Dalam KBBI, globalisasi (arus global) diartikan proses
masuknya ke ruang lingkup dunia. Agaknya definisi ini masih terlalu umum dan
memiliki berbagai definisi turunan, yang bisa jadi salah satu dari definisi
turunan tersebut terlampau jauh dari makna induknya. Sehingga diperlukan
penelusuran lebih jauh tentang terminology globalisasi ini. Sampai saat ini,
asal istilah globalisasi masih menjadi bahan perdebatan.
Frank (1998) menyebutkan bahwa istilah globalisasi
pertama kali muncul saat terjalinnya perdagangan antara Peradaban Lembah Indus
(bagian barat daya India) dengan Sumer (bagian selatan Mesopotamia) 3000 tahun
sebelum masehi1. Zaman keemasan Islam (750-1255 M) merupakan tahap awal yang
juga penting dari globalisasi ini, karena memang pada masa rentang masa itu
Islamlah yang memberikan kontribusi terbesar di bidang ilmu pengetahuan, teknologi
dan budaya bagi dunia.
Di masa itu, yahudi, pedagang muslim dan para
penjelajah membangun ekonomi yang berkelanjutan yang mengakibatkan terjadinya
globalisasi dibidang hasil tanam, teknologi dan perdagangan2. Sedangkan Fredman
(1999) mengartikulasikan globalisasi sebagai sebuah interelasi yang sedemikian
eratnya antara negara, pasar dan teknologi. Kondisi ini memungkinkan baik
perorangan, perusahaan, maupun negara untuk lebih mudah menjangkau ke seluruh
penjuru dunia, lebih cepat, lebih dalam, lebih luas dan tentu saja lebih murah
daripada sebelumnya. Dari sini kita bisa menyimak bahwa istilah Globalisasi
muncul berawal dari dunia perdagangan, yang tidak jauh dari kata-kata komoditas
dan pasar. Teknologi disini hanyalah alat penyokong untuk kemudahan proses
perdagangan tersebut.
Semakin ke sini, medan globalisasi semakin kental
dengan arus pertukaran budaya dan berbagai ideologi yang ada di dunia. Berbagai
gerakan baik itu gerakan politik hingga kepercayaan mulai memanfaatkan medan
yang dimunculkan oleh orang-orang dagang ini sebagai media untuk
menyebarluaskan doktrin-doktrin mereka. Seperti kita kenal ada gerakan-gerakan
kepercayaan seperti Ikhwanul Muslimin, Hizbut Tahrir, Budhisme,dll. Di gerakan
ideologi seperti Marxsis, Masonry, Liberalis, Orientalis, dll dan juga gerakan
politik seperti Westernisasi dan sebagainya.
Kita tahu, tahun 1924 M nahkoda kepemimpinan islam di
Turki Utsmani tumbang akibat tindakan makar oleh Mustafa Kamal At-Taturk. Tiada
lagi kepemimpinan islam terpusat, yang dikenal dengan istilah Khilafah
Islamiyah. Tidak ada lagi satu kesatuan jama’ah yang mengikat seluruh kaum
muslimin di alam ini dengan satu kepemimpinan khilafah (Jamaatul Muslimin),
yang ada sekarang hanyalah kelompok-kelompok kaum muslimin yang disebut dengan
istilah Jamaatun minal Muslimin. Ada pun kelompok-kelompok tersebut seperti
Hizbut Tahrir, Ikhwanul Muslimin, Salafi, Jamaah Tabligh, dll yang bersifat
trans nasional (lintas negara) dan kelompok-kelompok lokal yang kita kenal di
Indonesia seperti Muhammadiyah, Nahdzatul Ulama, dsb.
Cita-cita luhur dari gerakan-gerakan Islam jelas
sudah, yaitu menggapai kejayaan Islam kembali dalam naungan Khilafah Islamiyah.
Khilafah Islamiyah bukanlah menjadi cita-cita dari salah satu gerakan Islam
yang ada sekarang, tetapi ini adalah milik semua umat Islam. Akan tetapi memang
untuk mencapai cita-cita tersebut terdapat perbedaan metode di setiap
gerakan-gerakan yang ada, dan tak jarang karena perbedaan dalam hal metode ini
mengakibatkan pelemahan yang satu dengan yang lainnya dan rawan menimbulkan
perpecahan di tubuh umat Islam sendiri. Jika memang menyatukan umat Islam itu
dirasa sulit, yang terpenting adalah menghipun kekuatan diatara kaum muslim itu
sendiri untuk satu tujuan yang luhur. Dengan prinsip open mind (berpikir terbuka),
memberikan ruang-ruang toleransi bagi perbedaan yang bersifat ijtihadi dan
berpegang teguh pada Al-Quran dan As-sunnah, maka optimisme akan akan kejayaan
islam itu semakin besar.
Berkaca dari sejarah awal Globalisasi hingga sekarang,
maka setidaknya penulis mengungkapkan ada tiga role (peran) yang memberikan
dampak dominan terhadap perubahan yang bersifat mendunia. Pertama adalah
pencetus istilah globalisasi itu sendiri, yaitu orang-orang dagang. Substansi
orang-orang dagang yang dimaksudkan adalah mereka yang dapat menghasilkan
kekayaan yang bersifat materi. Mengapa ?
Alasan pertama yaitu secara naluriah setiap warga
dunia mencari dan menginginkan kekayaan material. Alasan selanjutnya ialah
dengan sumber daya materi yang besar maka perubahan itu akan lebih mudah untuk
diwujudkan, meski materi bukanlah segala-galanya dari faktor perubahan
tersebut. Kedua, adalah peran ideolog (jika dalam Islam yakni Ulama). Karena
ideologi merupakan prinsip dasar yang berkaitan dengan cara berpikir manusia,
maka setiap tindak perbuatan akan mengacu pada ideologi yang dianut. Ia adalah
tolak dasar pemikiran, yang bisa mewarnai setiap perubahan yang diusung,
termasuk besar kecilnya perubahan tersebut.
Para Ideolog akan terus menyebarkan
ideologi-ideologinya karena mereka beranggapan bahwa dengan ideologi yang
mereka usung, maka kebaikan itu akan tercapai. Apalagi ideologi yang bersifat
kerpercayaan, masing-masing kepercayaan meyakini dan mengakui bahwa ini adalah
perintah suci Tuhan (menurut kepercayaan masing-masing) yang harus disebarkan
demi kebaikan seluruh umat manusia. Inilah yang menjadi salah satu alasan
mengapa dalam sejarah dunia ada para penjelajah dunia di zaman imperialisme,
yang kita kenal dengan istilah Gospel. Dan peran ketiga adalah Penguasa. Jelas
sudah, penguasa adalah pemegang kebijakan di konteks ruang dan waktu ia berada.
Jadi peran penguasa akan dominan terhadap perbahan yang terjadi, meskipun tidak
menutup kemungkinan adanya tidak makar dari bawah, atau yang sering dikenal
dengan people power.
Ketiga peran di atas mesti di asah dalam kubu Islam
untuk memberikan perubahan mendunia dengan harapan bisa meraih kejayaan
kembali. Yaitu pertama dengan mengasah semangat jiwa berdagang di kalangan umat
Islam, yang dalam arti luasnya bisa berarti jiwa-jiwa enterprenuership. Hal ini
telah ditunjukkan oleh Rasulullah SAW dan sebagian besar dari Sahabat Beliau
yang berprofesi sebagai saudagar yang sukses dan kaya. Dengan demikian umat
akan bangkit dengan sumber daya yang kuat dan perlahan lepas dari
ketergantungan lapangan pekerjaan yang tersedia termasuk kepada pemerintah,
seperti contoh masih banyaknya kaum muslim yang bercita-cita mutlak ingin
menjadi PNS, selain itu tidak mau.
Selanjutnya adalah memperkuat peran Ulama dalam
kebijakan-kebijakan publik, mencari pemecahan atas permasalahan-permasalan yang
terjadi dan tentunya pembentukan moral umat. Karena ulama adalah pewaris Nabi,
yang mampu memahami firman-firman Allah dan mengkontekskannya dari teks-teks
untuk ranah kontemporer. Jadi sangat disayangkan jika perubahan yang diusung
kurang pas ataupun kurang barakah karena bingung dan tak mampu dalam
mengkontekskan firman Tuhan dengan zamannya. Kemudian Islam juga mesti
memberikan perhatian lebih terhadap pemegang kekuasaan.
Kekuasaan memang bukanlah segala-galanya, ia hanyalah
sebuah wasilah (kendaraan) untuk perubahan yang diridhoi Allah SWT. Jangan
sampai kekuasaan jatuh kepada pihak-pihak yang secara terang-terangan memusuhi
Islam. Disamping itu semua, perkembangan di bidang ilmu pengetahuan dan
teknologi akan menyokong efektifitas dan efisiensi dari ketiga peran tadi,
sehingga ini pun juga sangat diperlukan.
Terakhir adalah, dimanakah posisi kita sekarang dan
dimanakah nantinya kita akan turut berpartisipasi ? Mari sama-sama kita
renungkan dengan akal dan naluri yang sehat dan mencoba untuk memahami esensi
untuk apa semuanya ini kita lakukan, yang tak lain adalah untuk menggapai ridho
Illahi, sehingga ketika di lapangan nanti setiap tindak dan perbuatan akan kita
kembalikan pada esensi tersebut. Wallahu a’lamu bishowab.
Ditulis oleh : Ardian Umam
Mahasiswa Teknik Elektro UGM 2009
Media Opini Jamaah Shalahuddin Lembaga Dakwah Kampus UGM
Contact at : Web : http://ardianumam.web.ugm.ac.id, twitter: @ardianumam
Mahasiswa Teknik Elektro UGM 2009
Media Opini Jamaah Shalahuddin Lembaga Dakwah Kampus UGM
Contact at : Web : http://ardianumam.web.ugm.ac.id, twitter: @ardianumam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar