Islamedia - Wajah-wajah duka terlihat di sebuah rumah sederhana di
Madinah. Sesekali terdengar isak tangis. Di hadapan mereka, tampak sesosok
tubuh terbujur kaku, kepalanya berada di pangkuan seorang wanita, Siti Aisyah.
Perlahan, Aisyah meletakkan kepala laki-laki yang tak bergerak itu di atas
bantal. Kemudian Aisyah berdiri, ia memukul-mukul mukanya sendiri seperti yang
dilakukan wanita-wanita lain. Kesedihan menyengat.
Hari itu, saat yang menyesakkan dada umat Islam. Seorang
manusia mulia, Nabi Muhammad SAW berpulang ke rahmatullah. Kaum muslimin yang
sedang berada di masjid, tak jauh dari rumah Nabi, terkejut mendengar kabar
itu. Bagaimana tidak, sebab di pagi hari Nabi terlihat sehat, sembuh dari
penyakit yang dideritanya. Mereka tak percaya,
termasuk Umar bin Khattab. Namun, Abu Bakar segera mengingatkan:
“Saudara-saudara! Barangsiapa mau menyembah Muhammad,
Muhammad sudah meninggal. Tetapi barangsiapa mau menyembah Tuhan, Tuhan hidup
selalu tak pernah mati.”
Lebih 14 abad berlalu, tapi kecintaan umatnya kepada Rasul
pilihan itu tak juga lekang. Seperti kecintaan Umar, sehingga ia tak percaya
jika Nabi bisa wafat. Peringatan Maulid Nabi yang setiap tahun digelar, menjadi
salah satu buktinya. Lomba nasyid, tabligh akbar, zikir bersama, istighotshah,
ceramah dan pengajian di kampung-kampung kerap mengiringi perayaan tersebut.
Mulai dari anak-anak Taman Pendidikan Al-Qur’an (TPA) sampai orangtua. Dari
masjid-masjid di gang sempit hingga Istana Negara.
Muhammad, memang patut dicintai dan diteladani seperti yang
difirmankan Allah dalam Surat Al-Ahzab:21. “Sesungguhnya dalam diri Rasulullah
itu terdapat suri tauladan yang baik.”
Keteladanan itu bisa dicontoh oleh siapa pun, dengan latar belakang apa pun.
Seorang jenderal militer dapat mengikuti strategi dan taktik perangnya. Nabi
adalah seorang panglima perang ulung. Saat Perang Badr, Muhammad SAW memimpin
pasukan muslimin yang hanya berjumlah 300 orang, dengan perlengkapan seadanya.
Sedangkan kekuatan musuhnya, kaum Quraisy, tiga kali lipatnya, dipimpin antara
lain oleh Abu Jahal.
Tak ingin kaum muslimin jatuh mentalnya, Muhammad berkata di
hadapan mereka. Membakar semangat jihad untuk menghadapi musuh.
“Demi Dia Yang memegang hidup Muhammad. Setiap orang yang
sekarang bertempur dengan tabah, bertahan mati-matian, terus maju dan pantang
mundur, lalu ia tewas, maka Allah akan menempatkannya di dalam surga.”
Perang pun pecah di Jum’at, 17 Ramadhan. Serentak pihak
muslimin menyerbu ke depan, masih dalam jumlah yang lebih kecil dari jumlah
Quraisy. Kemenangan diraih kaum muslimin. Musuh lari tunggang-langgang.
Sementara yang tak berhasil dibunuh dan menyelamatkan diri, ditawan oleh
pasukan Muhammad.
Firman Allah turun:
“Sebenarnya bukan kamu yang membunuh mereka, melainkan Allah juga yang telah membunuh
mereka. Juga ketika kau lemparkan, sebenarnya bukan engkau yang melakukan itu,
melainkan Tuhan juga.” (QS.8:17).
Saat Perang Uhud, 15 Syawal 3 H (Maret 625 M), kelihaian
strategi perang Nabi Muhammad saw
kembali teruji. Untuk menghadapi kaum Quraisy --yang mencoba membalas dendam
akibat kalah dalam Perang Badr-- pasukan Islam mengambil posisi di atas bukit
Jabal Uhud. Strategi itu terbukti berhasil karena mampu menaklukkan musuh.
Sayang, kemenangan yang sudah di depan mata sirna ketika
pasukan pemanah terpancing oleh ghonimah (harta rampasan perang, red). Mereka
pun turun dari bukit dengan melawan instruksi Nabi saw. Maka pasukan Quraisy
segera merebut posisi di atas bukit, dan dari situ menyerang pasukan Islam
sampai menewaskan 70 syuhada.
Sementara, Perjanjian Hudaibiyah, menjadi potret ketajaman
visi Rasulullah saw yang layak dicontoh pemimpin negeri ini. Perjanjian --yang
dibuat agar kaum muslimin mendapatkan kemudahan jika hendak umrah dan haji di
Mekah itu—mendapat protes keras dari sahabat Nabi. Umar bin Khattab menilai,
perjanjian itu hanya menguntungkan Quraisy dan sangat merugikan umat Islam.
“Bukankah Engkau utusan Allah, tetapi mengapa membuat perjanjian ini?” tanya
Umar.
Ternyata, Perjanjian Hudaibiyah justru menguntungkan kaum
muslimin. Dilihat dari sudut politik, kaum muslimin mengalami dan mendapatkan
perdamaian, sehingga tidak perlu lagi memusatkan kekuatan untuk menghadapi
Quraisy. Dilihat dari sektor pertahanan, kaum muslimin di Madinah dapat
menyusun kekuatan baru dengan aman tanpa merasa diancam terus-menerus dari
luar.
Kaum muslimin dari Madinah dengan bebasnya bisa masuk ke
Mekah tanpa mendapat tekanan dan ancaman. Mereka bisa bertemu dengan keluarga
yang ada di Mekah. Di samping itu, kaum muslimin yang ada di Madinah bisa melakukan
perdagangan di Mekah dengan bebas. Hubungan sosial antara kaum muhajirin yang
telah meninggalkan Mekah ketika berhijrah, dapat terjalin kembali dengan
keluarga dan sahabat di Mekah.
Sifat Nabi Muhammad saw yang adil, bahkan sudah
ditunjukkannya jauh sebelum menjadi Rasul. Ketika ia ditunjuk untuk memutuskan
siapa yang berhak membawa Hajar Aswad ke dalam Ka’bah oleh para Kabilah di
Mekah, dengan bijak Nabi mengambil keputusan. Diambilnya kain, diletakkan Hajar
Aswad diatasnya. Setiap perwakilan Kabilah memegang ujung kain tersebut. Semua
pihak puas.
Kelembutan dan kasih sayangnya, ia perlihatkan saat menjadi
orang pertama yang mengunjungi seorang nenek tua yang sakit. Padahal, nenek
tersebut kerap meludahi Nabi Muhammad saw saat hendak pergi ke masjid.
Sayangnya, kemuliaan akhlaq Nabi tak juga bisa diikuti oleh
umatnya yang mengaku mencintainya. Contoh, betapa sulitnya sifat jujur dan
amanah dimiliki oleh mayoritas rakyat dan pemimpin negeri ini –-sifat yang
justru melekat pada diri Nabi yang mereka cintai sehingga diberi gelar “Al
Amin.” Korupsi, kebohongan publik, hakim yang mudah disuap, polisi yang kerap
meminta “uang damai”, adalah contoh dari borok yang menghiasi wajah Ibu
Pertiwi.
Kita boleh jadi kesulitan mengikuti seluruh tindak tanduk
Nabi saw yang penuh dengan keagungan. Kepeduliannya, kejujuran, keadilan,
kebijaksanaan hingga kelembutannya. Tapi, seberapa sulitkah kita hanya untuk
mengikuti salah satu akhlaqnya?
Kita, terutama para pemimpin negeri ini, tampak begitu sukar
(atau tidak mau?) mengikuti hanya satu perilaku Nabi saw. Dan kita pun harus
merasakan kedukaan yang sama seperti yang dialami oleh kaum muslimin, lebih
dari 14 abad lalu, saat Nabi saw wafat. Karena, hampir tidak ada pemimpin yang
patut diteladani. Kami rindu padamu ya, Rasul.
Erwyn Kurniawan