Kamis, 25 April 2013
Rabu, 24 April 2013
Telat Nikah = Gagap Bersyariat
Oleh : Nandang Burhanudin
"Assalamu'alaikum ... Apa kabar ustadz ... sudah berapa putra?", seorang anak muda terengah menghampiri.
"Waalaikum salam ... kabar baik akhi ... putra 2, 2 putri. Alhamdulillah, dari dua bibit", ungkap sang ustadz sembari mengulurkan tangan menyalami.
"Waduh .. subhanallah ... alf mabruuk ya tadz .. semoga makin berkah dan berlimpah ...", ungkapnya.
"Hadzaa min fadhli Rabbi ... walhamdulillah ... ngomong2 sudah berapa putra?"
"He he ... nikah aja belum, apalagi putra ..." ia menunduk.
"Lho kok bisa? Bukannya dah deket kepala 3 ya?"
"Ya .. ya .. ya .. masih banyak urusan tadz ..", ia menghela napas.
"Ooo ... jadi kalau nikah dan berkeluarga bukan urusan ya?" tanya sang ustadz mendesak.
"Ya .. ya .. ya ..urusan juga sih tadz .." ia gagap.
"Gini akhi ... segala sesuatu itu akan nikmat jika pas waktunya. Ketika pria dikhitan, bayangkan jika sudah terlewat waktu? Makanya Islam mensiratkan khitan itu saat usia belum wajib disuruh shalat. Karena saat baligh, ia harus fokus menimba ilmu dan pengalaman. Baru saat dewasa, ia sudah siap memimpin dunia ... mulai dari memimpin keluarga. Gimana bisa memimpin duania, kalau menikah aja belum terbukti!", jelas sang ustaz.
"Waduh ... ", anak muda itu memegang kepala. Nampak penyesalan menggelayuti raut mukanya.
"Berapa kerugian saat seorang anak muda telah menikah? Banyak bukan? Salah satunya adalah: terhambatnya kelahiran generasi-generasi baru yang diharapkan jika dididik secara benar, bisa menjadi asset berharga bagi kebangkitan umat. Itulah spirit juang warga Palestina, menikah cepat, bernanak banyak, dan beristri empat ... Allahu Akbar .." sang ustadz penuh semangat.
"Oooh ... pantesan ustadz sudah 4 anak dari dua bibit ya tadz ...", ujar anak muda penuh semangat.
"He he ... belum ... 2 bibit itu saya dan istri saya ... he he ...." sang ustadz tersipu malu.
***
Selasa, 23 April 2013
7 HUKUM MENCINTAI SESEORANG
1.Boleh kita mencintai seseorang asalkan tidak mengajaknya berduaan
2.Boleh kita mencintai seseorang asalkan tidak mengajaknya kpd kemaksiatan
3.Boleh kita mencintai seseorang asalkan tidak mengajaknya bergandengan
4.Boleh kita mencintai seseorang asalkan tidak mengajaknya kepada jalan syaitan
5.Boleh kita mencintai seseorang asalkan tidak keluar dari syariat islam
6.Boleh kita mencintai seseorang asalkan tidak mengajaknya berpacaran..
7.Jika engkau mencintainya..
Maka ajaklah kepada pernikahan..
Setuju? :)
By : eL-ghazaly
Facebook.com/
Kamis, 18 April 2013
Arkanul Bujang/ 10 Rukun Bujang
10 rukun bujang untuk Yang Berguguran di Jalan Bujang. ^_^
- al-fahmu : yang kami maksud dengan al-fahmu adalah bahwa kita tidak akan selamanya membujang
- al-ikhlash : adalah berlapang dada jika seorang akhawat incarannya keburu di khitbah & dinikahi oleh ikhwan lain
- al-amal : seorang al-akh al-bujang mampu bekerja dalam diam, artinya ia kalem sepanjang hari, tapi sekalinya posting langsung menyebarkan undangan walimah
- al-jihad : bersungguh-sungguh dalam memerankan amanah sebagai bujang
- at-thadiyah : mampu berkorban meskipun dengan kurban perasaan
- tha'at : patuh tanpa reserve terhadap mursyidul bujang
- tsabat : teguh dan anti galau :P
- tajarrud : produktif dalam amal selama membujang
- ukhuwwah : sesama al-akh al-bujang tidak boleh mengincar 1 akhwat yg sama
- tsiqoh : percaya bahwa kita sama-sama masih bujang.
Selasa, 16 April 2013
Sabtu, 13 April 2013
CINTA, KERJA & HARMONI
Ini Lo.. ^_^ tagline PKS dalam perspektif 'ikhwan lajang' "CINTA, KERJA & HARMONI"
Mari kita bedah CINTA, KERJA & HARMONI
# CINTA = NIKAH
# KERJA = MA'ISYAH
#HARMONI = SAKINAH, MAWADAH WARAHMAH
Jadi kesimpulanya NIKAH dulu, dapet MAISYAH, terus SAKINAH MAWADAH WA RAHMAH, insya ALLAH ^__^
Rabu, 10 April 2013
GAPAI KEMAPANAN FINANSIAL DENGAN MENIKAH
By: Mukti Amini
1. Apa sih #kemapananfinansial? Ukurannya relatif banget. Tapi untuk memulai biduk rumah tangga, rugi kalau berkutat soal ini terus gak nikah2.
Awal saya menikah, gak punya motor. adanya motor dinas suzuki A100 tahun 80-an, yang bolak-balik mogok kalau lagi jalan :D tapi happy2 aja tuh. Pernah, bersama baby hurin (anak baru 1) kami nekat naik 'motor pak pos' itu dari rawamangun-serpong, ke rumah om. Ya sampai sana malah dimarahin, kuatir dengan baby hurin.
Jangan ditanya pegelnya ya, sama kesemutan juga. Tapi asik aja. Inilah perjuangan :)
2. #kemapananfinansial sangat tak identik dengan nominal yang diterima. Kalau patokannya nominal, bagaimana seorang kepala keluarga yang THP-nya 1 jutaan atau kurang, bisa tetap menghidupi anak istrinya, juga membiayai sekolah/kuliahnya?
Yang penting tetap bekerja, dan Allah yang akan mencukupkan.
Biduk rumah tangga yang diawali dengan serba prihatin, justru cara-Nya untuk merekatkan ikatan samara suami-istri. Saling membantu, saling menghargai perjuangan. Suami tak bossy, karena tahu istri rela menemani meski dalam kekurangan. Istri juga tak manja-manja melulu (sekali-kali sih boleh, perlu malah, he, karena tahu suaminya perlu dukungan.
3. Salah satu bentuk empati suami yang saya masih ingat, adalah ucapannya kalau tiba-tiba 'motor dinas pak pos' yang kami naiki mogok, "Ajeng, maaf ya.. Ma2s belum mampu beli motor supaya kita lebih cepat sampai. gak mogok2 begini"
Atau saat saya harus turun naik bis 3x ganti untuk mengajar di kampus cabang yang jauh, beliau berkata lagi saat saya pulang, "Maaf yaa, motor belum kebeli apalagi mobil. Jadinya ajeng harus naik turun bis deh, berdiri lagi"
Ucapan-ucapan semacam ini, diikuti dengan semangat tetap berusaha, bagi saya jauh lebih berharga daripada #kemapananfinansial sejak awal menikah. Ucapan ini juga tentunya merekatkan cinta. Kalau tahu-tahu disediain mobil, kok malah gak ada seni 'berjuang'nya ya, kayaknya :D
4. Waktu saya berkunjung ke ponpes darul arkam, Gombara, Makassar (tempat pak Anis Matta sekolah SD) bulan lalu, saya melihat fenomena menarik. Ini pesantren sangat sederhana, langsung terbayang kemampuan yayasan untuk menggaji guru dan karyawannya. Apalagi sempat nyaris kehabisan murid.
Bapak ibu guru di sana beberapa sudah tua, dan sejak muda mereka mengabdi di pesantren tersebut. Sempat saya tanya tentang gaji guru pada mereka. Rerata mereka menjawab, "Kalau gak dilandasi niat membesarkan dakwah, sudah lama pindah ke tempat lain yang lebih menjanjikan, mbak. Kalau ngelihat jumlah gaji, juga banyak tetangga yang gak percaya, kalau saya bisa nguliahin semua anak sampai sarjana".
Satu bukti lain tentang #kemapananfinansial, yang tak berbanding lurus dengan nominal :)
5. Pernah juga, ada diskusi sambil bercanda juga soal #kemapananfinansial. "Apa ibu-ibu itu pada takut ya, kalau suaminya sukses secara finansial. Terus mulai 'plirak-plirik'? Jadinya mending suaminya biasa2 aja lah, jangan terlalu kaya juga. yang penting setia. apa begitu ya?"
Wah, yang ditanya tak lebih tahu dari yang bertanya, hihihi. Tapi mungkin secara alami, kalau gak takut berbagai kendala dan keterbatasan diri, ya memang begitu alur 'psikologis'nya. Makanya ada akal, ada iman, untuk menimbang-nimbang kemanfaatan dan kemudharatan.
Wes ah, kalau urusan yang satu ini gak berani bahas lebih panjang, nanti jadi rameee :D
6. Secara langsung, bapak ibu juga memberikan contoh nyata bahwa #kemapananfinansial tak identik dengan nominal.
Pernah salah seorang calon mantu keterima kerja di bank konvensional, yang secara nominal menjanjikan THP berlipat dari kantor yang lama. Saat konsultasi ke Bapak, jawaban Bapak, "Silakan pilih, masih mau jadi menantu, atau kerja di bank itu"
Ini tentang kehati-hatian terhadap rizki yg bakal dimakan sekeluarga :)
7. Contoh lain dari ibu. Saat saya SMP, diminta membantu meniup bakaran api di tungku (luweng) dengan sepotong bumbu (yang biasa disebut semprong). Saya tiup dengan semangat, bukannya api membesar, eh malah mati :D
Ibu komentar, "Kamu harus belajar juga yang begini, Ning. Belum tentu nanti dapet jodoh yg bisa ngragadi (membiayai-red) segala kebutuhanmu, jadi harus masak dengan luweng begini"
Waktu itu saya terbengong-bengong, tertegun. Satu sisi terhenyak, apa iya akan sedramatis itu hidup saya, dan apa saya siap? Sisi lain juga bersyukur, ternyata ibu tidak memandang soal 'besar penghasilan' bagi calon mantunya kelak :)
#kemapananfinansial
8. Giliran saya hampir kelar kuliah, ibu berkata, ada amanah dr saudara. Ada yg mau melamar, seorang medis, sudah punya rumah seisinya. Saya menolak, Ibu bilang "Yowes rapapa, aku cuma mnyampaikan amanah. Dosa kalau gak kusampaikan"
Lega saya gak dipaksa-paksa :D
Bapak ibu bukan tipe yg silau dengan hal begini.
Maka, contoh nyata dari orang tua sangat menentukan paradigma kita dalam melihat #kemapananfinansial.
9. Pola pikir saya tentang #kemapananfinansial lalu sangat simpel, mungkin karena bentukan orang tua. Saat akan menikah, calon suami sempat bertanya, "Nanti perlu bawa-bawa apa ya? mahar alat sholat saja gakpapa kan? Gak usah cincin dan macam-macam bingkisan itu?"
Saya dengan mantap mengiyakan saja. Tapi mungkin itu dipandang aneh oleh keluarganya, hingga pas aqad tahu-tahu ada cincin kawin dan macam-macam kue, selain mahar. Pasca nikah, baru saya tahu kalau cincin itu mendadak dibeli di kampung, dengan standar ukuran jari mbak pelayan toko yang kira-kira sepadan dengan saya :D
Pun saat saya sudah menikah setahunan, ada adik angkatan suami yang ingin menikah, bertanya pada suami,"Untuk beli-beli kebutuhan istri semacam baju, bedak, dsb itu habis berapa mas, sebulan?"
Suami saya garuk-garuk kepala, "Berapa yaa? Setahun ini saya belum pernah beli-beliin yang begitu. Dia beli sendiri, gak pernah minta". Saat cerita itu sampai ke saya, kami tertawa berderai bersama :D
Jika saling taawun dan saling paham, tak ada hal yang sulit, meskipun mungkin orang lain melihat kehidupan kita 'pahit'.
10. Maka, #kemapananfinansial perlu dibangun sejak awal, sejak sebelum menikah. Justru dengan tidak melihat sekian banyak yang belum bisa dipenuhi, tapi dengan tetap optimis bahwa semua keperluan pada saatnya akan mampu dipenuhi, asal kita terus berusaha. Ini hanya soal waktu, dan kewajiban kita sebatas ikhtiar.
Sesudah menikah, merasakan bersama susahnya awal perjuangan, lalu menikmati hasilnya bersama-sama kemudian, jauh lebih indah dari pada sejak awal semua hal sudah tersedia, tinggal duduk manis. ah, kurang dramatis :D
Ohya, #kemapananfinansial juga bisa dipercepat dengan selalu berbagi, tak sekedar yang wajib (zakat). Seperti ilmunya YM lah, kalau mau dapat 'ikan' gede, ya mancingnya juga harus gede. Bagikan, lalu lupakan, tinggal nunggu keajaiban :)
11. Nyambung lagi dikit ah :D
Salah satu bentuk #kemapananfinansial yg saya rasakan pasca menikah adalah kemudahan dalam mendapatkan keperluan. Motor yang baru bisa dibeli 4 tahun setelah menikah, itu juga milik teman yang baru selesai kreditnya. Jadi tempo bayarnya kapan-kapan ada luang :D
Saya tak percaya dengan kebetulan, tentu ini ada sebab-musababnya, juga bagian dari taqdir-Nya :)
12. Contoh lagi. Beberapa kali kami mendapatkan keperluan (termasuk rumah) dengan 'best buy', harganya fantastis, jauh di bawah normal, dan itu tak menyengajakan diri mencari-cari. Belum lama, juga ada perabotan 'seisi rumah' kualitas tinggi milik seorang istri direktur BUMN (berupa 3 set sofa, 1 set kursi makan, 2 lemari, 1 jam duduk kuno), tahu-tahu ditawarkan pada kami dengan harga kurang dari 8 digit, karena yang punya rumah mau pindahan. Bayangkan kalau beli dengan harga umum, 1 set sofanya saja bisa 10 jeti ke atas.
Dan saya yakin, ini juga bukan kebetulan, tapi sudah Allah atur sedemikian rupa dengan indahnya :)
Setelah doa dan ikhtiar semampunya, Allah lebih tahu apa yg kita perlu.
ini juga bukti tentang #kemapananfinansial tak identik nominal.
13. Jadi ini mau diberi simpulan apa? Cuma mau bilang, bahwa salah satu cara menjemput #kemapananfinansial adalah justru dengan segera menikah!
Setelah menikah, individu di dalamnya akan terstimulus (baca: dipaksa) memenuhi hajat hidupnya yang jumlahnya lebih banyak dari pada saat bujang. Tapi insya Allah tertutupi juga akhirnya, jika berusaha. Sesuai dengan janji Allah kan, menikahlah, maka Dia yang akan membuatmu kaya :)
*sudah ya tentang #kemapananfinansial. mau makaryo dhisik :)
NEKAD SAJA
Agak sungkan sebetulnya menceritakan yang satu ini. Geli.
Malu tepatnya.
Tapi tak apalah, sebab biar sampai bersemu merah wajah karena menceritakannya,
saya berharap ada barakah yang Allah kirimkan lewat menuliskan kisah pendek ini.
Pakuan, gedung yang nyaris berusia 150 tahun itu ramai sekali. Pagi itu, berbagai komunitas sepeda membuat gelaran acara bersama. Tentu mereka tak kan rela bila sang ikon gowes-er se-Jabar, Ibu Gubernur tak turut ikut dalam acara tersebut.
Jangan kira setiap acara yang berlangsung disini akan berlangsung seadanya. Prinsip yang sering tuan rumah ulang di hadapan para tamu adalah
"Saya yang berkunjung ke daerah atau hadirin sekalian yang berkunjung ke rumah dinas ini adalah Silaturahim, yang akan memanjangkan usia dan menambah Rizki," begitu ia sering ulang.
Maka, suguhan pagi yang dihidangkan betul-betul akan merangsang siapapun untuk 'serakah' sesaat, menggasak hidangan prima yang tuan rumah siapkan. Bila sudah seperti ini, jangan harap bisa ikut bertarung di antrian dengan mereka. Apalagi bila tuan rumah atau staf disana. Sabar, lebih baik.
Kebetulan hari itu pun saya ada disana. Dan memang tak kan sempat ikut sarapan.
Acara pun berlangsung. Intinya sih sederhana saja. Gubernur menyampaikan sambutan, peserta dilepas dengan hitung mundur, dan selesai. itu. Sesederhana itu. Namun ingat. Jumpa sesederhana itu sungguh akan sangat berarti bagi mereka. Lekat kesan karena diwejangi orang yang mereka harap bisa mengayomi, akan dikenang lama lho.
Sebab itu sungguh saya sangat prihatin, bila ada pejabat yang meremehkan agenda-agenda 'kecil'. Terlalu arogan. itu saja, dan saya tak mau memperpanjang.
Beralih pada cerita utama kembali.
Selepas usai acara, kami yang tak menggowes pun rebah lega. Bagaimana ikut menggowes bila baru pulang hampir pukul 4 pagi?
Ia dan sang Istri pun begitu. Lelah bukan buatan.
Sambil 'balas dendam' karena tadi mengalah sarapan, kami pun mengasihani perut sambil berbincang ringan.
Ada saya, seorang teman, juga Gubernur dan sang Istri.
"Udah pada nikah belum?"
DEGG!! 'Celetukan' yang nancep, langsung membuat diri rasanya payah parah.
"mm..belum Ustadz", jawabku malu. Aku memanggil ustadz agar lebih nyaman sebab ia memang mubaligh yang di aktivitas kesehariannya tak menampilkan diri sebagai Agamawan, tapi Negarawan. Setidaknya, sapaan 'ustadz' dapat membuat lebih cair suasana.
"Lah, kok belum?? umur berapa memang?"
"24 ustadz."
"Aah, udah mau deket 25 tuh, cepet-cepet aja."
JLEB!! (lagi)
"Saya juga dulu Nekat tuh nikahin Ibu. Ya nggak Bu?", sambungnya yang dijawab anggukan oleh sang istri, "Iya."
"Dulu, waktu datang ke rumah orang tuanya ibu. beuuh...tegang banget. Takut ditanya macem-macem kan? Terutama soal kerjaan. Karena saya kan waktu itu lagi tingkat akhir, Ibu tingkat dua ya Bu?" bila sudah santai seperti ini, asyik sekali menyimak obrolannya.
"Eh, taunya bener.." terusnya dengan penekanan.
"Saya ditanya sama Bapaknya Ibu, 'Udah Kerja?'"
"Saya jawab aja langsung kan, ya Pak saya sudah KERJA. Dalam hati, saya tambahin, KERJA DAKWAH."
Spontan teras rumah ini ramai hanya oleh tawa kami berempat.
"Tapi bener kan? Saya ditanya udah kerja apa belum, bukan kerja apa. Jadi gak bohong dong", celetuknya lagi ringan sambil masih tertawa.
"Tapi ya alhamdulillah akhirnya bisa juga dapat SIM dari orangtuanya Ibu. Surat Izin Menikah.", kontan kami tertawa lagi.
"Tapi, setelah nikah ternyata bingung juga. Karena saya gak punya kerja. Yang penting kan kita merasa mampu dan memang mampu menafkahi, ya saya cari penghasilan betul-betul. Untung istrinya shalehah."
"di awal-awal nikah, saya jualan koran lah, apalah macem-macem. eeh, alhamdulillah sekarang jadi Gubernur, haha.."
"Nah gitu, jangan kuatir masalah rizki. Pasti ada. Laki-laki sekarang banyak nunggu macem-macem. Lembek."
dan... kata-kata terakhir itu betul-betul 'JLEB!!' hingga sekarang.
allahua'lam bish shawab..
Roni Sewiko
Jumat, 05 April 2013
KENAPA HARUS MENIKAH USIA 25 ???
Orang tua ingin kamu segera menikah pada usia 25? Menikah memang bukan
hal yang mudah. Bahkan, sebagian orang percaya bahwa menikah akan
mengekang kebebasan. Jadi, kenapa sih kita harus menikah di usia muda.
Pertanyaannya adalah angka 25 jadi sakral dalam pernikahan. Kebanyakan
orang akan mematok usia 25 untuk menikah. Mau tahu jawabannya? Inilah
alasan penting kenapa kamu sebaiknya menikah di usia 25.
1. Punya banyak waktu
Jika wanita menikah di usia lebih dari 28-30, mereka akan ditekan untuk
segera punya momongan. Sebaliknya, jika kamu menikah di usia 25, kamu
akan punya banyak waktu untuk merencanakan kehamilan dengan baik. Tidak
terburu-buru.
2. Menyenangkan
Kamu masih cukup muda
untuk nongkrong di kafe favoritmu dengannya. Kalian bisa menikmati
pernikahan sebagai sesuatu yang menyenangkan, bukan sebuah keharusan
atau bahkan paksaan.
3. Kebugaran fisik
Secara fisik,
pasangan berumur 25-an tergolong sangat reproduktif. Selain itu, kamu
dan si dia juga dapat menikmati momen bercinta yang luar biasa. Tubuh
muda aktif secara seksual dan mudah bereproduksi.
4. Pacaran setelah menikah
Pasangan berusia 25-an punya banyak waktu untuk berdua dan menikmati
masa pacaran setelah menikah. Selain itu, mereka juga memiliki
kesempatan untuk berkarir dan mendedikasikan waktu untuk pasangan.
5. Menghindari zina dan fitnah
Dengan segera menikah kt akan lbh jauh dr perbuatan zina. Coba
bandingkan jika hanya dgn hubungan tanpa ikatan, kemana-mana berduaan,
pandangan org jg bs jd negatif. Sementara perbuatan zina jg sgt dekat
dgn kita. Seperti kt tahu zina itu adl perbuatan laknat dan dibenci
Allah SWT.
Menikah di usia muda juga penuh dengan tantangan
lho. Namun, apa pun yang dijalankan dengan tulus selalu berujung
bahagia. Jadi, jangan takut untuk menapaki hidup dengan lebih berani.
So tunggu apa lg ? Jgn pernah takut dan ragu untuk memutuskan menikah ;)
Rabu, 03 April 2013
KETIKA CINTA BER"TAJWID" (versi Lengkap)
Saat pertama kali berjumpa denganmu, aku bagaikan berjumpa dengan saktah. hanya bisa terpana dengan menahan nafas sebentar.
Aku di matamu mungkin bagaikan nun mati di antara idgham billagunnah, terlihat tapi dianggap tak ada.
Aku ungkapkan maksud dan tujuan perasaanku seperti Idzhar, jelas dan terang.
Jika mim mati bertemu ba disebut ikhfa syafawi, maka jika aku bertemu dirimu, itu disebut cinta.
Sejenak pandangan kita bertemu, lalu tiba - tiba semua itu seperti Idgham mutamaatsilain, melebur jadi satu.
Cintaku padamu seperti Mad Wajib Muttasil, paling panjang di antara yang lainnya.
Setelah kau terima cintaku nanti, hatiku rasanya seperti Qalqalah kubro, terpantul- pantul dengan keras.
Dan akhirnya setelah lama kita bersama, cinta kita seperti Iqlab, ditandai dengan dua hati yang menyatu.
Sayangku padamu seperti mad thobi’i dalam Quran. Buanyaaakkk beneerrrrr :D
Semoga dalam hubungan kita ini kayak idgham bilagunnah, cuma berdua, lam dan ro’.
Layaknya waqaf mu’annaqah, engkau hanya boleh berhenti di salah satunya. DIA atau aku?
Meski perhatianku tak terlihat seperti alif lam syamsiah, cintaku padamu seperti alif lam Qomariah, terbaca jelas.
Kau dan aku seperti Idghom Mutaqorribain, perjumpaan 2 huruf yang sama makhrajnya tapi berlainan sifatnya.
Aku harap cinta kita seperti waqaf lazim, berhenti sempurna di akhir hayat.
Sama halnya dengan Mad ‘aridh dimana tiap mad bertemu lin sukun aridh akan berhenti, seperti itulah pandanganku ketika melihatmu.
Layaknya huruf Tafkhim, namamu pun bercetak tebal di pikiranku.
Seperti Hukum Imalah yang dikhususkan untuk Ro’ saja, begitu juga aku yang hanya untukmu.
Semoga aku jadi yang terakhir untuk kamu seperti mad aridlisukun :D
Disarikan dari kultwit @khodroou
KETIKA CINTA BER"TAJWID"
Kau dan aku seperti Idghom Mutaqorribain, perjumpaan 2 huruf yang sama makhrajnya tapi berlainan sifatnya.
Meski perhatianku tak terlihat seperti alif lam syamsiah, tapi cintaku padamu seperti alif lam Qomariah, terbaca jelas.
Semoga dalam hubungan kita ini seperti idgham bilagunnah, cuma berdua, lam dan ro’.
Layaknya waqaf mu’annaqah, engkau hanya boleh berhenti di salah satunya. DIA atau aku?
Aku harap cinta kita seperti waqaf lazim, berhenti sempurna di akhir hayat.
Rabu, 27 Maret 2013
Kisah Seorang Pemuda di Gerbong Kereta
Di sebuah gerbong kereta api yang penuh, seorang pemuda berusia kira-kira 24 tahun melepaskan pandangannya melalui jendela. Ia begitu takjub melihat pemandangan sekitarnya.
Dengan girang, ia berteriak dan berkata kepada ayahnya:
”Ayah, coba lihat, pohon-pohon itu… mereka berjalan menyusul kita”.
Sang ayah hanya tersenyum sambil menganggukkan kepala dengan wajah yang tidak kurang cerianya. Ia begitu bahagia mendengar celoteh putranya itu.
Di samping pemuda itu ada sepasang suami-istri yang mengamati tingkah pemuda yang kekanak-kanakan itu. Mereka berdua merasa sangat risih.
Kereta terus berlalu. Tidak lama pemuda itu kembali berteriak:
“Ayah, lihat itu, itu awan kan…? lihat… mereka ikut berjalan bersama kita juga…”.
Ayahnya tersenyum lagi menunjukkan kebahagiaan.
Dua orang suami-istri di samping pemuda itu tidak mampu menahan diri, akhirnya mereka berkata kepada ayah pemuda itu:
“Kenapa anda tidak membawa anak anda ini ke dokter jiwa?”
Sejenak, ayah pemuda itu terdiam. Lalu ia menjawab:
“Kami baru saja kembali dari rumah sakit, anakku ini menderita kebutaan sejak lahir. Tadi ia baru dioperasi, dan hari ini adalah hari pertama dia bisa melihat dunia dengan mata kepalanya”.
Pasangan suami itu pun terdiam seribu bahasa.
#Setiap orang mempunyai cerita hidup masing-masing, oleh karena itu jangan memvonis seseorang dengan apa yg anda lihat saja. Barangkali saja bila anda mengetahui kondisi sebenarnya anda akan tercengang. Maka kita Perlu “BERPIKIR SEBELUM BICARA...”
Tarbiyah itu Menumbuh Kembangkan
By: Nandang Burhanudin
***
Alkisah, ada 3 santri di sebuah pesantren pinggiran Jabar. Ketiga santri ini masyhur sebagai santri yang cerdas-cekatan-berakhlak baik-dan senantiasa menjadi pelopor dalam pengabdian kepada masyarakat.
Tipe santri pertama: Berotak brilian. Fasih berbahasa Arab. Lulusan terbaik. Juga pernah mendapatkan beasiswa ke LN. Tapi ia lebih memilih mengabdi Full di pesantren, mengajar. Ia turuti permintaan sang Kiai, "Sudah buat apa jauh-jauh mencari ilmu. Di pesantren ini saja, ilmu berlimpah. Mau cari apa, pasti ada!"
Tipe santri kedua: Berotak cerdas. Menguasai ilmu qiroah. Pandai berceramah. Hingga ia selalu diundang ke kota-kota besar. Ia turuti permintaan Kia-nya. Namun di sela-sela
hari dimana ia tidak ada jadwal mengajar, ia isi untuk mengisi pengajian di kota-kota dan menjalin silaturahmi lebih luas.
Tipe santri ketiga: Berotak cergas. Mahir berbahasa Arab. Memiliki hobi seni menyanyi. Ia turuti permintaan Kiai untuk mengabdi beberapa tahun. Hingga saat ada kesempatan belajar di luar kota hingga Luar Negeri, ia pamit.
20 Tahun kemudian, ketiga santri tersebut mencatat sejarah masing-masing. Mereka sudah berumah tangga. Semua beranak banyak. Bahkan santri kedua, dikaruniai 2 istri dan belasan anak.
Santri pertama: Gaji dari hasil mengajar sangat kecil, tidak cukup menopang kebutuhan anak-anaknya. Sang Kiai telah wafat. Akhirnya ia memilih mencari penghasilan tambahan, mulai dari menjadi sopir angkutan kota hingga berniat menjadi TKI di negara Teluk.
Santri kedua: Gaji dari pesantren jelas sangat kecil. Namun ia mampu sejahtera karena sering mengisi pengajian di kota-kota. Bahkan ia telah mendirikan pesantren, dengan jumlah santri yang cukup banyak.
Santri ketiga: Ia tak terlalu memperhitungkan gaji di pesantren. Ia lebih banyak membangun jaringan. Aktif di bidang pengkaderan dan rekrutmen santri-santri, untuk kemudian diarahkan pada satu pembinaan yang disebut tarbiyah. Karena baginya,
tarbiyah telah menjadikan dirinya sebagai orang pinggiran menjadi orang terpandang. Walau dengan kecerdasan yang masih jauh dari santri pertama.
Apa yang membuat santri ketiga lebih melejit dibanding santri pertama dan kedua? Padahal sama-sama berotak pintar dan berada dalam satu lembaga pendidikan?
Tarbiyah menjadikan santri ketiga ini, melesat hingga baru-baru ini menjadi tokoh nasional setelah ditunjuk sebagai sekjen salah satu partai. Sebelumnya ia dikenal luas khalayak dengan nasyid-nasyidnya, selain sebagai konsultan syariah sesuai basis keilmuan semasa belajar. Urusan luar negeri, tidak lagi melulu Luar Nagrek. Tapi betul-betul sudah melanglangbuana, hingga ke pelbagai belahan dunia.
***
Sahabat, banyak yang salah kaprah
ketika kita aktif dalam tarbiyah. Saya tidak akan membahas tentang sejarah tarbiyah zaman Rasul. Tapi belajar dari ketiga santri di atas, saya menemukan bahwa ketika kita memasuki gerbang pembinaan tarbiyah, maka sebenarnya kita diarahkan untuk menjadi 4 sosok berikut:
1. Ujung tombak.
Ibarat busur panah, dengan tarbiyah kita dipersiapkan untuk menjadi pribadi-pribadi yang siap dilesatkan mencapai sasaran dari universalitas dakwah. Target dari dakwah sudah jelas. Ta'rif-Tanfidz-Takwin adalah sasaran-sasaran di setiap fase tarbiyah.
Menjadi pribadi ahli ibadah-berkarakter 10 muwashofat, adalah upaya maksimal yang hendak dicapai tarbiyah. Maka bisa dipastikan, akan ada orang yang 'alim-ahli ibadah, namun ia berada di zona nyaman. Ada keengganan tak terucapkan, saat ia harus menjadi ujung tombak dari semua pengorbanan.
Dalam tarbiyah, siapapun dan apapun latarbelakang kita, maka kita harus siap menjadi prajurit sebelum menjadi komandan. Karena komandan yang otpimum, lahir dari jiwa prajurit yang maksimum.
2. Ujung Tembok.
Lazimnya sebuah tembok, tarbiyah mengarahkan kader untuk menjadi jiwa-jiwa yang indah dipandang, kuat diterjang badai, tak lekang diguyur hujan. Sehat ruhiah harus seiring dengan kesehatan fisik. Pun sebaliknya.
Karena jiwa-jiwa yang ditarbiyah, harus siap menghadapi segala keadaan dan cuaca. Hujan-panas-kemarau-dingin. Atau cuaca fitnah-bully-ghibah-caci maki. Semua harus dihadapi dengan keramahan, namun tetap tegas dan tegar sekuat tembok.
Tarbiyah sama sekali tidak mentolelir jiwa-jiwa yang ringkih-galau-lebay-banyak alasan, atau jiwa-jiwa yang kasar, pengadil (salah benar, muslim-kafir), jiwa-jiwa yang antipati apalagi suka mengeluh.
3. Ujung Tambak.
Maksud tambak di sini adalah, tarbiyah membina semua jiwa-jiwa agar mampu menemukan potensi terbaik yang dimilikinya untuk kemudian disumbangkan bagi kemajuan dakwah dan kejayaan Islam-Muslimin.
Lulusan Timteng, Eropa, hingga tanah air diarahkan memeras otak-berpeluh keringat-bergerak cepat agar mampu memberikan jawaban atas setiap problematika yang dihadapi umat. Mulai dari problem kayakinan-kesehatan-budaya-pol itik-ekonomi-sains teknologi-hingga pertanian.
Kehadiran jiwa-jiwa tertarbiyah dalam setiap keadaan, susah-senang; bencana-bahagia; carut marut-damai sentosa. Bahkan jiwa-jiwa tarbiyah harus menjadi penyeimbang dari semua kondisi. Jika senang tak lupa daratan. Jika susah tak perlu keluh kesah. Saat carut-marut tak perlu makin sengkarut. Saat aman sentosa tak lup pada Allah Ta'ala.
Tarbiyah berfusngi memoles, bukan mengubah. Sebagaimana Umar yang keras dan Abu Bakar yang lebut, setelah ditarbiyah baginda Rasul tidak lantas berbalik. Umar tetap dengan sikap kerasnya, penuh prinsip, namun semua dipoles agar diarahkan semakin indah demi kebenaran. Sebagaimana Abu Bakar pun demikian.
Jadi tarbiyah bukanlah media sulap: Sim salabim semua berubah dari yang biasa jadi luarbiasa, from zero to hero, atau from koko to zoro. Sama sekali tidak. Tarbiyah adalah menggali potensi-potensi/bakat-bakat terpendam dan mengartikulasikannya dalam kehidupan.
4. Ujung Tombok.
Apapun selama di dunia ini, pasti membutuhkan uang-materi-harta. Tarbiyah mendidik jiwa-jiwa agar siap mengorbankan apa yang mampu dikorbankan. Semua demi peran memberikan sumbangsih yang mampu diberikan. Tenaga-fikiran-harta-waktu adalah hal lumrah dalam tarbiyah. Karena kelemahan umat Islam bukan hanya disebabkan rekayasa dan konspirasi musuh, tapi lebih dikarenakan jiwa-jiwa muslimnya enggan berkontribusi maksimal-optimal bagi kejayaan Islam itu sendiri.
Shunduquna juyuubuna, tidak pernah berubah menjad Shunduqunaa APBD-unaa. Karena jiwa-jiwa tertarbiyah akan siap menjadi ujung tambak, bagi roda perjalanan dakwah hingga ajal menjemput: dakwah menjadi pemenang atau kita telah banyak berkontribusi positif.
Ingat One Man One Dollar, atau iuran bulanan yang rutin dikeluarkan, hingga sumbangan sukarela untuk menjalani setiap fase-fase perjuangan.
Kesimpulan
Sahabat, betul saat sebuah adagium mengatakan, "Tarbiyah bukan segala-galanya. Tapi segala-galanya bisa berawal dari tarbiyah."
Dalam tarbiyah kita bisa:
1. Berkawan dengan orang yang multi latarbelakang. Karena tarbiyah anti fanatisme suku, golongan, almamater, hingga gelar-kedudukan-kekayaan. Jiwa paling bertakwa kepada Allah saja yang paling patut dijadikan teladan.
2. Bersaudara dengan orang yang asalnya multiinterest, multitabiat-watak, juga multidimensi. Karena tarbiyah mendidik jiwa-jiwa agar berusaha semua LILLAAH bukan Lil-Jaah (Kehormatan-kedudukan). Jika pun ada jiwa tertarbiyah yang kebetulan jadi Aleg-Bupati/ Walkot-Gubernur-Menteri,
spirit LILLAAH adalah nomor 1. Mereka akan tetap aktif dalam pembinaan
tarbiyah. Bagaimanapun posisi dan kesibukan.
3. Berjuang dalam kebersamaan, melakukan hal-hal yang logis-rasional-terukur, jauh dari utopia-euforia-atau hanya klaim-klaim dewa yang tak nyata. Kendati demikian, tetap membuka diri untuk menghargai perjuangan yang bermuara pada kejayaan umat.
Jadi hari gini salah niat dalam tarbiyah? Apa kata dunia ....!
26/3/13
***
Alkisah, ada 3 santri di sebuah pesantren pinggiran Jabar. Ketiga santri ini masyhur sebagai santri yang cerdas-cekatan-berakhlak baik-dan senantiasa menjadi pelopor dalam pengabdian kepada masyarakat.
Tipe santri pertama: Berotak brilian. Fasih berbahasa Arab. Lulusan terbaik. Juga pernah mendapatkan beasiswa ke LN. Tapi ia lebih memilih mengabdi Full di pesantren, mengajar. Ia turuti permintaan sang Kiai, "Sudah buat apa jauh-jauh mencari ilmu. Di pesantren ini saja, ilmu berlimpah. Mau cari apa, pasti ada!"
Tipe santri kedua: Berotak cerdas. Menguasai ilmu qiroah. Pandai berceramah. Hingga ia selalu diundang ke kota-kota besar. Ia turuti permintaan Kia-nya. Namun di sela-sela
hari dimana ia tidak ada jadwal mengajar, ia isi untuk mengisi pengajian di kota-kota dan menjalin silaturahmi lebih luas.
Tipe santri ketiga: Berotak cergas. Mahir berbahasa Arab. Memiliki hobi seni menyanyi. Ia turuti permintaan Kiai untuk mengabdi beberapa tahun. Hingga saat ada kesempatan belajar di luar kota hingga Luar Negeri, ia pamit.
20 Tahun kemudian, ketiga santri tersebut mencatat sejarah masing-masing. Mereka sudah berumah tangga. Semua beranak banyak. Bahkan santri kedua, dikaruniai 2 istri dan belasan anak.
Santri pertama: Gaji dari hasil mengajar sangat kecil, tidak cukup menopang kebutuhan anak-anaknya. Sang Kiai telah wafat. Akhirnya ia memilih mencari penghasilan tambahan, mulai dari menjadi sopir angkutan kota hingga berniat menjadi TKI di negara Teluk.
Santri kedua: Gaji dari pesantren jelas sangat kecil. Namun ia mampu sejahtera karena sering mengisi pengajian di kota-kota. Bahkan ia telah mendirikan pesantren, dengan jumlah santri yang cukup banyak.
Santri ketiga: Ia tak terlalu memperhitungkan gaji di pesantren. Ia lebih banyak membangun jaringan. Aktif di bidang pengkaderan dan rekrutmen santri-santri, untuk kemudian diarahkan pada satu pembinaan yang disebut tarbiyah. Karena baginya,
tarbiyah telah menjadikan dirinya sebagai orang pinggiran menjadi orang terpandang. Walau dengan kecerdasan yang masih jauh dari santri pertama.
Apa yang membuat santri ketiga lebih melejit dibanding santri pertama dan kedua? Padahal sama-sama berotak pintar dan berada dalam satu lembaga pendidikan?
Tarbiyah menjadikan santri ketiga ini, melesat hingga baru-baru ini menjadi tokoh nasional setelah ditunjuk sebagai sekjen salah satu partai. Sebelumnya ia dikenal luas khalayak dengan nasyid-nasyidnya, selain sebagai konsultan syariah sesuai basis keilmuan semasa belajar. Urusan luar negeri, tidak lagi melulu Luar Nagrek. Tapi betul-betul sudah melanglangbuana, hingga ke pelbagai belahan dunia.
***
Sahabat, banyak yang salah kaprah
ketika kita aktif dalam tarbiyah. Saya tidak akan membahas tentang sejarah tarbiyah zaman Rasul. Tapi belajar dari ketiga santri di atas, saya menemukan bahwa ketika kita memasuki gerbang pembinaan tarbiyah, maka sebenarnya kita diarahkan untuk menjadi 4 sosok berikut:
1. Ujung tombak.
Ibarat busur panah, dengan tarbiyah kita dipersiapkan untuk menjadi pribadi-pribadi yang siap dilesatkan mencapai sasaran dari universalitas dakwah. Target dari dakwah sudah jelas. Ta'rif-Tanfidz-Takwin adalah sasaran-sasaran di setiap fase tarbiyah.
Menjadi pribadi ahli ibadah-berkarakter 10 muwashofat, adalah upaya maksimal yang hendak dicapai tarbiyah. Maka bisa dipastikan, akan ada orang yang 'alim-ahli ibadah, namun ia berada di zona nyaman. Ada keengganan tak terucapkan, saat ia harus menjadi ujung tombak dari semua pengorbanan.
Dalam tarbiyah, siapapun dan apapun latarbelakang kita, maka kita harus siap menjadi prajurit sebelum menjadi komandan. Karena komandan yang otpimum, lahir dari jiwa prajurit yang maksimum.
2. Ujung Tembok.
Lazimnya sebuah tembok, tarbiyah mengarahkan kader untuk menjadi jiwa-jiwa yang indah dipandang, kuat diterjang badai, tak lekang diguyur hujan. Sehat ruhiah harus seiring dengan kesehatan fisik. Pun sebaliknya.
Karena jiwa-jiwa yang ditarbiyah, harus siap menghadapi segala keadaan dan cuaca. Hujan-panas-kemarau-dingin. Atau cuaca fitnah-bully-ghibah-caci maki. Semua harus dihadapi dengan keramahan, namun tetap tegas dan tegar sekuat tembok.
Tarbiyah sama sekali tidak mentolelir jiwa-jiwa yang ringkih-galau-lebay-banyak alasan, atau jiwa-jiwa yang kasar, pengadil (salah benar, muslim-kafir), jiwa-jiwa yang antipati apalagi suka mengeluh.
3. Ujung Tambak.
Maksud tambak di sini adalah, tarbiyah membina semua jiwa-jiwa agar mampu menemukan potensi terbaik yang dimilikinya untuk kemudian disumbangkan bagi kemajuan dakwah dan kejayaan Islam-Muslimin.
Lulusan Timteng, Eropa, hingga tanah air diarahkan memeras otak-berpeluh keringat-bergerak cepat agar mampu memberikan jawaban atas setiap problematika yang dihadapi umat. Mulai dari problem kayakinan-kesehatan-budaya-pol
Kehadiran jiwa-jiwa tertarbiyah dalam setiap keadaan, susah-senang; bencana-bahagia; carut marut-damai sentosa. Bahkan jiwa-jiwa tarbiyah harus menjadi penyeimbang dari semua kondisi. Jika senang tak lupa daratan. Jika susah tak perlu keluh kesah. Saat carut-marut tak perlu makin sengkarut. Saat aman sentosa tak lup pada Allah Ta'ala.
Tarbiyah berfusngi memoles, bukan mengubah. Sebagaimana Umar yang keras dan Abu Bakar yang lebut, setelah ditarbiyah baginda Rasul tidak lantas berbalik. Umar tetap dengan sikap kerasnya, penuh prinsip, namun semua dipoles agar diarahkan semakin indah demi kebenaran. Sebagaimana Abu Bakar pun demikian.
Jadi tarbiyah bukanlah media sulap: Sim salabim semua berubah dari yang biasa jadi luarbiasa, from zero to hero, atau from koko to zoro. Sama sekali tidak. Tarbiyah adalah menggali potensi-potensi/bakat-bakat terpendam dan mengartikulasikannya dalam kehidupan.
4. Ujung Tombok.
Apapun selama di dunia ini, pasti membutuhkan uang-materi-harta. Tarbiyah mendidik jiwa-jiwa agar siap mengorbankan apa yang mampu dikorbankan. Semua demi peran memberikan sumbangsih yang mampu diberikan. Tenaga-fikiran-harta-waktu adalah hal lumrah dalam tarbiyah. Karena kelemahan umat Islam bukan hanya disebabkan rekayasa dan konspirasi musuh, tapi lebih dikarenakan jiwa-jiwa muslimnya enggan berkontribusi maksimal-optimal bagi kejayaan Islam itu sendiri.
Shunduquna juyuubuna, tidak pernah berubah menjad Shunduqunaa APBD-unaa. Karena jiwa-jiwa tertarbiyah akan siap menjadi ujung tambak, bagi roda perjalanan dakwah hingga ajal menjemput: dakwah menjadi pemenang atau kita telah banyak berkontribusi positif.
Ingat One Man One Dollar, atau iuran bulanan yang rutin dikeluarkan, hingga sumbangan sukarela untuk menjalani setiap fase-fase perjuangan.
Kesimpulan
Sahabat, betul saat sebuah adagium mengatakan, "Tarbiyah bukan segala-galanya. Tapi segala-galanya bisa berawal dari tarbiyah."
Dalam tarbiyah kita bisa:
1. Berkawan dengan orang yang multi latarbelakang. Karena tarbiyah anti fanatisme suku, golongan, almamater, hingga gelar-kedudukan-kekayaan. Jiwa paling bertakwa kepada Allah saja yang paling patut dijadikan teladan.
2. Bersaudara dengan orang yang asalnya multiinterest, multitabiat-watak, juga multidimensi. Karena tarbiyah mendidik jiwa-jiwa agar berusaha semua LILLAAH bukan Lil-Jaah (Kehormatan-kedudukan). Jika pun ada jiwa tertarbiyah yang kebetulan jadi Aleg-Bupati/
3. Berjuang dalam kebersamaan, melakukan hal-hal yang logis-rasional-terukur, jauh dari utopia-euforia-atau hanya klaim-klaim dewa yang tak nyata. Kendati demikian, tetap membuka diri untuk menghargai perjuangan yang bermuara pada kejayaan umat.
Jadi hari gini salah niat dalam tarbiyah? Apa kata dunia ....!
26/3/13
Langganan:
Postingan (Atom)