pemimpin yang ikhlas melakukan pengabdian, pemimpin yang rela berjuang tanpa pamrih, pemimpinku yang kuat berada di depan untuk melawan ketidakadilan.
Sebuah hikmah menarik dapat kita petik dari kepemimpinan Umar Bin Khathab,
Khalifah Umar adalah sosok pemimpin yang memiliki kepekaan sosial yang tinggi. Di antara ungkapan beliau yang terkenal adalah sayyidul qaumi khadimuhum (pemimpin kaum di antaranya diukur dari mutu pelayanannya). Bukan khadi’uhum (pandai menipu mereka). Bahkan, apabila ada salah seorang warganya yang mengeluhkan pola kepemimpinannya, beliau selalu bermuhasabah diri, hingga tidak bisa memejamkan mata semalam suntuk.
Kisah lainnya berkaitan dengan spirit service oriented (etos pelayanan) dari kisah Umar bin Khathab,
Suatu malam, sebagaimana agenda rutinnya untuk turba –turun kebawah– khalifah Islam kedua itu berjalan menyusuri setiap lorong-lorong kota Madinah. Beliau mendengar tangis seorang anak yang kelaparan, tapi ibunya tidak memiliki sesuatu untuk dimakan. Dia terpaksa memasak batu untuk menghibur anak-anaknya sekadar menghentikan tangisannya. Sebagai pemimpin kaum Muslim, hati Umar bin Khathab merasa amat terpukul karena ada warganya yang tidak memiliki persediaan makanan sehingga anaknya menangis karena kelaparan. Maka, khalifah bergegas pergi mengambil bahan makanan dan mengantarkannya sendiri kepada keluarga janda yang sedang menderita. Sebagai pemegang kekuasaan tertinggi, khalifah dengan senang hati bertindak menjadi pelayan ummat (khadimul ummah) dalam arti sebenar-benarnya.

Mencintai
Pemimpin yang didambakan masyarakat adalah pemimpin yang “mencintai rakyat”. Seperti halnya dalam sebuah keluarga, seorang bapak (pemimpin) akan berjuang keras untuk membahagiakan dan meningkatkan martabat keluarganya dengan landasan cinta dan kasih sayang. Memimpin dengan Cinta. Karena pemimpin yang bisa mebahagiakann sekian banyak umat atau bahkan membuat mereka sengsara. Karena pemimpin adalah teladan, jika buruk maka buruklah muka umat ini. Dan jika baik, maka baiklah umat ini. Karenanya, Nabi SAW memberikan batasan yang mudah diingat tentang pemimpin yang baik dan buruk, “Sebaik-baik pemimpin adalah mereka mencintai kalian dan kalian mencintai mereka, mereka mendoakan kalian dan kalian mendoakan mereka. Dan seburuk-buruk pemimpin adalah mereka membenci kalian dan kalian membenci mereka, mereka melaknat kalian dan kalian melaknat mereka.”(HR. Muslim)
Pemimpin yang mencintai rakyatnya adalah pemimpin yang menerapkan pola hidup sederhana; peduli nasib rakyatnya; memahami kebutuhan rakyatnya ; menyusun program dan kebijakan yang berpihak kepada rakyat, sebab citranya akan senantiasa terjaga walaupun tanpa upacara pencitraan dirinya. Bukan pemimpin yang hanya peduli atas diri, keluarga, dan komunitasnya sehingga mendesain perundang-undangan dan peraturan yang berpihak kepada komunitas yang membesarkan namanya, dengan ambisi mempertahankan kekuasaan.

John C Maxwell dalam bukunya “Mengembangkan kepemimpinan di sekitar anda”, menuliskan ada 7 langkah yang bisa kita lakukan agar dapat menjadi pemimpin yang mencintai dan dicintai, yakni :

1.Milikilah kasih yang sejati bagi para anggota kita
2.Buatlah mereka yang bekerja dengan anda lebih sukses.
3.Melihat dari sudut pandang anggota atau bawahan
4.Kasihilah para anggota atau bawahan lebih dari sekedar prosedur
5.Lakukanlah untuk kelompok atau jangan lakukan sama sekali.
6.Libatkan anggota dalam perjalanan anda.
7. Berlakulah bijak pada anggota yang berperangai sulit.

Pastinya tidak semua orang akan mengagumi dan mencintai anda, tapi belajar dan berusaha mencintai orang-orang yang anda pimpin, akan memberi anda fondasi kepemimpinan yang kokoh. selamat mempraktekkan, semoga anda bisa menikmati, hasil dari kepemimpinan yang anda bangun dan menjadi pemimpin yang dicintai. Jika anda telah merasa sebagai pemimpin yang dicintai, tingkatkanlah kembali dan jangan pernah puas untuk terus meningkatkan kapasitas diri dalam memimpin dengan mencintai.

Dari Blog Ridwansyah Yusuf Achmad

Tidak ada komentar:

Posting Komentar