Kamis, 25 April 2013

" KETIKA SI DIA PERGI DARIMU "




Bismillahirrahmanirrahim ,,

Sedih rasanya,ketika kita menginginkan seseorang tapi tak bisa memilikinya..Dan akan lebih sedih ketika telah memilikinya lalu kehilangannya..Namun semua itu jangan menjadikan dirimu terus Tenggelam dalam Kekecewaan..

Ketika dia pergi jangan engkau tangisi..
Ketika dia pergi jangan engkau sesali..
Jikalau pun dia pergi jangan rendahkan harga diri..
Ketika si dia pergi jangan harapkan kembali..
Juga jangan emosi..
Jangan pernah sakit hati
Apa lagi frustasi..

KERANA:
Dia pergi untuk diganti..
Dia pergi ada yang lebih baik lagi..
Dia pergi untuk menguatkan hati..
Dia pergi melatih bangkit lagi..
Dia pergi hanya untuk menguji diri..
Dia pergi mengangkat derajat kita pada ILLAHI RABBI..
Dia pergi bukan Akhir segalanya..

Yakinlah suatu hari ALLAH Subhanahu Wa Ta'ala memberi ganti dia yang pergi dengan sosok yang lain,meski tak serupa dan tak sama..

Ambil Hikmah dari kepergiannya ..
Terimalah yang akan datang dengan tangan terbuka dan hati berlapang dada..karena Kebahagiaan itu bukan dengan siapa kita menjalani hidup..
 

Rabu, 24 April 2013

Telat Nikah = Gagap Bersyariat


Oleh : Nandang Burhanudin 
"Assalamu'alaikum ... Apa kabar ustadz ... sudah berapa putra?", seorang anak muda terengah menghampiri.
"Waalaikum salam ... kabar baik akhi ... putra 2, 2 putri. Alhamdulillah, dari dua bibit", ungkap sang ustadz sembari mengulurkan tangan menyalami.
"Waduh .. subhanallah ... alf mabruuk ya tadz .. semoga makin berkah dan berlimpah ...", ungkapnya.
"Hadzaa min fadhli Rabbi ... walhamdulillah ... ngomong2 sudah berapa putra?"
"He he ... nikah aja belum, apalagi putra ..." ia menunduk.

"Lho kok bisa? Bukannya dah deket kepala 3 ya?"
"Ya .. ya .. ya .. masih banyak urusan tadz ..", ia menghela napas.

"Ooo ... jadi kalau nikah dan berkeluarga bukan urusan ya?" tanya sang ustadz mendesak.
"Ya .. ya .. ya ..urusan juga sih tadz .." ia gagap.

"Gini akhi ... segala sesuatu itu akan nikmat jika pas waktunya. Ketika pria dikhitan, bayangkan jika sudah terlewat waktu? Makanya Islam mensiratkan khitan itu saat usia belum wajib disuruh shalat. Karena saat baligh, ia harus fokus menimba ilmu dan pengalaman. Baru saat dewasa, ia sudah siap memimpin dunia ... mulai dari memimpin keluarga. Gimana bisa memimpin duania, kalau menikah aja belum terbukti!", jelas sang ustaz.

"Waduh ... ", anak muda itu memegang kepala. Nampak penyesalan menggelayuti raut mukanya.

"Berapa kerugian saat seorang anak muda telah menikah? Banyak bukan? Salah satunya adalah: terhambatnya kelahiran generasi-generasi baru yang diharapkan jika dididik secara benar, bisa menjadi asset berharga bagi kebangkitan umat. Itulah spirit juang warga Palestina, menikah cepat, bernanak banyak, dan beristri empat ... Allahu Akbar .." sang ustadz penuh semangat.

"Oooh ... pantesan ustadz sudah 4 anak dari dua bibit ya tadz ...", ujar anak muda penuh semangat.

"He he ... belum ... 2 bibit itu saya dan istri saya ... he he ...." sang ustadz tersipu malu.

***

Selasa, 23 April 2013

7 HUKUM MENCINTAI SESEORANG


1.Boleh kita mencintai seseorang asalkan tidak mengajaknya berduaan

2.Boleh kita mencintai seseorang asalkan tidak mengajaknya kpd kemaksiatan

3.Boleh kita mencintai seseorang asalkan tidak mengajaknya bergandengan

4.Boleh kita mencintai seseorang asalkan tidak mengajaknya kepada jalan syaitan

5.Boleh kita mencintai seseorang asalkan tidak keluar dari syariat islam

6.Boleh kita mencintai seseorang asalkan tidak mengajaknya berpacaran..

7.Jika engkau mencintainya..
Maka ajaklah kepada pernikahan..

Setuju? :)

By : eL-ghazaly
Facebook.com/alaudien.alghazaly

Kamis, 18 April 2013

Arkanul Bujang/ 10 Rukun Bujang

10 rukun bujang  untuk Yang Berguguran di Jalan Bujang. ^_^
  1. al-fahmu : yang kami maksud dengan al-fahmu adalah bahwa kita tidak akan selamanya membujang
  2. al-ikhlash : adalah berlapang dada jika seorang akhawat incarannya keburu di khitbah & dinikahi oleh ikhwan lain
  3. al-amal : seorang al-akh al-bujang mampu bekerja dalam diam, artinya ia kalem sepanjang hari, tapi sekalinya posting langsung menyebarkan undangan walimah
  4. al-jihad : bersungguh-sungguh dalam memerankan amanah sebagai bujang
  5. at-thadiyah : mampu berkorban meskipun dengan kurban perasaan
  6. tha'at : patuh tanpa reserve terhadap mursyidul bujang
  7. tsabat : teguh dan anti galau :P
  8. tajarrud : produktif dalam amal selama membujang
  9. ukhuwwah : sesama al-akh al-bujang tidak boleh mengincar 1 akhwat yg sama
  10. tsiqoh : percaya bahwa kita sama-sama masih bujang.

Selasa, 16 April 2013

Ketika Derita Mengabadikan Cinta

Ketika Derita Mengabadikan Cinta




Oleh : Ustadz Habiburahman El Shirazi

"Kini tiba saatnya kita semua mendengarkan nasihat pernikahan untuk kedua mempelai yang akan disampaikan oleh yang terhormat Prof. Dr. Mamduh Hasan Al-Ganzouri . Beliau adalah Ketua Ikatan Dokter Kairo dan Dikrektur Rumah Sakit Qashrul Aini, seorang pakar syaraf terkemuka di Timur Tengah, yang tak lain adalah juga dosen kedua mempelai. Kepada Professor dipersilahkan..."
Suara pembawa acara walimatul urs itu menggema di seluruh ruangan resepsi pernikahan nan mewah di Hotel Hilton Ramses yang terletak di tepi sungai Nil, Kairo.
Seluruh hadirin menanti dengan penasaran, apa kiranya yang akan disampaikan pakar syaraf jebolan London itu. Hati mereka menanti-nanti mungkin akan ada kejutan baru mengenai hubungan pernikahan dengan kesehatan syaraf dari professor yang murah senyum dan sering nongol di televisi itu.

Sejurus kemudian, seorang laki-laki separuh baya berambut putih melangkah menuju podium. Langkahnya tegap. Air muka di wajahnya memancarkan wibawa. Kepalanya yang sedikit botak, meyakinkan bahwa ia memang seorang ilmuan berbobot. Sorot matanya yang tajam dan kuat, mengisyaratkan pribadi yang tegas. Begitu sampai di podium, kamera video dan lampu sorot langsung shoot ke arahnya. Sesaat sebelum bicara, seperti biasa, ia sentuh gagang kacamatanya, lalu...

Bismillah, alhamdulillah, washalatu was salamu'ala Rasulillah, amma ba'du. Sebelumnya saya mohon ma'af , saya tidak bisa memberi nasihat lazimnya para ulama, para mubhaligh dan para ustadz. Namun pada kesempatan kali ini perkenankan saya bercerita...
Cerita yang hendak saya sampaikan kali ini bukan fiktif belaka dan bukan cerita biasa. Tetapi sebuah pengalaman hidup yang tak ternilai harganya, yang telah saya kecap dengan segenap jasad dan jiwa saya. arapan saya, mempelai berdua dan hadirin sekalian yang dimuliakan Allah bisa mengambil hikmah dan pelajaran yang dikandungnya. Ambilah mutiaranya dan buanglah lumpurnya.
Saya berharap kisah nyata saya ini bisa melunakkan hati yang keras, melukiskan nuansa-nuansa cinta dalam kedamaian, serta menghadirkan kesetiaan pada segenap hati yang menangkapnya.
Tiga puluh tahun yang lalu ...
Saya adalah seorang pemuda, hidup di tengah keluarga bangsawan menengah ke atas. Ayah saya seorang perwira tinggi, keturunan "Pasha" yang terhormat di negeri ini. Ibu saya tak kalah terhormatnya, seorang lady dari keluarga aristokrat terkemuka di Ma'adi, ia berpendidikan tinggi, ekonom jebolan Sorbonne yang memegang jabatan penting dan sangat dihormati kalangan elit politik di negeri ini.
Saya anak sulung, adik saya dua, lelaki dan perempuan. Kami hidup dalam suasana aristokrat dengan tatanan hidup tersendiri. Perjalanan hidup sepenuhnya diatur dengan undang-undang dan norma aristokrat. Keluarga besar kami hanya mengenal pergaulan dengan kalangan aristokrat atau kalangan high class yang sepadan!


Entah kenapa saya merasa tidak puas dengan cara hidup seperti ini. Saya merasa terkukung dan terbelenggu dengan strata sosial yang didewa-dewakan keluarga. Saya tidak merasakan benar hidup yang saya cari. Saya lebih merasa hidup justru saat bergaul dengan teman-teman dari kalangan bawah yang menghadapi hidup dengan penuh rintangan dan perjuangan. Hal ini ternyata membuat gusar keluarga saya, mereka menganggap saya ceroboh dan tidak bisa menjaga status sosial keluarga. Pergaulan saya dengan orang yang selalu basah keringat dalam mencari pengganjal perut dianggap memalukan keluarga. Namun saya tidak peduli.
Karena ayah memperoleh warisan yan sangat besar dari kakek, dan ibu mampu mengembangkannya dengan berlipat ganda, maka kami hidup mewah dengan selera tinggi. Jika musim panas tiba, kami biasa berlibur ke luar negri, ke Paris, Roma, Sydney atau kota besar dunia lainnya. Jika berlibur di dalam negeri ke Alexandria misalnya, maka pilihan keluarga kami adalah hotel San Stefano atau hotel mewah di Montaza yang berdekatan dengan istana Raja Faruq.
Begitu masuk fakultas kedokteran, saya dibelikan mobil mewah. Berkali-kali saya minta pada ayah untuk menggantikannya dengan mobil biasa saja, agar lebih enak bergaul dengan teman-teman dan para dosen. Tetapi beliau menolak mentah-mentah.
"Justru dengan mobil mewah itu kamu akan dihormati siapa saja" tegas ayah.
Terpaksa saya pakai mobil itu meskipun dalam hati saya membantah habis-habisan pendapat materialis ayah. Dan agar lebih nyaman di hati, saya parkir mobil itu agak jauh dari tempat kuliah.
Ketika itu saya jatuh cinta pada teman kuliah. Seorang gadis yang penuh pesona lahir batin. Saya tertarik dengan kesederhanaan, kesahajaan, dan kemuliaan ahlaknya. Dari keteduhan wajahnya saya menangkap dalam relung hatinya tersimpan kesetiaan dan kelembutan tiada tara. Kecantikan dan kecerdasannya sangat menajubkan. Ia gadis yang beradab dan berprestasi, sama seperti saya.


Gayung pun bersambut. Dia ternyata juga mencintai saya. Saya merasa telah menemukan pasangan hidup yang tepat. Kami berjanji untuk menempatkan cinta ini dalam ikatan suci yang diridhai Allah, yaitu ikatan pernikahan. Akhirnya kami berdua lulus dengan nilai tertinggi di fakultas. Maka datanglah saat untuk mewujudkan impian kami berdua menjadi kenyataan. Kami ingin memadu cinta penuh bahagia di jalan yang lurus.
Saya buka keinginan saya untuk melamar dan menikahi gadis pujaan hati pada keluarga. Saya ajak dia berkunjung ke rumah. Ayah, ibu, dan saudara-saudara saya semuanya takjub dengan kecantikan, kelembutan, dan kecerdasannya. Ibu saya memuji cita rasanya dalam memilih warna pakaian serta tutur bahasanya yang halus.
Usai kunjungan itu, ayah bertanya tentang pekerjaan ayahnya. Begitu saya beritahu, serta merta meledaklah badai kemarahan ayah dan membanting gelas yang ada di dekatnya. Bahkan beliau mengultimatum:  Pernikahan ini tidak boleh terjadi selamanya!
Beliau menegaskan bahwa selama beliau masih hidup rencana pernikahan dengan gadis berakhlak mulia itu tidak boleh terjadi. Pembuluh otak saya nyaris pecah pada saat itu menahan remuk redam kepedihan batin yang tak terkira.
Hadirin semua, apakah anda tahu sebabnya? Kenapa ayah saya berlaku sedemikian sadis? Sebabnya, karena ayah calon istri saya itu tukang cukur....tukang cukur, ya... sekali lagi tukang cukur! Saya katakan dengan bangga. Karena, meski hanya tukang cukur, dia seorang lelaki sejati. Seorang pekerja keras yang telah menunaikan kewajibannya dengan baik kepada keluarganya. Dia telah mengukir satu prestasi yang tak banyak dilakukan para bangsawan "Pasha". Lewat tangannya ia lahirkan tiga dokter, seorang insinyur dan seorang letnan, meskipun dia sama sekali tidak mengecap bangku pendidikan.
Ibu, saudara dan semua keluarga berpihak kepada ayah. Saya berdiri sendiri, tidak ada yang membela. Pada saat yang sama adik saya membawa pacarnya yang telah hamil 2 bulan ke rumah. Minta direstui. Ayah ibu langsung merestui dan menyiapkan biaya pesta pernikahannya sebesar 500 ribu ponds. Saya protes kepada mereka, kenapa ada perlakuan tidak adil seperti ini? Kenapa saya yang ingin bercinta di jalan yang lurus tidak direstui, sedangkan adik saya yang jelas-jelas telah berzina, bergonta-ganti pacar dan akhirnya menghamili pacarnya yang entah yang ke berapa di luar akad nikah malah direstui dan diberi fasilitas maha besar? Dengan enteng ayah menjawab. "Karena kamu memilih pasangan hidup dari strata yang salah dan akan menurunkan martabat keluarga, sedangkan pacar adik kamu yang hamil itu anak menteri, dia akan menaikkan martabat keluarga besar Al Ganzouri."
Hadirin semua, semakin perih luka dalam hati saya. Kalau dia bukan ayah saya, tentu sudah saya maki habis-habisan. Mungkin itulah tanda kiamat sudah dekat, yang ingin hidup bersih dengan menikah dihalangi, namun yang jelas berzina justru difasilitasi.
Dengan menyebut asma Allah, saya putuskan untuk membela cinta dan hidup saya. Saya ingin buktikan pada siapa saja, bahwa cara dan pasangan bercinta pilihan saya adalah benar. Saya tidak ingin apa-apa selain menikah dan hidup baik-baik sesuai dengan tuntunan suci yang saya yakini kebenarannya. Itu saja.
Saya bawa kaki ini melangkah ke rumah kasih dan saya temui ayahnya. Dengan penuh kejujuran saya jelaskan apa yang sebenarnya terjadi, dengan harapan beliau berlaku bijak merestui rencana saya. Namun, la haula wala quwwata illa billah, saya dikejutkan oleh sikap beliau setelah mengetahui penolakan keluarga saya. Beliaupun menolak mentah-mentah untuk mengawinkan putrinya dengan saya. Ternyata beliau menjawabnya dengan reaksi lebih keras, beliau tidak menganggapnya sebagai anak jika tetap nekad menikah dengan saya.
Kami berdua bingung, jiwa kami tersiksa. Keluarga saya menolak pernikahan ini terjadi karena alasan status sosial , sedangkan keluarga dia menolak karena alasan membela kehormatan.
Berhari-hari saya dan dia hidup berlinang air mata, beratap dan bertanya kenapa orang-orang itu tidak memiliki kesejukan cinta?

Setelah berpikir panjang, akhirnya saya putuskan untuk mengakhiri penderitaan ini. Suatu hari saya ajak gadis yang saya cintai itu ke kantor ma'dzun syari (petugas pencatat nikah) disertai 3 orang sahabat karibku. Kami berikan identitas kami dan kami minta ma'dzun untuk melaksanakan akad nikah kami secara syari'ah mengikuti mahzab imam Hanafi.
Ketika Ma'dzun menuntun saya, "Mamduh, ucapkanlah kalimat ini: Saya terima nikah kamu sesuai dengan sunatullah wa rasulih dan dengan mahar yang kita sepakati bersama serta dengan memakai mahzab Imam Abu Hanifah."
Seketika itu bercucuranlah air mata saya, air mata dia dan air mata 3 sahabat saya yang tahu persis detail perjalanan menuju akad nikah itu. Kami keluar dari kantor itu resmi menjadi suami-isteri yang sah di mata Allah SWT dan manusia. Saya bisikkan ke istri saya agar menyiapkan kesabaran lebih, sebab rasanya penderitaan ini belum berakhir.
Seperti yang saya duga, penderitaan itu belum berakhir, akad nikah kami membuat murka keluarga. Prahara kehidupan menanti di depan mata. Begitu mencium pernikahan kami, saya diusir oleh ayah dari rumah. Mobil dan segala fasilitas yang ada disita. Saya pergi dari rumah tanpa membawa apa-apa. Kecuali tas kumal berisi beberapa potong pakaian dan uang sebanyak 4 pound saja!  Itulah sisa uang yang saya miliki sehabis membayar ongkos akad nikah di kantor ma'dzun.
Begitu pula dengan istriku, ia pun diusir oleh keluarganya. Lebih tragis lagi ia hanya membawa tas kecil berisi pakaian dan uang sebanyak 2 pound, tak lebih! Total kami hanya pegang uang 6 pound atau 2 dolar!!!
Ah, apa yang bisa kami lakukan dengan uang 6 pound? Kami berdua bertemu di jalan layaknya gelandangan. Saat itu adalah bulan Februari, tepat pada puncak musim dingin. Kami menggigil, rasa cemas, takut, sedih dan sengsara campur aduk menjadi satu. Hanya saja saat mata kami yang berkaca-kaca bertatapan penuh cinta dan jiwa menyatu dalam dekapan kasih sayang , rasa berdaya dan hidup menjalari sukma kami.
"Habibi, maafkan kanda yang membawamu ke jurang kesengsaraan seperti ini. Maafkan Kanda!"
"Tidak... Kanda tidak salah, langkah yang kanda tempuh benar. Kita telah berpikir benar dan bercinta dengan benar. Merekalah yang tidak bisa menghargai kebenaran. Mereka masih diselimuti cara berpikir anak kecil. Suatu ketika mereka akan tahu bahwa kita benar dan tindakan mereka salah. Saya tidak menyesal dengan langkah yang kita tempuh ini.
Percayalah, insya Allah, saya akan setia mendampingi kanda, selama kanda tetap setia membawa dinda ke jalan yang lurus. Kita akan buktikan kepada mereka bahwa kita bisa hidup dan jaya dengan keyakinan cinta kita. Suatu ketika saat kita gapai kejayaan itu kita ulurkan tangan kita dan kita berikan senyum kita pada mereka dan mereka akan menangis haru.
Air mata mereka akan mengalir deras seperti derasnya air mata derita kita saat ini," jawab isteri saya dengan terisak dalam pelukan.

Kata-katanya memberikan sugesti luar biasa pada diri saya. Lahirlah rasa optimisme untuk hidup. Rasa takut dan cemas itu sirna seketika. Apalagi teringat bahwa satu bulan lagi kami akan diangkat menjadi dokter. Dan sebagai lulusan terbaik masing-masing dari kami akan menerima penghargaan dan uang sebanyak 40 pound.
Malam semakin melarut dan hawa dingin semakin menggigit. Kami duduk di emperan toko berdua sebagai gembel yang tidak punya apa-apa. Dalam kebekuan, otak kami terus berputar mencari jalan keluar. Tidak mungkin kami tidur di emperan toko itu. Jalan keluar pun datang juga. Dengan sisa uang 6 pound itu kami masih bisa meminjam sebuah toko selama 24 jam.
Saya berhasil menghubungi seorang teman yang memberi pinjaman sebanyak 50 pound. Ia bahkan mengantarkan kami mencarikan losmen ala kadarnya yang murah.

Saat kami berteduh dalam kamar sederhana, segera kami disadarkan kembali bahwa kami berada di lembah kehidupan yang susah, kami harus mengarunginya berdua dan tidak ada yang menolong kecuali cinta, kasih sayang dan perjuangan keras kami berdua serta rahmat Allah SWT.
Kami hidup dalam losmen itu beberapa hari, sampai teman kami berhasil menemukan rumah kontrakan sederhana di daerah kumuh Syubra Khaimah. Bagi kaum aristokrat, rumah kontrakan kami mungkin dipandang sepantasnya adalah untuk kandang binatang kesayangan mereka. Bahkan rumah binatang kesayangan mereka mungkin lebih bagus dari rumah kontrakan kami.
Namun bagi kami adalah hadiah dari langit. Apapun bentuk rumah itu, jika seorang gelandangan tanpa rumah menemukan tempat berteduh ia bagai mendapat hadiah agung dari langit. Kebetulan yang punya rumah sedang membutuhkan uang, sehingga dia menerima akad sewa tanpa uang jaminan dan uang administrasi lainnya. Jadi sewanya tak lebih dari 25 pound saja untuk 3 bulan.
Betapa bahagianya kami saat itu, segera kami pindah kesana. Lalu kami pergi membeli perkakas rumah untuk pertama kalinya. Tak lebih dari sebuah kasur kasar dari kapas, dua bantal, satu meja kayu kecil, dua kursi dan satu kompor gas sederhana sekali, kipas dan dua cangkir dari tanah, itu saja... tak lebih.


Dalam hidup bersahaja dan belum dikatakan layak itu, kami merasa tetap bahagia, karena kami selalu bersama. Adakah di dunia ini kebahagiaan melebihi pertemuan dua orang yang diikat kuatnya cinta? Hidup bahagia adalah hidup dengan gairah cinta. Dan kenapakah orang-orang di dunia merindukan surga di akhirat? Karena di surga Allah menjanjikan cinta.
Ah, saya jadi teringat perkataan Ibnu Qayyim, bahwa nikmatnya persetubuhan cinta yang dirasa sepasang suami-isteri di dunia adalah untuk memberikan gambaran setetes nikmat yang disediakan oleh Allah di surga. Jika percintaan suami-isteri itu nikmat, maka surga jauh lebih nikmat dari semua itu. Nikmat cinta di surga tidak bisa dibayangkan. Yang paling nikmat adalah cinta yang diberikan oleh Allah kepada penghuni surga , saat Allah memperlihatkan wajah-Nya. Dan tidak semua penghuni surga berhak menikmati indahnya wajah Allah SWT.
Untuk nikmat cinta itu, Allah menurunkan petunjuknya yaitu Al-Qur'an dan Sunnah Rasul. Yang konsisten mengikuti petunjuk Allah-lah yang berhak memperoleh segala cinta di surga.
Melalui penghayatan cinta ini, kami menemukan jalan-jalan lurus mendekatkan diri kepada-Nya.
Istri saya jadi rajin membaca Al-Qur'an, lalu memakai jilbab, dan tiada putus shalat malam. Di awal malam ia menjelma menjadi Rabi'ah Adawiyah yang larut dalam samudra munajat kepada Tuhan. Pada waktu siang ia adalah dokter yang penuh pengabdian dan belas kasihan. Ia memang wanita yang berkarakter dan berkepribadian kuat, ia bertekad untuk hidup berdua tanpa bantuan siapapun, kecuali Allah SWT. Dia juga seorang wanita yang pandai mengatur keuangan. Uang sewa sebanyak 25 poud yang tersisa setelah membayar sewa rumah cukup untuk makan dan transportasi selama sebulan.
Tetanggga-tetangga kami yang sederhana sangat mencintai kami, dan kamipun mencintai mereka. Mereka merasa kasihan melihat kemelaratan dan derita hidup kami, padahal kami berdua adalah dokter. Sampai-sampai ada yang bilang tanpa disengaja,"Ah, kami kira para dokter itu pasti kaya semua, ternyata ada juga yang melarat sengsara seperti Mamduh dan isterinya."
Akrabnya pergaulan kami dengan para tetangga banyak mengurangi nestapa kami. Beberapa kali tetangga kami menawarkan bantuan-bantuan kecil layaknya saudara sendiri. Ada yang menawarkan kepada isteri agar menitipkan saja cuciannya pada mesin cuci mereka karena kami memang dokter yang sibuk. Ada yang membelikan kebutuhan dokter. Ada yang membantu membersihkan rumah. Saya sangat terkesan dengan pertolongan-pertolongan mereka.
Kehangatan tetangga itu seolah-olah pengganti kasarnya perlakuan yang kami terima dari keluarga kami sendiri. Keluarga kami bahkan tidak terpanggil sama sekali untuk mencari dan mengunjungi kami. Yang lebih menyakitkan mereka tidak membiarkan kami hidup tenang.

Suatu malam, ketika kami sedang tidur pulas, tiba-tiba rumah kami digedor dan didobrak oleh 4 bajingan kiriman ayah saya. Mereka merusak segala perkakas yang ada. Meja kayu satu-satunya, mereka patah-patahkan, begitu juga dengan kursi. Kasur tempat kami tidur satu-satunya mereka robek-robek. Mereka mengancam dan memaki kami dengan kata-kata kasar. Lalu mereka keluar dengan ancaman, "Kalian tak akan hidup tenang, karena berani menentang Tuan Pasha."
Yang mereka maksudkan dengan Tuan "Pasha" adalah ayah saya yang kala itu pangkatnya naik menjadi jendral. Ke-empat bajingan itu pergi. Kami berdua berpelukan, menangis bareng berbagi nestapa dan membangun kekuatan. Lalu kami tata kembali rumah yang hancur. Kami kumpulkan lagi kapas-kapas yang berserakan, kami masukan lagi ke dalam kasur dan kami jahit kasur yang sobek-sobek tak karuan itu. Kami tata lagi buku-buku yang berantakan. Meja dan kursi yang rusak itu berusaha kami perbaiki. Lalu kami tertidur kecapaian dengan tangan erat bergenggaman, seolah eratnya genggaman inilah sumber rasa aman dan kebahagiaan yang meringankan intimidasi hidup ini.
Benar, firasat saya mengatakan ayah tidak akan membiarkan kami hidup tenang. Saya mendapat kabar dari seorang teman bahwa ayah telah merancang skenario keji untuk memenjarakan isteri saya dengan tuduhan wanita tuna susila. Semua orang juga tahu kuatnya intelijen militer di negeri ini. Mereka berhak melaksanakan apa saja dan undang-undang berada di telapak kaki mereka. Saya hanya bisa pasrah total kepada Allah mendengar hal itu.

Dan Masya Allah! Ayah telah merancang skenario itu dan tidak mengurungkan niat jahatnya itu, kecuali setelah seorang teman karibku berhasil memperdaya beliau dengan bersumpah akan berhasil membujuk saya agar menceraikan isteri saya. Dan meminta ayah untuk bersabar dan tidak menjalankan skenario itu , sebab kalau itu terjadi pasti pemberontakan saya akan menjadi lebih keras dan bisa berbuat lebih nekad.
Tugas temanku itu adalah mengunjungi ayahku setiap pekan sambil meminta beliau sabar, sampai berhasil meyakinkan saya untuk mencerai isteriku. Inilah skenario temanku itu untuk terus mengulur waktu, sampai ayah turun marahnya dan melupakan rencana kejamnya. Sementara saya bisa mempersiapkan segala sesuatu lebih matang.
Beberapa bulan setelah itu datanglah saat wajib militer. Selama satu tahun penuh saya menjalani wajib militer. Inilah masa yang saya takutkan, tidak ada pemasukan sama sekali yang saya terima kecuali 6 pound setiap bulan. Dan saya mesti berpisah dengan belahan jiwa yang sangat saya cintai. Nyaris selama 1 tahun saya tidak bisa tidur karena memikirkan keselamatan isteri tercinta.
Tetapi Allah tidak melupakan kami, Dialah yang menjaga keselamatan hamba-hamba-Nya yang beriman. Isteri saya hidup selamat bahkan dia mendapatkan kesempatan magang di sebuah klinik kesehatan dekat rumah kami. Jadi selama satu tahun ini, dia hidup berkecukupan dengan rahmat Allah SWT.
Selesai wajib militer, saya langsung menumpahkan segenap rasa rindu kepada kekasih hati. Saat itu adalah musim semi. Musim cinta dan keindahan. Malam itu saya tatap matanya yang indah, wajahnya yang putih bersih. Ia tersenyum manis. Saya reguk segala cintanya. Saya teringat puisi seorang penyair Palestina yang memimpikan hidup bahagia dengan pendamping setia & lepas dari belenggu derita:

Sambil menatap kaki langit
Kukatakan kepadanya
Di sana... di atas lautan pasir kita akan berbaring
Dan tidur nyenyak sampai subuh tiba
Bukan karna ketiadaan kata-kata
Tapi karena kupu-kupu kelelahan
Akan tidur di atas bibir kita
Besok, oh cintaku... besok
Kita akan bangun pagi sekali
Dengan para pelaut dan perahu layar mereka
Dan akan terbang bersama angin
Seperti burung-burung
Yah... saya pun memimpikan demikian. Ingin rasanya istirahat dari nestapa dan derita. Saya utarakan mimpi itu kepada istri tercinta. Namun dia ternyata punya pandangan lain. Dia malah bersih keras untuk masuk program Magister bersama!
"Gila... ide gila!!!" pikirku saat itu. Bagaimana tidak...ini adalah saat paling tepat untuk pergi meninggalkan Mesir dan mencari pekerjaan sebagai dokter di negara Teluk, demi menjauhi permusuhan keluarga yang tidak berperasaan. Tetapi istri saya tetap  bersikukuh untuk meraih gelar Magister dan menjawab logika yang saya tolak:
"Kita berdua paling berprestasi dalam angkatan kita dan mendapat tawaran dari Fakultas sehingga akan mendapatkan keringanan biaya, kita harus sabar sebentar menahan derita untuk meraih keabadian cinta dalam kebahagiaan. Kita sudah kepalang basah menderita, kenapa tidak sekalian kita rengguk sum-sum penderitaan ini. Kita sempurnakan prestasi akademis kita, dan kita wujudkan mimpi indah kita."


Ia begitu tegas. Matanya yang indah tidak membiaskan keraguan atau ketakutan sama sekali. Berhadapan dengan tekad baja istriku, hatiku pun luluh. Kupenuhi ajakannya dengan perasaan takjub akan kesabaran dan kekuatan jiwanya.
Jadilah kami berdua masuk Program Magister. Dan mulailah kami memasuki hidup baru yang lebih menderita. Pemasukan pas-pasan, sementara kebutuhan kuliah luar biasa banyaknya, dana untuk praktek, buku, dll. Nyaris kami hidup laksana kaum Sufi, makan hanya dengan roti dan air. Hari-hari yang kami lalui lebih berat dari hari-hari awal pernikahan kami. Malam hari kami lalui bersama dengan perut kosong, teman setia kami adalah air keran.
Masih terekam dalam memori saya, bagaimana kami belajar bersama dalam suatu malam sampai didera rasa lapar yang tak terperikan, kami obati dengan air. Yang terjadi malah kami muntah-muntah. Terpaksa uang untuk beli buku kami ambil untuk pengganjal perut.
Siang hari, jangan tanya... kami terpaksa puasa. Dari keterpaksaan itu, terjelmalah kebiasaan dan keikhlasan.
Meski demikian melaratnya, kami merasa bahagia. Kami tidak pernah menyesal atau mengeluh sedikitpun. Tidak pernah saya melihat istri saya mengeluh, menagis dan sedih ataupun marah karena suatu sebab. Kalaupun dia menangis, itu bukan karena menyesali nasibnya, tetapi dia malah lebih kasihan kepada saya. Dia kasihan melihat keadaan saya yang asalnya terbiasa hidup mewah, tiba-tiba harus hidup sengsara layaknya gelandangan.
Sebaliknya, sayapun merasa kasihan melihat keadaannya, dia yang asalnya hidup nyaman dengan keluarganya, harus hidup menderita di rumah kontrakan yang kumuh dan makan ala kadarnya.
Timbal balik perasaan ini ternya menciptakan suasana mawaddah yang luar biasa kuatnya dalam diri kami. Saya tidak bisa lagi melukiskan rasa sayang, hormat, dan cinta yang mendalam padanya.

Setiap kali saya angkat kepala dari buku, yang tampak di depan saya adalah wajah istri saya yang lagi serius belajar. Kutatap wajahnya dalam-dalam. Saya kagum pada bidadari saya ini. Merasa diperhatikan, dia akan mengangkat pandangannya dari buku dan menatap saya penuh cinta dengan senyumnya yang khas. Jika sudah demikian, penderitaan terlupakan semua. Rasanya kamilah orang yang paling berbahagia di dunia ini.
"Allah menyertai orang-orang yang sabar, sayang..." bisiknya mesra sambil tersenyum.
Lalu kami teruskan belajar dengan semangat membara.
Allah Maha Penyayang, usaha kami tidak sia-sia. Kami berdua meraih gelar Magister dengan waktu tercepat di Mesir. Hanya 2 tahun saja! Namun, kami belum keluar dari derita. Setelah meraih gelar Magister pun kami masih hidup susah, tidur di atas kasur tipis dan tidak ada istilah makan enak dalam hidup kami.
Sampai akhirnya rahmat Allah datang juga. Setelah usaha keras, kami berhasil meneken kontrak kerja di sebuah rumah sakit di Kuwait. Dan untuk pertama kalinya, setelah 5 tahun berselimut derita dan duka, kami mengenal hidup layak dan tenang. Kami hidup di rumah yang mewah, merasakan kembali tidur di kasur empuk dan kembali mengenal masakan lezat.
Dua tahun setelah itu, kami dapat membeli villa berlantai dua di Heliopolis, Kairo. Sebenarnya, saya rindu untuk kembali ke Mesir setelah memiliki rumah yang layak. Tetapi istriku memang 'edan'. Ia kembali mengeluarkan ide gila, yaitu ide untuk melanjutkan program Doktor Spesialis di London, juga dengan logika yang sulit saya tolak:
"Kita dokter yang berprestasi. Hari-hari penuh derita telah kita lalui, dan kita kini memiliki uang yang cukup untuk mengambil gelar Doktor di London. Setelah bertahun-tahun hidup di lorong kumuh, tak ada salahnya kita raih sekalian jenjang akademis tertinggi sambil merasakan hidup di negara maju. Apalagi pihak rumah sakit telah menyediakan dana tambahan."
Kucium kening istriku, dan bismillah... kami berangkat ke London. Singkatnya, dengan rahmat Allah, kami berdua berhasil menggondol gelar Doktor dari London. Saya spesialis syaraf dan istri saya spesialis jantung.
Setelah memperoleh gelar doktor spesialis, kami meneken kontrak kerja baru di Kuwait dengan gaji luar biasa besarnya. Bahkan saya diangkat sebagai direktur rumah sakit, dan istri saya sebagai wakilnya! Kami juga mengajar di Universitas.
Kami pun dikaruniai seorang putri yang cantik dan cerdas. Saya namai dia dengan nama istri terkasih, belahan jiwa yang menemaniku dalam suka dan duka, yang tiada henti mengilhamkan kebajikan.
Lima tahun setelah itu, kami pindah kembali ke Kairo setelah sebelumnya menunaikan ibadah haji di Tanah Haram. Kami kembali laksana raja dan permaisurinya yang pulang dari lawatan keliling dunia. Kini kami hidup bahagia, penuh cinta dan kedamaian setelah lebih dari 9 tahun hidup menderita, melarat dan sengsara.
Mengenang masa lalu, maka bertambahlah rasa syukur kami kepada Allah swt dan bertambahlan rasa cinta kami.
Ini kisah nyata yang saya sampaikan sebagai nasehat hidup. Jika hadirin sekalian ingin tahu istri saleha yang saya cintai dan mencurahkan cintanya dengan tulus, tanpa pernah surut sejak pertemuan pertama sampai saat ini, di kala suka dan duka, maka lihatlah wanita berjilbab biru yang menunduk di barisan depan kaum ibu, tepat di sebelah kiri artis berjilbab Huda Sulthan. Dialah istri saya tercinta yang mengajarkan bahwa penderitaan bisa mengekalkan cinta. Dialah Prof Dr Shiddiqa binti Abdul Aziz..."

Tepuk tangan bergemuruh mengiringi gerak kamera video menyorot sosok perempuan separoh baya yang tampak anggun dengan jilbab biru. Perempuan itu tengah mengusap kucuran air matanya. Kamera juga merekam mata Huda Sulthan yang berkaca-kaca, lelehan air mata haru kedua mempelai, dan segenap hadirin yang menghayati cerita ini dengan seksama.

Sabtu, 13 April 2013

CINTA, KERJA & HARMONI

Ini Lo.. ^_^ tagline PKS  dalam perspektif 'ikhwan lajang'  "CINTA, KERJA & HARMONI"


Mari kita bedah CINTA, KERJA & HARMONI


# CINTA = NIKAH
 

# KERJA = MA'ISYAH
 

#HARMONI = SAKINAH, MAWADAH WARAHMAH


Jadi kesimpulanya NIKAH dulu, dapet MAISYAH, terus SAKINAH MAWADAH WA RAHMAH, insya ALLAH ^__^

Rabu, 10 April 2013

GAPAI KEMAPANAN FINANSIAL DENGAN MENIKAH


By: Mukti Amini

1. Apa sih #kemapananfinansial? Ukurannya relatif banget. Tapi untuk memulai biduk rumah tangga, rugi kalau berkutat soal ini terus gak nikah2.

Awal saya menikah, gak punya motor. adanya motor dinas suzuki A100 tahun 80-an, yang bolak-balik mogok kalau lagi jalan :D tapi happy2 aja tuh. Pernah, bersama baby hurin (anak baru 1) kami nekat naik 'motor pak pos' itu dari rawamangun-serpong, ke rumah om. Ya sampai sana malah dimarahin, kuatir dengan baby hurin.
Jangan ditanya pegelnya ya, sama kesemutan juga. Tapi asik aja. Inilah perjuangan :)

2. #kemapananfinansial sangat tak identik dengan nominal yang diterima. Kalau patokannya nominal, bagaimana seorang kepala keluarga yang THP-nya 1 jutaan atau kurang, bisa tetap menghidupi anak istrinya, juga membiayai sekolah/kuliahnya?
Yang penting tetap bekerja, dan Allah yang akan mencukupkan.

Biduk rumah tangga yang diawali dengan serba prihatin, justru cara-Nya untuk merekatkan ikatan samara suami-istri. Saling membantu, saling menghargai perjuangan. Suami tak bossy, karena tahu istri rela menemani meski dalam kekurangan. Istri juga tak manja-manja melulu (sekali-kali sih boleh, perlu malah, he, karena tahu suaminya perlu dukungan.

3. Salah satu bentuk empati suami yang saya masih ingat, adalah ucapannya kalau tiba-tiba 'motor dinas pak pos' yang kami naiki mogok, "Ajeng, maaf ya.. Ma2s belum mampu beli motor supaya kita lebih cepat sampai. gak mogok2 begini"
Atau saat saya harus turun naik bis 3x ganti untuk mengajar di kampus cabang yang jauh, beliau berkata lagi saat saya pulang, "Maaf yaa, motor belum kebeli apalagi mobil. Jadinya ajeng harus naik turun bis deh, berdiri lagi"
Ucapan-ucapan semacam ini, diikuti dengan semangat tetap berusaha, bagi saya jauh lebih berharga daripada #kemapananfinansial sejak awal menikah. Ucapan ini juga tentunya merekatkan cinta. Kalau tahu-tahu disediain mobil, kok malah gak ada seni 'berjuang'nya ya, kayaknya :D

4. Waktu saya berkunjung ke ponpes darul arkam, Gombara, Makassar (tempat pak Anis Matta sekolah SD) bulan lalu, saya melihat fenomena menarik. Ini pesantren sangat sederhana, langsung terbayang kemampuan yayasan untuk menggaji guru dan karyawannya. Apalagi sempat nyaris kehabisan murid.

Bapak ibu guru di sana beberapa sudah tua, dan sejak muda mereka mengabdi di pesantren tersebut. Sempat saya tanya tentang gaji guru pada mereka. Rerata mereka menjawab, "Kalau gak dilandasi niat membesarkan dakwah, sudah lama pindah ke tempat lain yang lebih menjanjikan, mbak. Kalau ngelihat jumlah gaji, juga banyak tetangga yang gak percaya, kalau saya bisa nguliahin semua anak sampai sarjana".

Satu bukti lain tentang #kemapananfinansial, yang tak berbanding lurus dengan nominal :)

5. Pernah juga, ada diskusi sambil bercanda juga soal #kemapananfinansial. "Apa ibu-ibu itu pada takut ya, kalau suaminya sukses secara finansial. Terus mulai 'plirak-plirik'? Jadinya mending suaminya biasa2 aja lah, jangan terlalu kaya juga. yang penting setia. apa begitu ya?"

Wah, yang ditanya tak lebih tahu dari yang bertanya, hihihi. Tapi mungkin secara alami, kalau gak takut berbagai kendala dan keterbatasan diri, ya memang begitu alur 'psikologis'nya. Makanya ada akal, ada iman, untuk menimbang-nimbang kemanfaatan dan kemudharatan.
Wes ah, kalau urusan yang satu ini gak berani bahas lebih panjang, nanti jadi rameee :D

6. Secara langsung, bapak ibu juga memberikan contoh nyata bahwa #kemapananfinansial tak identik dengan nominal.

Pernah salah seorang calon mantu keterima kerja di bank konvensional, yang secara nominal menjanjikan THP berlipat dari kantor yang lama. Saat konsultasi ke Bapak, jawaban Bapak, "Silakan pilih, masih mau jadi menantu, atau kerja di bank itu"
Ini tentang kehati-hatian terhadap rizki yg bakal dimakan sekeluarga :)

7. Contoh lain dari ibu. Saat saya SMP, diminta membantu meniup bakaran api di tungku (luweng) dengan sepotong bumbu (yang biasa disebut semprong). Saya tiup dengan semangat, bukannya api membesar, eh malah mati :D
Ibu komentar, "Kamu harus belajar juga yang begini, Ning. Belum tentu nanti dapet jodoh yg bisa ngragadi (membiayai-red) segala kebutuhanmu, jadi harus masak dengan luweng begini"

Waktu itu saya terbengong-bengong, tertegun. Satu sisi terhenyak, apa iya akan sedramatis itu hidup saya, dan apa saya siap? Sisi lain juga bersyukur, ternyata ibu tidak memandang soal 'besar penghasilan' bagi calon mantunya kelak :)
#kemapananfinansial

8. Giliran saya hampir kelar kuliah, ibu berkata, ada amanah dr saudara. Ada yg mau melamar, seorang medis, sudah punya rumah seisinya. Saya menolak, Ibu bilang "Yowes rapapa, aku cuma mnyampaikan amanah. Dosa kalau gak kusampaikan"
Lega saya gak dipaksa-paksa :D
Bapak ibu bukan tipe yg silau dengan hal begini.
Maka, contoh nyata dari orang tua sangat menentukan paradigma kita dalam melihat #kemapananfinansial.

9. Pola pikir saya tentang #kemapananfinansial lalu sangat simpel, mungkin karena bentukan orang tua. Saat akan menikah, calon suami sempat bertanya, "Nanti perlu bawa-bawa apa ya? mahar alat sholat saja gakpapa kan? Gak usah cincin dan macam-macam bingkisan itu?"

Saya dengan mantap mengiyakan saja. Tapi mungkin itu dipandang aneh oleh keluarganya, hingga pas aqad tahu-tahu ada cincin kawin dan macam-macam kue, selain mahar. Pasca nikah, baru saya tahu kalau cincin itu mendadak dibeli di kampung, dengan standar ukuran jari mbak pelayan toko yang kira-kira sepadan dengan saya :D

Pun saat saya sudah menikah setahunan, ada adik angkatan suami yang ingin menikah, bertanya pada suami,"Untuk beli-beli kebutuhan istri semacam baju, bedak, dsb itu habis berapa mas, sebulan?"
Suami saya garuk-garuk kepala, "Berapa yaa? Setahun ini saya belum pernah beli-beliin yang begitu. Dia beli sendiri, gak pernah minta". Saat cerita itu sampai ke saya, kami tertawa berderai bersama :D

Jika saling taawun dan saling paham, tak ada hal yang sulit, meskipun mungkin orang lain melihat kehidupan kita 'pahit'.

10. Maka, #kemapananfinansial perlu dibangun sejak awal, sejak sebelum menikah. Justru dengan tidak melihat sekian banyak yang belum bisa dipenuhi, tapi dengan tetap optimis bahwa semua keperluan pada saatnya akan mampu dipenuhi, asal kita terus berusaha. Ini hanya soal waktu, dan kewajiban kita sebatas ikhtiar.
Sesudah menikah, merasakan bersama susahnya awal perjuangan, lalu menikmati hasilnya bersama-sama kemudian, jauh lebih indah dari pada sejak awal semua hal sudah tersedia, tinggal duduk manis. ah, kurang dramatis :D

Ohya, #kemapananfinansial juga bisa dipercepat dengan selalu berbagi, tak sekedar yang wajib (zakat). Seperti ilmunya YM lah, kalau mau dapat 'ikan' gede, ya mancingnya juga harus gede. Bagikan, lalu lupakan, tinggal nunggu keajaiban :)

11. Nyambung lagi dikit ah :D
Salah satu bentuk #kemapananfinansial yg saya rasakan pasca menikah adalah kemudahan dalam mendapatkan keperluan. Motor yang baru bisa dibeli 4 tahun setelah menikah, itu juga milik teman yang baru selesai kreditnya. Jadi tempo bayarnya kapan-kapan ada luang :D
Saya tak percaya dengan kebetulan, tentu ini ada sebab-musababnya, juga bagian dari taqdir-Nya :)

12. Contoh lagi. Beberapa kali kami mendapatkan keperluan (termasuk rumah) dengan 'best buy', harganya fantastis, jauh di bawah normal, dan itu tak menyengajakan diri mencari-cari. Belum lama, juga ada perabotan 'seisi rumah' kualitas tinggi milik seorang istri direktur BUMN (berupa 3 set sofa, 1 set kursi makan, 2 lemari, 1 jam duduk kuno), tahu-tahu ditawarkan pada kami dengan harga kurang dari 8 digit, karena yang punya rumah mau pindahan. Bayangkan kalau beli dengan harga umum, 1 set sofanya saja bisa 10 jeti ke atas.
Dan saya yakin, ini juga bukan kebetulan, tapi sudah Allah atur sedemikian rupa dengan indahnya :)

Setelah doa dan ikhtiar semampunya, Allah lebih tahu apa yg kita perlu.
ini juga bukti tentang #kemapananfinansial tak identik nominal.

13. Jadi ini mau diberi simpulan apa? Cuma mau bilang, bahwa salah satu cara menjemput #kemapananfinansial adalah justru dengan segera menikah!
Setelah menikah, individu di dalamnya akan terstimulus (baca: dipaksa) memenuhi hajat hidupnya yang jumlahnya lebih banyak dari pada saat bujang. Tapi insya Allah tertutupi juga akhirnya, jika berusaha. Sesuai dengan janji Allah kan, menikahlah, maka Dia yang akan membuatmu kaya :)

*sudah ya tentang #kemapananfinansial. mau makaryo dhisik :)

NEKAD SAJA













Agak sungkan sebetulnya menceritakan yang satu ini. Geli.
Malu tepatnya.
Tapi tak apalah, sebab biar sampai bersemu merah wajah karena menceritakannya,
saya berharap ada barakah yang Allah kirimkan lewat menuliskan kisah pendek ini.

Pakuan, gedung yang nyaris berusia 150 tahun itu ramai sekali. Pagi itu, berbagai komunitas sepeda membuat gelaran acara bersama. Tentu mereka tak kan rela bila sang ikon gowes-er se-Jabar, Ibu Gubernur tak turut ikut dalam acara tersebut.

Jangan kira setiap acara yang berlangsung disini akan berlangsung seadanya. Prinsip yang sering tuan rumah ulang di hadapan para tamu adalah
"Saya yang berkunjung ke daerah atau hadirin sekalian yang berkunjung ke rumah dinas ini adalah Silaturahim, yang akan memanjangkan usia dan menambah Rizki," begitu ia sering ulang.

Maka, suguhan pagi yang dihidangkan betul-betul akan merangsang siapapun untuk 'serakah' sesaat, menggasak hidangan prima yang tuan rumah siapkan. Bila sudah seperti ini, jangan harap bisa ikut bertarung di antrian dengan mereka. Apalagi bila tuan rumah atau staf disana. Sabar, lebih baik.

Kebetulan hari itu pun saya ada disana. Dan memang tak kan sempat ikut sarapan.

Acara pun berlangsung. Intinya sih sederhana saja. Gubernur menyampaikan sambutan, peserta dilepas dengan hitung mundur, dan selesai. itu. Sesederhana itu. Namun ingat. Jumpa sesederhana itu sungguh akan sangat berarti bagi mereka. Lekat kesan karena diwejangi orang yang mereka harap bisa mengayomi, akan dikenang lama lho.

Sebab itu sungguh saya sangat prihatin, bila ada pejabat yang meremehkan agenda-agenda 'kecil'. Terlalu arogan. itu saja, dan saya tak mau memperpanjang.

Beralih pada cerita utama kembali.

Selepas usai acara, kami yang tak menggowes pun rebah lega. Bagaimana ikut menggowes bila baru pulang hampir pukul 4 pagi?
Ia dan sang Istri pun begitu. Lelah bukan buatan.

Sambil 'balas dendam' karena tadi mengalah sarapan, kami pun mengasihani perut sambil berbincang ringan.

Ada saya, seorang teman, juga Gubernur dan sang Istri.

"Udah pada nikah belum?"

DEGG!! 'Celetukan' yang nancep, langsung membuat diri rasanya payah parah.

"mm..belum Ustadz", jawabku malu. Aku memanggil ustadz agar lebih nyaman sebab ia memang mubaligh yang di aktivitas kesehariannya tak menampilkan diri sebagai Agamawan, tapi Negarawan. Setidaknya, sapaan 'ustadz' dapat membuat lebih cair suasana.

"Lah, kok belum?? umur berapa memang?"

"24 ustadz."

"Aah, udah mau deket 25 tuh, cepet-cepet aja."

JLEB!! (lagi)

"Saya juga dulu Nekat tuh nikahin Ibu. Ya nggak Bu?", sambungnya yang dijawab anggukan oleh sang istri, "Iya."

"Dulu, waktu datang ke rumah orang tuanya ibu. beuuh...tegang banget. Takut ditanya macem-macem kan? Terutama soal kerjaan. Karena saya kan waktu itu lagi tingkat akhir, Ibu tingkat dua ya Bu?" bila sudah santai seperti ini, asyik sekali menyimak obrolannya.

"Eh, taunya bener.." terusnya dengan penekanan.
"Saya ditanya sama Bapaknya Ibu, 'Udah Kerja?'"
"Saya jawab aja langsung kan, ya Pak saya sudah KERJA. Dalam hati, saya tambahin, KERJA DAKWAH."

Spontan teras rumah ini ramai hanya oleh tawa kami berempat.

"Tapi bener kan? Saya ditanya udah kerja apa belum, bukan kerja apa. Jadi gak bohong dong", celetuknya lagi ringan sambil masih tertawa.

"Tapi ya alhamdulillah akhirnya bisa juga dapat SIM dari orangtuanya Ibu. Surat Izin Menikah.", kontan kami tertawa lagi.

"Tapi, setelah nikah ternyata bingung juga. Karena saya gak punya kerja. Yang penting kan kita merasa mampu dan memang mampu menafkahi, ya saya cari penghasilan betul-betul. Untung istrinya shalehah."

"di awal-awal nikah, saya jualan koran lah, apalah macem-macem. eeh, alhamdulillah sekarang jadi Gubernur, haha.."

"Nah gitu, jangan kuatir masalah rizki. Pasti ada. Laki-laki sekarang banyak nunggu macem-macem. Lembek."

dan... kata-kata terakhir itu betul-betul 'JLEB!!' hingga sekarang.


allahua'lam bish shawab..
Roni Sewiko

Jumat, 05 April 2013

KENAPA HARUS MENIKAH USIA 25 ???

Orang tua ingin kamu segera menikah pada usia 25? Menikah memang bukan hal yang mudah. Bahkan, sebagian orang percaya bahwa menikah akan mengekang kebebasan. Jadi, kenapa sih kita harus menikah di usia muda. Pertanyaannya adalah angka 25 jadi sakral dalam pernikahan. Kebanyakan orang akan mematok usia 25 untuk menikah. Mau tahu jawabannya? Inilah alasan penting kenapa kamu sebaiknya menikah di usia 25.

1. Punya banyak waktu

Jika wanita menikah di usia lebih dari 28-30, mereka akan ditekan untuk segera punya momongan. Sebaliknya, jika kamu menikah di usia 25, kamu akan punya banyak waktu untuk merencanakan kehamilan dengan baik. Tidak terburu-buru.

2. Menyenangkan

Kamu masih cukup muda untuk nongkrong di kafe favoritmu dengannya. Kalian bisa menikmati pernikahan sebagai sesuatu yang menyenangkan, bukan sebuah keharusan atau bahkan paksaan.

3. Kebugaran fisik

Secara fisik, pasangan berumur 25-an tergolong sangat reproduktif. Selain itu, kamu dan si dia juga dapat menikmati momen bercinta yang luar biasa. Tubuh muda aktif secara seksual dan mudah bereproduksi.

4. Pacaran setelah menikah

Pasangan berusia 25-an punya banyak waktu untuk berdua dan menikmati masa pacaran setelah menikah. Selain itu, mereka juga memiliki kesempatan untuk berkarir dan mendedikasikan waktu untuk pasangan.

5. Menghindari zina dan fitnah
Dengan segera menikah kt akan lbh jauh dr perbuatan zina. Coba bandingkan jika hanya dgn hubungan tanpa ikatan, kemana-mana berduaan, pandangan org jg bs jd negatif. Sementara perbuatan zina jg sgt dekat dgn kita. Seperti kt tahu zina itu adl perbuatan laknat dan dibenci Allah SWT.

Menikah di usia muda juga penuh dengan tantangan lho. Namun, apa pun yang dijalankan dengan tulus selalu berujung bahagia. Jadi, jangan takut untuk menapaki hidup dengan lebih berani.

So tunggu apa lg ? Jgn pernah takut dan ragu untuk memutuskan menikah ;)

Rabu, 03 April 2013

KETIKA CINTA BER"TAJWID" (versi Lengkap)


Saat pertama kali berjumpa denganmu, aku bagaikan berjumpa dengan saktah. hanya bisa terpana dengan menahan nafas sebentar.

Aku di matamu mungkin bagaikan nun mati di antara idgham billagunnah, terlihat tapi dianggap tak ada.

Aku ungkapkan maksud dan tujuan perasaanku seperti Idzhar, jelas dan terang.

Jika mim mati bertemu ba disebut ikhfa syafawi, maka jika aku bertemu dirimu, itu disebut cinta.

Sejenak pandangan kita bertemu, lalu tiba - tiba semua itu seperti Idgham mutamaatsilain, melebur jadi satu.

Cintaku padamu seperti Mad Wajib Muttasil, paling panjang di antara yang lainnya.

Setelah kau terima cintaku nanti, hatiku rasanya seperti Qalqalah kubro, terpantul- pantul dengan keras.

Dan akhirnya setelah lama kita bersama, cinta kita seperti Iqlab, ditandai dengan dua hati yang menyatu.

Sayangku padamu seperti mad thobi’i dalam Quran. Buanyaaakkk beneerrrrr :D
Semoga dalam hubungan kita ini kayak idgham bilagunnah, cuma berdua, lam dan ro’.

Layaknya waqaf mu’annaqah, engkau hanya boleh berhenti di salah satunya. DIA atau aku?

Meski perhatianku tak terlihat seperti alif lam syamsiah, cintaku padamu seperti alif lam Qomariah, terbaca jelas.

Kau dan aku seperti Idghom Mutaqorribain, perjumpaan 2 huruf yang sama makhrajnya tapi berlainan sifatnya.

Aku harap cinta kita seperti waqaf lazim, berhenti sempurna di akhir hayat.

Sama halnya dengan Mad ‘aridh dimana tiap mad bertemu lin sukun aridh akan berhenti, seperti itulah pandanganku ketika melihatmu.

Layaknya huruf Tafkhim, namamu pun bercetak tebal di pikiranku.

Seperti Hukum Imalah yang dikhususkan untuk Ro’ saja, begitu juga aku yang hanya untukmu.

Semoga aku jadi yang terakhir untuk kamu seperti mad aridlisukun :D


 Disarikan dari kultwit @khodroou

KETIKA CINTA BER"TAJWID"











Kau dan aku seperti Idghom Mutaqorribain, perjumpaan 2 huruf yang sama makhrajnya tapi berlainan sifatnya.
Meski perhatianku tak terlihat seperti alif lam syamsiah, tapi cintaku padamu seperti alif lam Qomariah, terbaca jelas.

Semoga dalam hubungan kita ini seperti idgham bilagunnah, cuma berdua, lam dan ro’.

Layaknya waqaf mu’annaqah, engkau hanya boleh berhenti di salah satunya. DIA atau aku?

Aku harap cinta kita seperti waqaf lazim, berhenti sempurna di akhir hayat.


Rabu, 27 Maret 2013

Kisah Seorang Pemuda di Gerbong Kereta
















Di sebuah gerbong kereta api yang penuh, seorang pemuda berusia kira-kira 24 tahun melepaskan pandangannya melalui jendela. Ia begitu takjub melihat pemandangan sekitarnya.


Dengan girang, ia berteriak dan berkata kepada ayahnya:
”Ayah, coba lihat, pohon-pohon itu… mereka berjalan menyusul kita”.

Sang ayah hanya tersenyum sambil menganggukkan kepala dengan wajah yang tidak kurang cerianya. Ia begitu bahagia mendengar celoteh putranya itu.

Di samping pemuda itu ada sepasang suami-istri yang mengamati tingkah pemuda yang kekanak-kanakan itu. Mereka berdua merasa sangat risih.

Kereta terus berlalu. Tidak lama pemuda itu kembali berteriak:
“Ayah, lihat itu, itu awan kan…? lihat… mereka ikut berjalan bersama kita juga…”.

Ayahnya tersenyum lagi menunjukkan kebahagiaan.

Dua orang suami-istri di samping pemuda itu tidak mampu menahan diri, akhirnya mereka berkata kepada ayah pemuda itu:
“Kenapa anda tidak membawa anak anda ini ke dokter jiwa?”

Sejenak, ayah pemuda itu terdiam. Lalu ia menjawab:
“Kami baru saja kembali dari rumah sakit, anakku ini menderita kebutaan sejak lahir. Tadi ia baru dioperasi, dan hari ini adalah hari pertama dia bisa melihat dunia dengan mata kepalanya”.

Pasangan suami itu pun terdiam seribu bahasa.

#Setiap orang mempunyai cerita hidup masing-masing, oleh karena itu jangan memvonis seseorang dengan apa yg anda lihat saja. Barangkali saja bila anda mengetahui kondisi sebenarnya anda akan tercengang. Maka kita Perlu “BERPIKIR SEBELUM BICARA...”

Tarbiyah itu Menumbuh Kembangkan

By: Nandang Burhanudin
***
Alkisah, ada 3 santri di sebuah pesantren pinggiran Jabar. Ketiga santri ini masyhur sebagai santri yang cerdas-cekatan-berakhlak baik-dan senantiasa menjadi pelopor dalam pengabdian kepada masyarakat.

Tipe santri pertama: Berotak brilian. Fasih berbahasa Arab. Lulusan terbaik. Juga pernah mendapatkan beasiswa ke LN. Tapi ia lebih memilih mengabdi Full di pesantren, mengajar. Ia turuti permintaan sang Kiai, "Sudah buat apa jauh-jauh mencari ilmu. Di pesantren ini saja, ilmu berlimpah. Mau cari apa, pasti ada!"

Tipe santri kedua: Berotak cerdas. Menguasai ilmu qiroah. Pandai berceramah. Hingga ia selalu diundang ke kota-kota besar. Ia turuti permintaan Kia-nya. Namun di sela-sela
hari dimana ia tidak ada jadwal mengajar, ia isi untuk mengisi pengajian di kota-kota dan menjalin silaturahmi lebih luas.

Tipe santri ketiga: Berotak cergas. Mahir berbahasa Arab. Memiliki hobi seni menyanyi. Ia turuti permintaan Kiai untuk mengabdi beberapa tahun. Hingga saat ada kesempatan belajar di luar kota hingga Luar Negeri, ia pamit.

20 Tahun kemudian, ketiga santri tersebut mencatat sejarah masing-masing. Mereka sudah berumah tangga. Semua beranak banyak. Bahkan santri kedua, dikaruniai 2 istri dan belasan anak.

Santri pertama: Gaji dari hasil mengajar sangat kecil, tidak cukup menopang kebutuhan anak-anaknya. Sang Kiai telah wafat. Akhirnya ia memilih mencari penghasilan tambahan, mulai dari menjadi sopir angkutan kota hingga berniat menjadi TKI di negara Teluk.

Santri kedua: Gaji dari pesantren jelas sangat kecil. Namun ia mampu sejahtera karena sering mengisi pengajian di kota-kota. Bahkan ia telah mendirikan pesantren, dengan jumlah santri yang cukup banyak.

Santri ketiga: Ia tak terlalu memperhitungkan gaji di pesantren. Ia lebih banyak membangun jaringan. Aktif di bidang pengkaderan dan rekrutmen santri-santri, untuk kemudian diarahkan pada satu pembinaan yang disebut tarbiyah. Karena baginya,
tarbiyah telah menjadikan dirinya sebagai orang pinggiran menjadi orang terpandang. Walau dengan kecerdasan yang masih jauh dari santri pertama.

Apa yang membuat santri ketiga lebih melejit dibanding santri pertama dan kedua? Padahal sama-sama berotak pintar dan berada dalam satu lembaga pendidikan?

Tarbiyah menjadikan santri ketiga ini, melesat hingga baru-baru ini menjadi tokoh nasional setelah ditunjuk sebagai sekjen salah satu partai. Sebelumnya ia dikenal luas khalayak dengan nasyid-nasyidnya, selain sebagai konsultan syariah sesuai basis keilmuan semasa belajar. Urusan luar negeri, tidak lagi melulu Luar Nagrek. Tapi betul-betul sudah melanglangbuana, hingga ke pelbagai belahan dunia.
***

Sahabat, banyak yang salah kaprah

ketika kita aktif dalam tarbiyah. Saya tidak akan membahas tentang sejarah tarbiyah zaman Rasul. Tapi belajar dari ketiga santri di atas, saya menemukan bahwa ketika kita memasuki gerbang pembinaan tarbiyah, maka sebenarnya kita diarahkan untuk menjadi 4 sosok berikut:

1. Ujung tombak.
Ibarat busur panah, dengan tarbiyah kita dipersiapkan untuk menjadi pribadi-pribadi yang siap dilesatkan mencapai sasaran dari universalitas dakwah. Target dari dakwah sudah jelas. Ta'rif-Tanfidz-Takwin adalah sasaran-sasaran di setiap fase tarbiyah.

Menjadi pribadi ahli ibadah-berkarakter 10 muwashofat, adalah upaya maksimal yang hendak dicapai tarbiyah. Maka bisa dipastikan, akan ada orang yang 'alim-ahli ibadah, namun ia berada di zona nyaman. Ada keengganan tak terucapkan, saat ia harus menjadi ujung tombak dari semua pengorbanan.

Dalam tarbiyah, siapapun dan apapun latarbelakang kita, maka kita harus siap menjadi prajurit sebelum menjadi komandan. Karena komandan yang otpimum, lahir dari jiwa prajurit yang maksimum.

2. Ujung Tembok.
Lazimnya sebuah tembok, tarbiyah mengarahkan kader untuk menjadi jiwa-jiwa yang indah dipandang, kuat diterjang badai, tak lekang diguyur hujan. Sehat ruhiah harus seiring dengan kesehatan fisik. Pun sebaliknya.

Karena jiwa-jiwa yang ditarbiyah, harus siap menghadapi segala keadaan dan cuaca. Hujan-panas-kemarau-dingin. Atau cuaca fitnah-bully-ghibah-caci maki. Semua harus dihadapi dengan keramahan, namun tetap tegas dan tegar sekuat tembok.

Tarbiyah sama sekali tidak mentolelir jiwa-jiwa yang ringkih-galau-lebay-banyak alasan, atau jiwa-jiwa yang kasar, pengadil (salah benar, muslim-kafir), jiwa-jiwa yang antipati apalagi suka mengeluh.

3. Ujung Tambak.

Maksud tambak di sini adalah, tarbiyah membina semua jiwa-jiwa agar mampu menemukan potensi terbaik yang dimilikinya untuk kemudian disumbangkan bagi kemajuan dakwah dan kejayaan Islam-Muslimin.

Lulusan Timteng, Eropa, hingga tanah air diarahkan memeras otak-berpeluh keringat-bergerak cepat agar mampu memberikan jawaban atas setiap problematika yang dihadapi umat. Mulai dari problem kayakinan-kesehatan-budaya-politik-ekonomi-sains teknologi-hingga pertanian.

Kehadiran jiwa-jiwa tertarbiyah dalam setiap keadaan, susah-senang; bencana-bahagia; carut marut-damai sentosa. Bahkan jiwa-jiwa tarbiyah harus menjadi penyeimbang dari semua kondisi. Jika senang tak lupa daratan. Jika susah tak perlu keluh kesah. Saat carut-marut tak perlu makin sengkarut. Saat aman sentosa tak lup pada Allah Ta'ala.

Tarbiyah berfusngi memoles, bukan mengubah. Sebagaimana Umar yang keras dan Abu Bakar yang lebut, setelah ditarbiyah baginda Rasul tidak lantas berbalik. Umar tetap dengan sikap kerasnya, penuh prinsip, namun semua dipoles agar diarahkan semakin indah demi kebenaran. Sebagaimana Abu Bakar pun demikian.

Jadi tarbiyah bukanlah media sulap: Sim salabim semua berubah dari yang biasa jadi luarbiasa, from zero to hero, atau from koko to zoro. Sama sekali tidak. Tarbiyah adalah menggali potensi-potensi/bakat-bakat terpendam dan mengartikulasikannya dalam kehidupan.

4. Ujung Tombok.
Apapun selama di dunia ini, pasti membutuhkan uang-materi-harta. Tarbiyah mendidik jiwa-jiwa agar siap mengorbankan apa yang mampu dikorbankan. Semua demi peran memberikan sumbangsih yang mampu diberikan. Tenaga-fikiran-harta-waktu adalah hal lumrah dalam tarbiyah. Karena kelemahan umat Islam bukan hanya disebabkan rekayasa dan konspirasi musuh, tapi lebih dikarenakan jiwa-jiwa muslimnya enggan berkontribusi maksimal-optimal bagi kejayaan Islam itu sendiri.

Shunduquna juyuubuna, tidak pernah berubah menjad Shunduqunaa APBD-unaa. Karena jiwa-jiwa tertarbiyah akan siap menjadi ujung tambak, bagi roda perjalanan dakwah hingga ajal menjemput: dakwah menjadi pemenang atau kita telah banyak berkontribusi positif.

Ingat One Man One Dollar, atau iuran bulanan yang rutin dikeluarkan, hingga sumbangan sukarela untuk menjalani setiap fase-fase perjuangan.

Kesimpulan

Sahabat, betul saat sebuah adagium mengatakan, "Tarbiyah bukan segala-galanya. Tapi segala-galanya bisa berawal dari tarbiyah."

Dalam tarbiyah kita bisa:

1. Berkawan dengan orang yang multi latarbelakang. Karena tarbiyah anti fanatisme suku, golongan, almamater, hingga gelar-kedudukan-kekayaan. Jiwa paling bertakwa kepada Allah saja yang paling patut dijadikan teladan.

2. Bersaudara dengan orang yang asalnya multiinterest, multitabiat-watak, juga multidimensi. Karena tarbiyah mendidik jiwa-jiwa agar berusaha semua LILLAAH bukan Lil-Jaah (Kehormatan-kedudukan). Jika pun ada jiwa tertarbiyah yang kebetulan jadi Aleg-Bupati/Walkot-Gubernur-Menteri, spirit LILLAAH adalah nomor 1. Mereka akan tetap aktif dalam pembinaan tarbiyah. Bagaimanapun posisi dan kesibukan.

3. Berjuang dalam kebersamaan, melakukan hal-hal yang logis-rasional-terukur, jauh dari utopia-euforia-atau hanya klaim-klaim dewa yang tak nyata. Kendati demikian, tetap membuka diri untuk menghargai perjuangan yang bermuara pada kejayaan umat.

Jadi hari gini salah niat dalam tarbiyah? Apa kata dunia ....!

26/3/13