Menjadi
orang yang shalih dan mushlih adalah buah yang kita harapkan dari proses
pembinaan yang kita jalani. Shalih secara pribadi dan mengupayakan tumbuh
kembangnya keshalihan pada orang lain merupakan teladan dari Rasulullah SAW dan
para salafushshalih yang sepatutnya kita ikuti. Alhamdulillah, saat ini sangat
banyak di antara kita yang mendapatkan kesempatan menjadi mentor atau murabbi
baik di kampus maupun sekolah. Sesungguhnya yang kita inginkan bukanlah semata
banyaknya jumlah adik mentor atau mutarabbi kita.
Akan tetapi yang jauh lebih penting
adalah bagaimana agar kuantitas dan kualitas selalu merupakan fungsi yang
bergradien positif. Atau menurut slogan seorang ikhwah,”Daripada berjuang
bersama 20 orang tapi tidak berkualitas, lebih baik berjuang bersama 2000 orang
yang berkualitas.”
Kunci utama peningkatan kualitas umat ini terletak di tangan para penyeru seruan Islam itu sendiri. Atau dalam konteks ini berarti penentu penjagaan dan peningkatan kualitas keshalihan para adik mentor/mutarabbi adalah para mentor/murabbi itu sendiri.
Berikut ini adalah beberapa karakteristik yang mesti kita usahakan agar melekat pada diri para mentor/murabbi :
1. Al-Fahmu As-syamil al-kamil, yaitu pemahaman yang sempurna dan menyeluruh terhadap dasar-dasar keislaman dan rambu-rambu petunjuknya, juga terhadap apa yaang akan didakwahkannya, karena seorang mentor/murabbi akan mentarbiyah seseorang yang memiliki akal, perasaan dan pemahaman, dan orang tersebut akan merefleksikan apa yang didengar dan diperhatikan dari sang mentor/murabbi, maka apabila seorang mentor/murabbi tidak memiliki level pengetahuan yang memadai dan wawasan pemahaman yang menyeluruh tentang dasar-dasar keislaman, maka hal itu akan memindahkan sebuah kebodohan kepada adik mentor/mutarabbinya, yang pada gilirannya akan menimbulkan masalah dalam pembentukan kepribadian muslim sang adik mentor/mutarabbi itu sendiri.
2. Waqi’ ‘Amaly, yaitu keteladanan sang mentor/murabbi dengan amal perbuatannya yang secara real tampak jelas pada perilakunya, seperti geraknya, diamnya, bicaranya, atributnya, pandangannya dan ibrohnya, seluruh keteladanan itu adalah buah refleksi dari pengaruh keimanan dan pemahaman dalam kehidupan sang mentor/murabbi, dalam rangka memberikan pengaruh keteladanan yang baik (Qudwah shalihah) pada saat kemunculannya di tengah-tengah masyarakat.
Seorang
ulama, Hasan Al-Banna mensifati murabbi dengan sebutan da’i mujahid, lebih
jelasnya beliau menyebutkan bahwa da’i mujahid adalah : “Sosok seorang da’i
yang telah mempersiapkan segala sesuatunya, yang terus menerus berfikir, besar
perhatiannya dan siap siaga selalu”. Begitulah seharusnya seorang
mentor/murabbi, tercermin iman dan keyakinannya pada perilaku dan amalnya.
Berdasarkan penelitian pada perjalanan kehidupan sang mentor/murabbi, bahwa
pengaruh mereka terhadap banyak orang lebih banyak berasal dari perilaku dan
akhlaknya yang istiqomah di setiap keadaan. Sudah menjadi pemahaman umum bahwa
“Manthiqal Af’al aqwa min manthiqil aqwal” ( Logika amal / perbuatan lebih kuat
dari logika kata-kata). Dikatakan pula oleh ulama salafushashalih : “Man lam
tuhadzdzibka ru’yatuhu fa’lam annahu ghairu Muhaadzdzab” (Barang siapa yang
tidak mendidikmu ketika engkau melihatnya maka ketahuilah bahwa orang itu juga tidak
terdidik).
Al-imam Syafi’i rahimahullohu
berkata : “Man wa’adzho akhohu bifi’lihi kaana Haadiyan” (Barang siapa yang
menasehati seudaranya dengan amal perbuatannya maka berarti ia telah
menunjukinya”. Oleh karena itu keteladanan adalah fokus yang sangat sensitif
dan halus, karena apa yang tampak pada dirinya jauh lebih besar pengaruhnya
dari apa yang diucapkannya (Al-Mandzhor a’dzhomu ta’tsiran minal qoul).
3. Al-khibroh binnufus, yaitu berpengalaman dalam memahami aspek kejiwaan, karena sesungguhnya lapangan kerja seorang mentor/murabbi tidak lain adalah kejiwaan, bergumul dengannya dan menjadikannya sasaran yang pertama dan terakhir dalam proses tarbiyah, sedangkan jiwa tidak seperti gigi sisir, akan tetapi jiwa orang berbeda satu dengan yang lainnya, ada yang lemah, ada yang kuat, ada yang peka dan over sensitif. Ada yang lembut , ada yang keras,bebal dan sebagainya.
Oleh karena
itu seorang mentor/murabbi hendaknya menyikapi seseorang sesuai dengan
kejiwaannya dan berhati-hati dalam berinteraksi dengannya, maka jangan bersikap
terlalu tegas dan keras kepada orang yang jiwanya halus dan peka, melainkan
harus dihadapi dengan lemah lembut , sebaliknya orang yang jiwanya keras harus
dihadapi dengan ketegasan jika ia lalai dan menyimpang. Adalah Rosululloh SAW
sosok murabbi pertama yang berpengalaman dalam ilmu jiwa, beliau tidak
mempergauli para sahabatnya dengan sikap yang sama antara yang satu dan
lainnya, karena beliau sangat tahu akan tabiat manusia dan kejiwaan mereka.
Dalam hadits riwayat Bukhari dari Abdulloh ibnu mas’ud RA. Beliau bersabda :
“Adalah Rosululloh SAW pernah beberapa hari lamanya tidak memberikan nasehat
dan wejangan kepada kami, karena beliau takut kami menjadi bosan” (Al-Hadits)
Berkaitan
dengan Al-khibroh binnufus, banyak contoh keteladanan dari murabbi zaman ini,
diantara mereka adalah Hasan al-Banna, di mana telah terjadi dialog antara
beliau dengan salah seorang ikhwah, Ikhwah tersebut berkata : “Sesungguhnya ana
lagi banyak muskilah dan banyak yang ingin ana adukan kepada Antum, masalah
yang ana hadapi ada yang bersifat umum dan ada yang khusus”, maka kata Hasan
Al-Banna : “Sudahlah jangan bebani diri Antum dengan masalah itu, serahkan
urusan Antum kepada Alloh”, “Tapi, ana ingin Antum tahu”, sergah Akh tersebut,
“Sesungguhnya ana sudah tahu” kata Al Banna seraya meyakinkan Akh tersebut,
“Jadi ana bahagia kalau antum mau tahu” balas akh tersebut.
Akan tetapi
belum sempat ana memulai curhat, beliau sudah mendahuluiku dengan rentetan
musykilah dan keluhan yang dialaminya sendiri, bahkan yang mengherankan apa
yang diutarakannya sama dengan apa yang ana rasakan . setelah beliau selesai
berbicara, maka ana pun berkata kepadanya : “Ya ustadz….. demi Alloh sungguh
ana sangat bahagia, dan ana tidak akan mengeluh lagi”, ana mengatakan semua itu
sambil terisak dan bercucuran air mata”.
(Tawazun)
(Tawazun)
posted by
cerita dakwah kampus @ Permalink ¤09:56
Tidak ada komentar:
Posting Komentar