Rabu, 10 April 2013
GAPAI KEMAPANAN FINANSIAL DENGAN MENIKAH
By: Mukti Amini
1. Apa sih #kemapananfinansial? Ukurannya relatif banget. Tapi untuk memulai biduk rumah tangga, rugi kalau berkutat soal ini terus gak nikah2.
Awal saya menikah, gak punya motor. adanya motor dinas suzuki A100 tahun 80-an, yang bolak-balik mogok kalau lagi jalan :D tapi happy2 aja tuh. Pernah, bersama baby hurin (anak baru 1) kami nekat naik 'motor pak pos' itu dari rawamangun-serpong, ke rumah om. Ya sampai sana malah dimarahin, kuatir dengan baby hurin.
Jangan ditanya pegelnya ya, sama kesemutan juga. Tapi asik aja. Inilah perjuangan :)
2. #kemapananfinansial sangat tak identik dengan nominal yang diterima. Kalau patokannya nominal, bagaimana seorang kepala keluarga yang THP-nya 1 jutaan atau kurang, bisa tetap menghidupi anak istrinya, juga membiayai sekolah/kuliahnya?
Yang penting tetap bekerja, dan Allah yang akan mencukupkan.
Biduk rumah tangga yang diawali dengan serba prihatin, justru cara-Nya untuk merekatkan ikatan samara suami-istri. Saling membantu, saling menghargai perjuangan. Suami tak bossy, karena tahu istri rela menemani meski dalam kekurangan. Istri juga tak manja-manja melulu (sekali-kali sih boleh, perlu malah, he, karena tahu suaminya perlu dukungan.
3. Salah satu bentuk empati suami yang saya masih ingat, adalah ucapannya kalau tiba-tiba 'motor dinas pak pos' yang kami naiki mogok, "Ajeng, maaf ya.. Ma2s belum mampu beli motor supaya kita lebih cepat sampai. gak mogok2 begini"
Atau saat saya harus turun naik bis 3x ganti untuk mengajar di kampus cabang yang jauh, beliau berkata lagi saat saya pulang, "Maaf yaa, motor belum kebeli apalagi mobil. Jadinya ajeng harus naik turun bis deh, berdiri lagi"
Ucapan-ucapan semacam ini, diikuti dengan semangat tetap berusaha, bagi saya jauh lebih berharga daripada #kemapananfinansial sejak awal menikah. Ucapan ini juga tentunya merekatkan cinta. Kalau tahu-tahu disediain mobil, kok malah gak ada seni 'berjuang'nya ya, kayaknya :D
4. Waktu saya berkunjung ke ponpes darul arkam, Gombara, Makassar (tempat pak Anis Matta sekolah SD) bulan lalu, saya melihat fenomena menarik. Ini pesantren sangat sederhana, langsung terbayang kemampuan yayasan untuk menggaji guru dan karyawannya. Apalagi sempat nyaris kehabisan murid.
Bapak ibu guru di sana beberapa sudah tua, dan sejak muda mereka mengabdi di pesantren tersebut. Sempat saya tanya tentang gaji guru pada mereka. Rerata mereka menjawab, "Kalau gak dilandasi niat membesarkan dakwah, sudah lama pindah ke tempat lain yang lebih menjanjikan, mbak. Kalau ngelihat jumlah gaji, juga banyak tetangga yang gak percaya, kalau saya bisa nguliahin semua anak sampai sarjana".
Satu bukti lain tentang #kemapananfinansial, yang tak berbanding lurus dengan nominal :)
5. Pernah juga, ada diskusi sambil bercanda juga soal #kemapananfinansial. "Apa ibu-ibu itu pada takut ya, kalau suaminya sukses secara finansial. Terus mulai 'plirak-plirik'? Jadinya mending suaminya biasa2 aja lah, jangan terlalu kaya juga. yang penting setia. apa begitu ya?"
Wah, yang ditanya tak lebih tahu dari yang bertanya, hihihi. Tapi mungkin secara alami, kalau gak takut berbagai kendala dan keterbatasan diri, ya memang begitu alur 'psikologis'nya. Makanya ada akal, ada iman, untuk menimbang-nimbang kemanfaatan dan kemudharatan.
Wes ah, kalau urusan yang satu ini gak berani bahas lebih panjang, nanti jadi rameee :D
6. Secara langsung, bapak ibu juga memberikan contoh nyata bahwa #kemapananfinansial tak identik dengan nominal.
Pernah salah seorang calon mantu keterima kerja di bank konvensional, yang secara nominal menjanjikan THP berlipat dari kantor yang lama. Saat konsultasi ke Bapak, jawaban Bapak, "Silakan pilih, masih mau jadi menantu, atau kerja di bank itu"
Ini tentang kehati-hatian terhadap rizki yg bakal dimakan sekeluarga :)
7. Contoh lain dari ibu. Saat saya SMP, diminta membantu meniup bakaran api di tungku (luweng) dengan sepotong bumbu (yang biasa disebut semprong). Saya tiup dengan semangat, bukannya api membesar, eh malah mati :D
Ibu komentar, "Kamu harus belajar juga yang begini, Ning. Belum tentu nanti dapet jodoh yg bisa ngragadi (membiayai-red) segala kebutuhanmu, jadi harus masak dengan luweng begini"
Waktu itu saya terbengong-bengong, tertegun. Satu sisi terhenyak, apa iya akan sedramatis itu hidup saya, dan apa saya siap? Sisi lain juga bersyukur, ternyata ibu tidak memandang soal 'besar penghasilan' bagi calon mantunya kelak :)
#kemapananfinansial
8. Giliran saya hampir kelar kuliah, ibu berkata, ada amanah dr saudara. Ada yg mau melamar, seorang medis, sudah punya rumah seisinya. Saya menolak, Ibu bilang "Yowes rapapa, aku cuma mnyampaikan amanah. Dosa kalau gak kusampaikan"
Lega saya gak dipaksa-paksa :D
Bapak ibu bukan tipe yg silau dengan hal begini.
Maka, contoh nyata dari orang tua sangat menentukan paradigma kita dalam melihat #kemapananfinansial.
9. Pola pikir saya tentang #kemapananfinansial lalu sangat simpel, mungkin karena bentukan orang tua. Saat akan menikah, calon suami sempat bertanya, "Nanti perlu bawa-bawa apa ya? mahar alat sholat saja gakpapa kan? Gak usah cincin dan macam-macam bingkisan itu?"
Saya dengan mantap mengiyakan saja. Tapi mungkin itu dipandang aneh oleh keluarganya, hingga pas aqad tahu-tahu ada cincin kawin dan macam-macam kue, selain mahar. Pasca nikah, baru saya tahu kalau cincin itu mendadak dibeli di kampung, dengan standar ukuran jari mbak pelayan toko yang kira-kira sepadan dengan saya :D
Pun saat saya sudah menikah setahunan, ada adik angkatan suami yang ingin menikah, bertanya pada suami,"Untuk beli-beli kebutuhan istri semacam baju, bedak, dsb itu habis berapa mas, sebulan?"
Suami saya garuk-garuk kepala, "Berapa yaa? Setahun ini saya belum pernah beli-beliin yang begitu. Dia beli sendiri, gak pernah minta". Saat cerita itu sampai ke saya, kami tertawa berderai bersama :D
Jika saling taawun dan saling paham, tak ada hal yang sulit, meskipun mungkin orang lain melihat kehidupan kita 'pahit'.
10. Maka, #kemapananfinansial perlu dibangun sejak awal, sejak sebelum menikah. Justru dengan tidak melihat sekian banyak yang belum bisa dipenuhi, tapi dengan tetap optimis bahwa semua keperluan pada saatnya akan mampu dipenuhi, asal kita terus berusaha. Ini hanya soal waktu, dan kewajiban kita sebatas ikhtiar.
Sesudah menikah, merasakan bersama susahnya awal perjuangan, lalu menikmati hasilnya bersama-sama kemudian, jauh lebih indah dari pada sejak awal semua hal sudah tersedia, tinggal duduk manis. ah, kurang dramatis :D
Ohya, #kemapananfinansial juga bisa dipercepat dengan selalu berbagi, tak sekedar yang wajib (zakat). Seperti ilmunya YM lah, kalau mau dapat 'ikan' gede, ya mancingnya juga harus gede. Bagikan, lalu lupakan, tinggal nunggu keajaiban :)
11. Nyambung lagi dikit ah :D
Salah satu bentuk #kemapananfinansial yg saya rasakan pasca menikah adalah kemudahan dalam mendapatkan keperluan. Motor yang baru bisa dibeli 4 tahun setelah menikah, itu juga milik teman yang baru selesai kreditnya. Jadi tempo bayarnya kapan-kapan ada luang :D
Saya tak percaya dengan kebetulan, tentu ini ada sebab-musababnya, juga bagian dari taqdir-Nya :)
12. Contoh lagi. Beberapa kali kami mendapatkan keperluan (termasuk rumah) dengan 'best buy', harganya fantastis, jauh di bawah normal, dan itu tak menyengajakan diri mencari-cari. Belum lama, juga ada perabotan 'seisi rumah' kualitas tinggi milik seorang istri direktur BUMN (berupa 3 set sofa, 1 set kursi makan, 2 lemari, 1 jam duduk kuno), tahu-tahu ditawarkan pada kami dengan harga kurang dari 8 digit, karena yang punya rumah mau pindahan. Bayangkan kalau beli dengan harga umum, 1 set sofanya saja bisa 10 jeti ke atas.
Dan saya yakin, ini juga bukan kebetulan, tapi sudah Allah atur sedemikian rupa dengan indahnya :)
Setelah doa dan ikhtiar semampunya, Allah lebih tahu apa yg kita perlu.
ini juga bukti tentang #kemapananfinansial tak identik nominal.
13. Jadi ini mau diberi simpulan apa? Cuma mau bilang, bahwa salah satu cara menjemput #kemapananfinansial adalah justru dengan segera menikah!
Setelah menikah, individu di dalamnya akan terstimulus (baca: dipaksa) memenuhi hajat hidupnya yang jumlahnya lebih banyak dari pada saat bujang. Tapi insya Allah tertutupi juga akhirnya, jika berusaha. Sesuai dengan janji Allah kan, menikahlah, maka Dia yang akan membuatmu kaya :)
*sudah ya tentang #kemapananfinansial. mau makaryo dhisik :)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar