Selasa, 29 November 2011

5 Penutup Bangunan Syiar Dakwah Kampus


Setelah berbicara banyak tentang empat pondasi dasar bangunan syiar (CADV) dan enam pilar bangunan syiar (Syiar Multimedia, Humas Internal Kampus, Ta’lim/Kajian, Litbang, Syiar TPB, Kepanitiaan), kini saatnya saya menutup pembahasan tentang konstruksi bangunan syiar ini dengan membahas 5 penutup Bangunan Syiar Dakwah Kampus. Berbicara tentang hal ini, maka saya akan memfokuskan pada pemahaman manajemen sebagai paradigma berpikir dalam melakukan kegiatan syiar.

Layaknya sebuah bangunan, atap berperan penting untuk menjaga benda-benda yang ada dibangunan itu dari hujan dan panas. Disamping itu, atap juga berfungsi melindungi pilar-pilar dan pondasi agar tidak rusak tergerus oleh perubahan cuaca. Sama seperti manajemen. Manajemen juga berperan penting menjaga segala kegiatan syiar agar tetap berjalan dengan baik dan melindungi pondasi dan pilar bangunan syiar agar tetap berjalan secara professional dan terukur. Dengan segala kekurangan yang ada di setiap LDK, manajemen menjadi kunci keberhasilan kegiatan syiar di kampus tempat LDK itu berada. Apapun level LDK kampus Anda (mula, madya, atau mandiri), tidak ada alasan membuat kegiatan syiar di kampus Anda untuk menjadi tidak optimal, karena bagaimanapun juga fase syiar sangat penting untuk dilakukan sebelum fase kaderisasi dimulai. Sekali lagi, disinilah manajemen berperan.
Dalam Romantika kehidupan manusia, ilmu manajemen tidaklah cukup hanya menjadi ilmu pengetahuan saja, namun ilmu ini harus diaplikasikan didalam kehidupan manusia sehari-hari untuk mengatur/managing manusia itu sendiri. Mulai dari waktu, konsentrasi, bahkan stress pun harus di manajemen dengan rapi. Pun demikan dengan sebuah organisasi LDK. Manajemen dalam organisasi digunakan untuk mengatur banyak orang dalam suatu aturan, mengontrol kerja organisasi, memberdayakan sumber daya yang terbatas untuk mempertahankan organisasi, mengelola kegiatan termasuk juga kegiatan syiar. Peter F. Drucker, seorang pakar manajemen dunia, didalam bukunya yang berjudul The Effective Executive:  The Definitive Guide to Getting the Right Things Done mengatakan bahwa ada lima rambu penting yang harus dipahami untuk menjalani manajemen. Kelima rambu ini adalah proses, logis dan sistematis, ada pre-determined goals, memanfaatkan sumber daya yang ada, dan efektif dan efisien. Untuk lebih jelasnya saya akan mengupas satu-persatu rambu manajemen ini.

Proses
Setiap perkembangan butuh yang namanya proses. Organisasi atau perusahaan besar yang kini bisa kita saksikan merupakan hasil dari proses dari perkembangan organisasi atau perusahaan itu melawan tantangan zaman. Benang merah yang mampu kita ambil adalah tidak ada sesuatu yang besar sebelum dimulai dari sesuatu yang kecil terlebih dahulu. Anda boleh saja memimpikan sebuah kegiatan syiar yang mampu menyentuh objek dakwah dan mengakar di seluruh elemen kampus, namun itu semua bergantung pada proses yang harus Anda alami sesuai level LDK Anda. Ketika Anda baru merintis atau memulai LDK -level mula- maka Anda harus memulai kegiatan syiar Anda pada level mula juga. Kegiatan syiar yang tidak mengikuti proses, misalnya Anda ingin mengadakan acara yang besar dan membutuhkan dana yang banyak sedangkan LDK Anda baru tumbuh, akan membuat para kader LDK Anda kuwalahan. Semua itu terjadi karena perkara tersebut memang belum waktunya. Hal yang sama harus dilakukan LDK pada level madya dan mandiri. Semua kegiatan syiar harus dilakukan sesuai dengan prosesnya. Ketika LDK Anda telah naik level, maka artinya kegiatan syiar Anda juga dapat dinaikkan pula tingkatannya.

Logis dan Sistematis
Belum ada sejarahnya sebuah organisasi atau perusahaan dapat menjadi besar dalam kurun waktu yang sehari atau dua hari saja kecuali memang ada keajaiban. Semua proses harus dijalani secara logis dan sistematis. Ketika kita ingin cerdas maka kita harus belajar dengan bersungguh-sungguh. Memang itu logisnya. Kemudian kita harus baca setiap bab secara berurutan karena antara bab yang satu dengan yang lainnya saling berkaitan. Dan itulah sistematisnya. Begitulah tentang logis dan sistematis.
Sebuah proses bisa menghasilkan dua hasil : statis dan perubahan. Dan perubahan sendiri punya dua makna : menjadi lebih baik dan menjadi lebih buruk. Perubahan lebih baik hanya bisa terjadi kalau proses yang Anda lakukan itu logis dan sistematis. Sama halnya dengan kegiatan syiar. Ketika Anda mengabaikan rambu ini dalam melakukan kegiatan syiar maka kemungkinan besar acara Anda tidak akan berhasil. Misalkan Anda ingin mengadakan kegiatan seminar tentang suatu tema dan akan menghadirkan pembicara-pembicara ternama seperti penulis buku best seller, menteri dan lain-lain. Namun Anda sadar bahwa waktu Anda tinggal dua minggu dan belum melakukan persiapan apa-apa termasuk mengundang pembicara ternama itu. Dengan berbekal semangat proses persiapan acara terus Anda lakukan secara paksa. Kalau boleh memprediksi, saya pikir acara itu tidak akan efektif dan efisien. Mengapa? karena ia telah gagal memegang kepercayaan objek kegiatan untuk ikut kegiatan itu sehingga akhirnya muncullah kemalasan objek kegiatan pergi mengikuti kegiatan itu karena pembicara yang dijanjikan tidak datang. Itulah konsekuensi ketika Anda tidak melakukan sesuatu proses secara logis dan sistematis.

Ada Pre-Determined Goals
Saya sedih ketika bertanya kepada kader LDK “Mengapa Anda lakukan acara kajian ini?” dan mereka menjawab “ya, karena sudah ada dari tahun lalu dan sudah jadi budaya untuk dilaksanakan di LDK ini”. Mengapa saya sedih? Adalah karena mereka telah kehilangan yang namanya pre-determinde goals sebuah kegiatan. Hati-hati terhadap suatu budaya melaksanakan suatu pekerjaan disebuah LDK. Sesuatu yang telah membudaya biasanya akan membentuk sebuah belenggu pada kegiatan LDK. Dan  hal ini akan mematikan kreativitas dari para kader LDK.
Orang-orang yang telah terbelenggu pada suatu budaya kegiatan LDK, biasanya akan takut/ragu untuk keluar dari zona nyamannya untuk melaksanakan sebuah kegiatan baru. Akibatnya kegiatan LDK itu hanya yang “itu-itu saja” tiap tahun dan tidak ada perubahan. Padahal bisa jadi budaya kegiatan LDK tersebut sudah kuno dan tidak layak lagi dipakai untuk menjawab tantangan zaman masa kini. Dan kalau hal itu dibiarkan terus menerus, maka suatu saat organisasi LDK itu akan habis umurnya karena tertindih oleh beban berat tantangan zaman. Seharusnya yang diacu adalah tujuan awalnya, bukan budayanya. Acuan tujuan awal yang jelas akan memunculkan  kreativitas segar dipikiran mereka seraya memunculkan pertanyaan kira-kira kegiatan apa yang harus mereka adakan sesuai dengan tantangan zamannya tersebut. Hal yang berbeda akan terjadi ketika mereka hanya terpaku pada budaya kegiatan. Maka tak salahlah Peter F. Drucker memposisikan tujuan awal sebagai rambu penting dalam manajemen.

Memanfaatkan Sumber Daya Yang Ada
Saya sering mendapatkan pertanyaan “Bagaimana kalau LDK kami bermasalah dalam hal sumber daya yang sedikit? Dana yang kecil? Ancaman dari rektorat?” begitulah kira-kira keluhan mereka terhadap kekurangan sumber daya yang terjadi dikampus mereka. Mereka terus saja berkutat pada kekurangan mereka namun mereka masih terbutakan oleh peluang-peluang yang mungkin bisa mereka rebut.
Sebuah kata dari Mahatma Ghandi tentang hal ini, “sumber daya di dunia ini cukup untuk memenuhi kebutuhan manusia, namun tidak akan cukup untuk memenuhi keinginan manusia”. Kebutuhan dan keiginan adalah hal yang sangat berbeda. Sebagai sebuah LDK yang berpedoman pada manajemen, hendaklah mampu memanfaatkan sumber daya yang ada untuk dapat mengoptimalkan kegiatan syiarnya. Karena Allah pasti telah memberikan semua sumber daya yang dibutuhkan dan tidak akan memberikan cobaan melampaui batas kemampuan sebuah LDK. Namun terkadang mungkin LDK sering terjebak pada “keinginan-keinginan”nya. Mereka masih berpusing-pusing memikirkan bagaimana mengatasi kondisi kekurangan SDM, dana, atau yang lainnya sedangkan mereka tidak benar-benar mengoptimalkan sumber daya yang ada pada mereka sekarang. Padahal bisa jadi ketika mereka mengoptimalkan sumber daya mereka sekarang, dan bersabar menjalani proses kenaikan tingkatan LDK, maka apa yang mereka pusingkan itu bisa menjadi sebuah kenyataan.

Efektif dan Efisien
Sebuah keinginan bersama bahwa kegiatan syiar yang kita lakukan bisa efektif dan efisien. Efektif adalah solusi yang telah terseleksi dari beberapa solusi yang telah berhasil tepat sasaran. Efisien adalah solusi yang telah terseleksi kembali setelah berhasil menghasilkan keberhasilan dengan kehematan sumber daya dan tenaga yang lebih besar. Artinya efisien hanya baru bisa dicapai setelah keefektifan tercapai.
Kegiatan syiar yang boros dana dan terlalu menguras tenaga subjek kegiatan/SDM adalah contoh real bahwa kegiatan yang dilakukan itu tidak lagi efektif dan efisien. Jika kita telah mendapatkan kegiatan seperti itu maka jangan dilakukan lagi karena hanya membuang-buang waktu saja. Masih banyak cara syiar yang lain yang dapat dilakukan untuk mencapai keefektifan. Namun perlu diingat suatu kegiatan yang efektif dan efisien sangat terikat dengan waktu dan pada situasi dan kondisi tertentu. Jadi kita harus selalu tanggap terhadap perubahan situasi dan kondisi dunia kampus kita


http://ryanalfiannoor.wordpress.com/2009/02/24/5-penutup-bangunan-syiar-dakwah-kampus
 

Jika Lelah Dalam Dakwah, Istirahatlah


 Mari kita beristighfar, Saudaraku
.
Istighfar, apabila dakwah kita selama ini sering diselingi dengan keluh kesah. Istighfar, bila orientasi kerja kita masih keliru, sehingga akhirnya hanya lelah yang kita tumpu. Istighfar, jika ternyata kita termasuk aktivis dakwah yang beramal seadanya, mengada-ada, atau ada-ada saja.
Saudaraku, semoga hati kita bergetar karena-Nya. Semoga Istighfar tadi dapat membuka hati kita, yang selama ini membeku, tertutup oleh kelelahan dan kelemahan. Lelah karena lupa pada-Nya. Lemah karena tidak menyertakan-Nya pada setiap amal kita.

Jika lelah, tidak ada salahnya kita beristirahat, Saudaraku. Meski sejenak, beristirahatlah. Karena dengan beristirahat, kita bisa tahu bagian mana yang lelah, bagian mana yang salah. Dengan beristirahat, kita dapat mengumpulkan tenaga untuk berlari kembali. Istirahatlah, Saudaraku. Sejenak saja. Sisakan waktu untuk tubuhmu tenang. Sementara biarkan otakmu me-review apa saja yang telah kita lakukan selama ini. Dan tanyakan: Mengapa kita melakukan semua itu? Apa yang membuat kita bertahan hingga sejauh ini? Dan biarkan jiwamu menyelami makna dari setiap jengkal perjuangan yang telah kita lakukan.
Adakah yang terlupa, Saudaraku? Tentang nikmat yang lupa untuk kita syukuri. Tentang amal kecil yang belum kita jalani. Atau, adakah yang terlewat? Tentang dosa-dosa kecil yang kita remehkan. Tentang kelemahan yang tak kunjung dikuatkan. Sehingga pondasi dakwah kita keropos, tergerus oleh waktu dan nafsu. Sehingga amanah tak ubahnya tongkat estafet, meski berpindah namun tak berubah. Tak berkah. Sampai kapan kita tejebak dalam siklus stagnan ini, Saudaraku?
Mari kita beristirahat. Sejenak saja. Tak perlu waktu lama. Seperti yang dilakukan salah seorang sahabat Rasulullah yang dijamin masuk surga. Karena kebiasaannya ketika sebelum tidur mengistirahatkan egonya, mengistirahatkan nafsunya, mengistirahatkan kealpaan dan kelemahannya dalam sehari itu. Ia istirahatkan semuanya dalam tetes air mata. Penuh sesal atas dosa.

Dan bukankah itu pula yang menyebabkan sahabat yang lain juga dijamin masuk surga? Karena setiap hari ia terbiasa mengistirahatkan kesedihannya, mengistirahatkan kemarahannya, mengistirahatkan bayang dan prasangkanya terhadap orang lain. Sehingga dalam sehari, sebelum tidur, ia selalu memaafkan orang yang telah membuat hatinya terluka. Juga membersihkan hatinya terhadap iri dengki, apabila orang lain mendapat rezeki melebihi dirinya.

Saudaraku, tetaplah kuat. Jangan biarkan diri kita lemah dan terjerumus dalam kungkungan kesedihan. Namun jangan pula jadikan sebuah amanah sebagai kambing hitam atas ketidakmampuan kita untuk tawazun di amanah-amanah lainnya.
Ingatlah, kekuatan dakwah bukan terletak pada ramainya seremonial atau besarnya sebuah acara. Bukan pula pada banyaknya agenda yang kita lakukan. Tapi, kekuatan dakwah terletak pada sebuah kesederhanaan, yang terpancar di setiap pribadi para pelaku dakwahnya, para aktivis dakwahnya. Karena menjadi sederhana itu kuat, Saudaraku.

Apabila yang lain telah menjauh dan terbentur dengan kedustaan dan kemalasan, tetaplah berada pada kesederhanaan. Karena kesedernahaan itu terwujud sebagai sebuah amal yang jujur, tidak banyak alasan. Kesederhanaan juga terpancar pada kesabaran, tanpa banyak keluhan. Dan kesederhanaan tentunya lahir dari sebuah kesadaran. Sadar untuk menjaga keikhlasan dalam niat. Sadar untuk tetap komitmen dalam dakwah. Sadar untuk terus istiqomah, meski yang lain sudah berubah.
Deddy Sussantho – Depok

Membina Diri Menjadi Murabbi


Menjadi orang yang shalih dan mushlih adalah buah yang kita harapkan dari proses pembinaan yang kita jalani. Shalih secara pribadi dan mengupayakan tumbuh kembangnya keshalihan pada orang lain merupakan teladan dari Rasulullah SAW dan para salafushshalih yang sepatutnya kita ikuti. Alhamdulillah, saat ini sangat banyak di antara kita yang mendapatkan kesempatan menjadi mentor atau murabbi baik di kampus maupun sekolah. Sesungguhnya yang kita inginkan bukanlah semata banyaknya jumlah adik mentor atau mutarabbi kita.
Akan tetapi yang jauh lebih penting adalah bagaimana agar kuantitas dan kualitas selalu merupakan fungsi yang bergradien positif. Atau menurut slogan seorang ikhwah,”Daripada berjuang bersama 20 orang tapi tidak berkualitas, lebih baik berjuang bersama 2000 orang yang berkualitas.”

Kunci utama peningkatan kualitas umat ini terletak di tangan para penyeru seruan Islam itu sendiri. Atau dalam konteks ini berarti penentu penjagaan dan peningkatan kualitas keshalihan para adik mentor/mutarabbi adalah para mentor/murabbi itu sendiri.

Berikut ini adalah beberapa karakteristik yang mesti kita usahakan agar melekat pada diri para mentor/murabbi :
1. Al-Fahmu As-syamil al-kamil, yaitu pemahaman yang sempurna dan menyeluruh terhadap dasar-dasar keislaman dan rambu-rambu petunjuknya, juga terhadap apa yaang akan didakwahkannya, karena seorang mentor/murabbi akan mentarbiyah seseorang yang memiliki akal, perasaan dan pemahaman, dan orang tersebut akan merefleksikan apa yang didengar dan diperhatikan dari sang mentor/murabbi, maka apabila seorang mentor/murabbi tidak memiliki level pengetahuan yang memadai dan wawasan pemahaman yang menyeluruh tentang dasar-dasar keislaman, maka hal itu akan memindahkan sebuah kebodohan kepada adik mentor/mutarabbinya, yang pada gilirannya akan menimbulkan masalah dalam pembentukan kepribadian muslim sang adik mentor/mutarabbi itu sendiri.

2. Waqi’ ‘Amaly, yaitu keteladanan sang mentor/murabbi dengan amal perbuatannya yang secara real tampak jelas pada perilakunya, seperti geraknya, diamnya, bicaranya, atributnya, pandangannya dan ibrohnya, seluruh keteladanan itu adalah buah refleksi dari pengaruh keimanan dan pemahaman dalam kehidupan sang mentor/murabbi, dalam rangka memberikan pengaruh keteladanan yang baik (Qudwah shalihah) pada saat kemunculannya di tengah-tengah masyarakat.
Seorang ulama, Hasan Al-Banna mensifati murabbi dengan sebutan da’i mujahid, lebih jelasnya beliau menyebutkan bahwa da’i mujahid adalah : “Sosok seorang da’i yang telah mempersiapkan segala sesuatunya, yang terus menerus berfikir, besar perhatiannya dan siap siaga selalu”. Begitulah seharusnya seorang mentor/murabbi, tercermin iman dan keyakinannya pada perilaku dan amalnya. Berdasarkan penelitian pada perjalanan kehidupan sang mentor/murabbi, bahwa pengaruh mereka terhadap banyak orang lebih banyak berasal dari perilaku dan akhlaknya yang istiqomah di setiap keadaan. Sudah menjadi pemahaman umum bahwa “Manthiqal Af’al aqwa min manthiqil aqwal” ( Logika amal / perbuatan lebih kuat dari logika kata-kata). Dikatakan pula oleh ulama salafushashalih : “Man lam tuhadzdzibka ru’yatuhu fa’lam annahu ghairu Muhaadzdzab” (Barang siapa yang tidak mendidikmu ketika engkau melihatnya maka ketahuilah bahwa orang itu juga tidak terdidik).
Al-imam Syafi’i rahimahullohu berkata : “Man wa’adzho akhohu bifi’lihi kaana Haadiyan” (Barang siapa yang menasehati seudaranya dengan amal perbuatannya maka berarti ia telah menunjukinya”. Oleh karena itu keteladanan adalah fokus yang sangat sensitif dan halus, karena apa yang tampak pada dirinya jauh lebih besar pengaruhnya dari apa yang diucapkannya (Al-Mandzhor a’dzhomu ta’tsiran minal qoul).

3. Al-khibroh binnufus, yaitu berpengalaman dalam memahami aspek kejiwaan, karena sesungguhnya lapangan kerja seorang mentor/murabbi tidak lain adalah kejiwaan, bergumul dengannya dan menjadikannya sasaran yang pertama dan terakhir dalam proses tarbiyah, sedangkan jiwa tidak seperti gigi sisir, akan tetapi jiwa orang berbeda satu dengan yang lainnya, ada yang lemah, ada yang kuat, ada yang peka dan over sensitif. Ada yang lembut , ada yang keras,bebal dan sebagainya.
Oleh karena itu seorang mentor/murabbi hendaknya menyikapi seseorang sesuai dengan kejiwaannya dan berhati-hati dalam berinteraksi dengannya, maka jangan bersikap terlalu tegas dan keras kepada orang yang jiwanya halus dan peka, melainkan harus dihadapi dengan lemah lembut , sebaliknya orang yang jiwanya keras harus dihadapi dengan ketegasan jika ia lalai dan menyimpang. Adalah Rosululloh SAW sosok murabbi pertama yang berpengalaman dalam ilmu jiwa, beliau tidak mempergauli para sahabatnya dengan sikap yang sama antara yang satu dan lainnya, karena beliau sangat tahu akan tabiat manusia dan kejiwaan mereka. Dalam hadits riwayat Bukhari dari Abdulloh ibnu mas’ud RA. Beliau bersabda : “Adalah Rosululloh SAW pernah beberapa hari lamanya tidak memberikan nasehat dan wejangan kepada kami, karena beliau takut kami menjadi bosan” (Al-Hadits)
Berkaitan dengan Al-khibroh binnufus, banyak contoh keteladanan dari murabbi zaman ini, diantara mereka adalah Hasan al-Banna, di mana telah terjadi dialog antara beliau dengan salah seorang ikhwah, Ikhwah tersebut berkata : “Sesungguhnya ana lagi banyak muskilah dan banyak yang ingin ana adukan kepada Antum, masalah yang ana hadapi ada yang bersifat umum dan ada yang khusus”, maka kata Hasan Al-Banna : “Sudahlah jangan bebani diri Antum dengan masalah itu, serahkan urusan Antum kepada Alloh”, “Tapi, ana ingin Antum tahu”, sergah Akh tersebut, “Sesungguhnya ana sudah tahu” kata Al Banna seraya meyakinkan Akh tersebut, “Jadi ana bahagia kalau antum mau tahu” balas akh tersebut.
Akan tetapi belum sempat ana memulai curhat, beliau sudah mendahuluiku dengan rentetan musykilah dan keluhan yang dialaminya sendiri, bahkan yang mengherankan apa yang diutarakannya sama dengan apa yang ana rasakan . setelah beliau selesai berbicara, maka ana pun berkata kepadanya : “Ya ustadz….. demi Alloh sungguh ana sangat bahagia, dan ana tidak akan mengeluh lagi”, ana mengatakan semua itu sambil terisak dan bercucuran air mata”.

(Tawazun)
posted by cerita dakwah kampus @ Permalink ¤09:56   http://img2.blogblog.com/img/icon18_edit_allbkg.gif