Rabu, 10 April 2013
NEKAD SAJA
Agak sungkan sebetulnya menceritakan yang satu ini. Geli.
Malu tepatnya.
Tapi tak apalah, sebab biar sampai bersemu merah wajah karena menceritakannya,
saya berharap ada barakah yang Allah kirimkan lewat menuliskan kisah pendek ini.
Pakuan, gedung yang nyaris berusia 150 tahun itu ramai sekali. Pagi itu, berbagai komunitas sepeda membuat gelaran acara bersama. Tentu mereka tak kan rela bila sang ikon gowes-er se-Jabar, Ibu Gubernur tak turut ikut dalam acara tersebut.
Jangan kira setiap acara yang berlangsung disini akan berlangsung seadanya. Prinsip yang sering tuan rumah ulang di hadapan para tamu adalah
"Saya yang berkunjung ke daerah atau hadirin sekalian yang berkunjung ke rumah dinas ini adalah Silaturahim, yang akan memanjangkan usia dan menambah Rizki," begitu ia sering ulang.
Maka, suguhan pagi yang dihidangkan betul-betul akan merangsang siapapun untuk 'serakah' sesaat, menggasak hidangan prima yang tuan rumah siapkan. Bila sudah seperti ini, jangan harap bisa ikut bertarung di antrian dengan mereka. Apalagi bila tuan rumah atau staf disana. Sabar, lebih baik.
Kebetulan hari itu pun saya ada disana. Dan memang tak kan sempat ikut sarapan.
Acara pun berlangsung. Intinya sih sederhana saja. Gubernur menyampaikan sambutan, peserta dilepas dengan hitung mundur, dan selesai. itu. Sesederhana itu. Namun ingat. Jumpa sesederhana itu sungguh akan sangat berarti bagi mereka. Lekat kesan karena diwejangi orang yang mereka harap bisa mengayomi, akan dikenang lama lho.
Sebab itu sungguh saya sangat prihatin, bila ada pejabat yang meremehkan agenda-agenda 'kecil'. Terlalu arogan. itu saja, dan saya tak mau memperpanjang.
Beralih pada cerita utama kembali.
Selepas usai acara, kami yang tak menggowes pun rebah lega. Bagaimana ikut menggowes bila baru pulang hampir pukul 4 pagi?
Ia dan sang Istri pun begitu. Lelah bukan buatan.
Sambil 'balas dendam' karena tadi mengalah sarapan, kami pun mengasihani perut sambil berbincang ringan.
Ada saya, seorang teman, juga Gubernur dan sang Istri.
"Udah pada nikah belum?"
DEGG!! 'Celetukan' yang nancep, langsung membuat diri rasanya payah parah.
"mm..belum Ustadz", jawabku malu. Aku memanggil ustadz agar lebih nyaman sebab ia memang mubaligh yang di aktivitas kesehariannya tak menampilkan diri sebagai Agamawan, tapi Negarawan. Setidaknya, sapaan 'ustadz' dapat membuat lebih cair suasana.
"Lah, kok belum?? umur berapa memang?"
"24 ustadz."
"Aah, udah mau deket 25 tuh, cepet-cepet aja."
JLEB!! (lagi)
"Saya juga dulu Nekat tuh nikahin Ibu. Ya nggak Bu?", sambungnya yang dijawab anggukan oleh sang istri, "Iya."
"Dulu, waktu datang ke rumah orang tuanya ibu. beuuh...tegang banget. Takut ditanya macem-macem kan? Terutama soal kerjaan. Karena saya kan waktu itu lagi tingkat akhir, Ibu tingkat dua ya Bu?" bila sudah santai seperti ini, asyik sekali menyimak obrolannya.
"Eh, taunya bener.." terusnya dengan penekanan.
"Saya ditanya sama Bapaknya Ibu, 'Udah Kerja?'"
"Saya jawab aja langsung kan, ya Pak saya sudah KERJA. Dalam hati, saya tambahin, KERJA DAKWAH."
Spontan teras rumah ini ramai hanya oleh tawa kami berempat.
"Tapi bener kan? Saya ditanya udah kerja apa belum, bukan kerja apa. Jadi gak bohong dong", celetuknya lagi ringan sambil masih tertawa.
"Tapi ya alhamdulillah akhirnya bisa juga dapat SIM dari orangtuanya Ibu. Surat Izin Menikah.", kontan kami tertawa lagi.
"Tapi, setelah nikah ternyata bingung juga. Karena saya gak punya kerja. Yang penting kan kita merasa mampu dan memang mampu menafkahi, ya saya cari penghasilan betul-betul. Untung istrinya shalehah."
"di awal-awal nikah, saya jualan koran lah, apalah macem-macem. eeh, alhamdulillah sekarang jadi Gubernur, haha.."
"Nah gitu, jangan kuatir masalah rizki. Pasti ada. Laki-laki sekarang banyak nunggu macem-macem. Lembek."
dan... kata-kata terakhir itu betul-betul 'JLEB!!' hingga sekarang.
allahua'lam bish shawab..
Roni Sewiko
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar