Rabu, 27 Maret 2013
Kisah Seorang Pemuda di Gerbong Kereta
Di sebuah gerbong kereta api yang penuh, seorang pemuda berusia kira-kira 24 tahun melepaskan pandangannya melalui jendela. Ia begitu takjub melihat pemandangan sekitarnya.
Dengan girang, ia berteriak dan berkata kepada ayahnya:
”Ayah, coba lihat, pohon-pohon itu… mereka berjalan menyusul kita”.
Sang ayah hanya tersenyum sambil menganggukkan kepala dengan wajah yang tidak kurang cerianya. Ia begitu bahagia mendengar celoteh putranya itu.
Di samping pemuda itu ada sepasang suami-istri yang mengamati tingkah pemuda yang kekanak-kanakan itu. Mereka berdua merasa sangat risih.
Kereta terus berlalu. Tidak lama pemuda itu kembali berteriak:
“Ayah, lihat itu, itu awan kan…? lihat… mereka ikut berjalan bersama kita juga…”.
Ayahnya tersenyum lagi menunjukkan kebahagiaan.
Dua orang suami-istri di samping pemuda itu tidak mampu menahan diri, akhirnya mereka berkata kepada ayah pemuda itu:
“Kenapa anda tidak membawa anak anda ini ke dokter jiwa?”
Sejenak, ayah pemuda itu terdiam. Lalu ia menjawab:
“Kami baru saja kembali dari rumah sakit, anakku ini menderita kebutaan sejak lahir. Tadi ia baru dioperasi, dan hari ini adalah hari pertama dia bisa melihat dunia dengan mata kepalanya”.
Pasangan suami itu pun terdiam seribu bahasa.
#Setiap orang mempunyai cerita hidup masing-masing, oleh karena itu jangan memvonis seseorang dengan apa yg anda lihat saja. Barangkali saja bila anda mengetahui kondisi sebenarnya anda akan tercengang. Maka kita Perlu “BERPIKIR SEBELUM BICARA...”
Tarbiyah itu Menumbuh Kembangkan
By: Nandang Burhanudin
***
Alkisah, ada 3 santri di sebuah pesantren pinggiran Jabar. Ketiga santri ini masyhur sebagai santri yang cerdas-cekatan-berakhlak baik-dan senantiasa menjadi pelopor dalam pengabdian kepada masyarakat.
Tipe santri pertama: Berotak brilian. Fasih berbahasa Arab. Lulusan terbaik. Juga pernah mendapatkan beasiswa ke LN. Tapi ia lebih memilih mengabdi Full di pesantren, mengajar. Ia turuti permintaan sang Kiai, "Sudah buat apa jauh-jauh mencari ilmu. Di pesantren ini saja, ilmu berlimpah. Mau cari apa, pasti ada!"
Tipe santri kedua: Berotak cerdas. Menguasai ilmu qiroah. Pandai berceramah. Hingga ia selalu diundang ke kota-kota besar. Ia turuti permintaan Kia-nya. Namun di sela-sela
hari dimana ia tidak ada jadwal mengajar, ia isi untuk mengisi pengajian di kota-kota dan menjalin silaturahmi lebih luas.
Tipe santri ketiga: Berotak cergas. Mahir berbahasa Arab. Memiliki hobi seni menyanyi. Ia turuti permintaan Kiai untuk mengabdi beberapa tahun. Hingga saat ada kesempatan belajar di luar kota hingga Luar Negeri, ia pamit.
20 Tahun kemudian, ketiga santri tersebut mencatat sejarah masing-masing. Mereka sudah berumah tangga. Semua beranak banyak. Bahkan santri kedua, dikaruniai 2 istri dan belasan anak.
Santri pertama: Gaji dari hasil mengajar sangat kecil, tidak cukup menopang kebutuhan anak-anaknya. Sang Kiai telah wafat. Akhirnya ia memilih mencari penghasilan tambahan, mulai dari menjadi sopir angkutan kota hingga berniat menjadi TKI di negara Teluk.
Santri kedua: Gaji dari pesantren jelas sangat kecil. Namun ia mampu sejahtera karena sering mengisi pengajian di kota-kota. Bahkan ia telah mendirikan pesantren, dengan jumlah santri yang cukup banyak.
Santri ketiga: Ia tak terlalu memperhitungkan gaji di pesantren. Ia lebih banyak membangun jaringan. Aktif di bidang pengkaderan dan rekrutmen santri-santri, untuk kemudian diarahkan pada satu pembinaan yang disebut tarbiyah. Karena baginya,
tarbiyah telah menjadikan dirinya sebagai orang pinggiran menjadi orang terpandang. Walau dengan kecerdasan yang masih jauh dari santri pertama.
Apa yang membuat santri ketiga lebih melejit dibanding santri pertama dan kedua? Padahal sama-sama berotak pintar dan berada dalam satu lembaga pendidikan?
Tarbiyah menjadikan santri ketiga ini, melesat hingga baru-baru ini menjadi tokoh nasional setelah ditunjuk sebagai sekjen salah satu partai. Sebelumnya ia dikenal luas khalayak dengan nasyid-nasyidnya, selain sebagai konsultan syariah sesuai basis keilmuan semasa belajar. Urusan luar negeri, tidak lagi melulu Luar Nagrek. Tapi betul-betul sudah melanglangbuana, hingga ke pelbagai belahan dunia.
***
Sahabat, banyak yang salah kaprah
ketika kita aktif dalam tarbiyah. Saya tidak akan membahas tentang sejarah tarbiyah zaman Rasul. Tapi belajar dari ketiga santri di atas, saya menemukan bahwa ketika kita memasuki gerbang pembinaan tarbiyah, maka sebenarnya kita diarahkan untuk menjadi 4 sosok berikut:
1. Ujung tombak.
Ibarat busur panah, dengan tarbiyah kita dipersiapkan untuk menjadi pribadi-pribadi yang siap dilesatkan mencapai sasaran dari universalitas dakwah. Target dari dakwah sudah jelas. Ta'rif-Tanfidz-Takwin adalah sasaran-sasaran di setiap fase tarbiyah.
Menjadi pribadi ahli ibadah-berkarakter 10 muwashofat, adalah upaya maksimal yang hendak dicapai tarbiyah. Maka bisa dipastikan, akan ada orang yang 'alim-ahli ibadah, namun ia berada di zona nyaman. Ada keengganan tak terucapkan, saat ia harus menjadi ujung tombak dari semua pengorbanan.
Dalam tarbiyah, siapapun dan apapun latarbelakang kita, maka kita harus siap menjadi prajurit sebelum menjadi komandan. Karena komandan yang otpimum, lahir dari jiwa prajurit yang maksimum.
2. Ujung Tembok.
Lazimnya sebuah tembok, tarbiyah mengarahkan kader untuk menjadi jiwa-jiwa yang indah dipandang, kuat diterjang badai, tak lekang diguyur hujan. Sehat ruhiah harus seiring dengan kesehatan fisik. Pun sebaliknya.
Karena jiwa-jiwa yang ditarbiyah, harus siap menghadapi segala keadaan dan cuaca. Hujan-panas-kemarau-dingin. Atau cuaca fitnah-bully-ghibah-caci maki. Semua harus dihadapi dengan keramahan, namun tetap tegas dan tegar sekuat tembok.
Tarbiyah sama sekali tidak mentolelir jiwa-jiwa yang ringkih-galau-lebay-banyak alasan, atau jiwa-jiwa yang kasar, pengadil (salah benar, muslim-kafir), jiwa-jiwa yang antipati apalagi suka mengeluh.
3. Ujung Tambak.
Maksud tambak di sini adalah, tarbiyah membina semua jiwa-jiwa agar mampu menemukan potensi terbaik yang dimilikinya untuk kemudian disumbangkan bagi kemajuan dakwah dan kejayaan Islam-Muslimin.
Lulusan Timteng, Eropa, hingga tanah air diarahkan memeras otak-berpeluh keringat-bergerak cepat agar mampu memberikan jawaban atas setiap problematika yang dihadapi umat. Mulai dari problem kayakinan-kesehatan-budaya-pol itik-ekonomi-sains teknologi-hingga pertanian.
Kehadiran jiwa-jiwa tertarbiyah dalam setiap keadaan, susah-senang; bencana-bahagia; carut marut-damai sentosa. Bahkan jiwa-jiwa tarbiyah harus menjadi penyeimbang dari semua kondisi. Jika senang tak lupa daratan. Jika susah tak perlu keluh kesah. Saat carut-marut tak perlu makin sengkarut. Saat aman sentosa tak lup pada Allah Ta'ala.
Tarbiyah berfusngi memoles, bukan mengubah. Sebagaimana Umar yang keras dan Abu Bakar yang lebut, setelah ditarbiyah baginda Rasul tidak lantas berbalik. Umar tetap dengan sikap kerasnya, penuh prinsip, namun semua dipoles agar diarahkan semakin indah demi kebenaran. Sebagaimana Abu Bakar pun demikian.
Jadi tarbiyah bukanlah media sulap: Sim salabim semua berubah dari yang biasa jadi luarbiasa, from zero to hero, atau from koko to zoro. Sama sekali tidak. Tarbiyah adalah menggali potensi-potensi/bakat-bakat terpendam dan mengartikulasikannya dalam kehidupan.
4. Ujung Tombok.
Apapun selama di dunia ini, pasti membutuhkan uang-materi-harta. Tarbiyah mendidik jiwa-jiwa agar siap mengorbankan apa yang mampu dikorbankan. Semua demi peran memberikan sumbangsih yang mampu diberikan. Tenaga-fikiran-harta-waktu adalah hal lumrah dalam tarbiyah. Karena kelemahan umat Islam bukan hanya disebabkan rekayasa dan konspirasi musuh, tapi lebih dikarenakan jiwa-jiwa muslimnya enggan berkontribusi maksimal-optimal bagi kejayaan Islam itu sendiri.
Shunduquna juyuubuna, tidak pernah berubah menjad Shunduqunaa APBD-unaa. Karena jiwa-jiwa tertarbiyah akan siap menjadi ujung tambak, bagi roda perjalanan dakwah hingga ajal menjemput: dakwah menjadi pemenang atau kita telah banyak berkontribusi positif.
Ingat One Man One Dollar, atau iuran bulanan yang rutin dikeluarkan, hingga sumbangan sukarela untuk menjalani setiap fase-fase perjuangan.
Kesimpulan
Sahabat, betul saat sebuah adagium mengatakan, "Tarbiyah bukan segala-galanya. Tapi segala-galanya bisa berawal dari tarbiyah."
Dalam tarbiyah kita bisa:
1. Berkawan dengan orang yang multi latarbelakang. Karena tarbiyah anti fanatisme suku, golongan, almamater, hingga gelar-kedudukan-kekayaan. Jiwa paling bertakwa kepada Allah saja yang paling patut dijadikan teladan.
2. Bersaudara dengan orang yang asalnya multiinterest, multitabiat-watak, juga multidimensi. Karena tarbiyah mendidik jiwa-jiwa agar berusaha semua LILLAAH bukan Lil-Jaah (Kehormatan-kedudukan). Jika pun ada jiwa tertarbiyah yang kebetulan jadi Aleg-Bupati/ Walkot-Gubernur-Menteri,
spirit LILLAAH adalah nomor 1. Mereka akan tetap aktif dalam pembinaan
tarbiyah. Bagaimanapun posisi dan kesibukan.
3. Berjuang dalam kebersamaan, melakukan hal-hal yang logis-rasional-terukur, jauh dari utopia-euforia-atau hanya klaim-klaim dewa yang tak nyata. Kendati demikian, tetap membuka diri untuk menghargai perjuangan yang bermuara pada kejayaan umat.
Jadi hari gini salah niat dalam tarbiyah? Apa kata dunia ....!
26/3/13
***
Alkisah, ada 3 santri di sebuah pesantren pinggiran Jabar. Ketiga santri ini masyhur sebagai santri yang cerdas-cekatan-berakhlak baik-dan senantiasa menjadi pelopor dalam pengabdian kepada masyarakat.
Tipe santri pertama: Berotak brilian. Fasih berbahasa Arab. Lulusan terbaik. Juga pernah mendapatkan beasiswa ke LN. Tapi ia lebih memilih mengabdi Full di pesantren, mengajar. Ia turuti permintaan sang Kiai, "Sudah buat apa jauh-jauh mencari ilmu. Di pesantren ini saja, ilmu berlimpah. Mau cari apa, pasti ada!"
Tipe santri kedua: Berotak cerdas. Menguasai ilmu qiroah. Pandai berceramah. Hingga ia selalu diundang ke kota-kota besar. Ia turuti permintaan Kia-nya. Namun di sela-sela
hari dimana ia tidak ada jadwal mengajar, ia isi untuk mengisi pengajian di kota-kota dan menjalin silaturahmi lebih luas.
Tipe santri ketiga: Berotak cergas. Mahir berbahasa Arab. Memiliki hobi seni menyanyi. Ia turuti permintaan Kiai untuk mengabdi beberapa tahun. Hingga saat ada kesempatan belajar di luar kota hingga Luar Negeri, ia pamit.
20 Tahun kemudian, ketiga santri tersebut mencatat sejarah masing-masing. Mereka sudah berumah tangga. Semua beranak banyak. Bahkan santri kedua, dikaruniai 2 istri dan belasan anak.
Santri pertama: Gaji dari hasil mengajar sangat kecil, tidak cukup menopang kebutuhan anak-anaknya. Sang Kiai telah wafat. Akhirnya ia memilih mencari penghasilan tambahan, mulai dari menjadi sopir angkutan kota hingga berniat menjadi TKI di negara Teluk.
Santri kedua: Gaji dari pesantren jelas sangat kecil. Namun ia mampu sejahtera karena sering mengisi pengajian di kota-kota. Bahkan ia telah mendirikan pesantren, dengan jumlah santri yang cukup banyak.
Santri ketiga: Ia tak terlalu memperhitungkan gaji di pesantren. Ia lebih banyak membangun jaringan. Aktif di bidang pengkaderan dan rekrutmen santri-santri, untuk kemudian diarahkan pada satu pembinaan yang disebut tarbiyah. Karena baginya,
tarbiyah telah menjadikan dirinya sebagai orang pinggiran menjadi orang terpandang. Walau dengan kecerdasan yang masih jauh dari santri pertama.
Apa yang membuat santri ketiga lebih melejit dibanding santri pertama dan kedua? Padahal sama-sama berotak pintar dan berada dalam satu lembaga pendidikan?
Tarbiyah menjadikan santri ketiga ini, melesat hingga baru-baru ini menjadi tokoh nasional setelah ditunjuk sebagai sekjen salah satu partai. Sebelumnya ia dikenal luas khalayak dengan nasyid-nasyidnya, selain sebagai konsultan syariah sesuai basis keilmuan semasa belajar. Urusan luar negeri, tidak lagi melulu Luar Nagrek. Tapi betul-betul sudah melanglangbuana, hingga ke pelbagai belahan dunia.
***
Sahabat, banyak yang salah kaprah
ketika kita aktif dalam tarbiyah. Saya tidak akan membahas tentang sejarah tarbiyah zaman Rasul. Tapi belajar dari ketiga santri di atas, saya menemukan bahwa ketika kita memasuki gerbang pembinaan tarbiyah, maka sebenarnya kita diarahkan untuk menjadi 4 sosok berikut:
1. Ujung tombak.
Ibarat busur panah, dengan tarbiyah kita dipersiapkan untuk menjadi pribadi-pribadi yang siap dilesatkan mencapai sasaran dari universalitas dakwah. Target dari dakwah sudah jelas. Ta'rif-Tanfidz-Takwin adalah sasaran-sasaran di setiap fase tarbiyah.
Menjadi pribadi ahli ibadah-berkarakter 10 muwashofat, adalah upaya maksimal yang hendak dicapai tarbiyah. Maka bisa dipastikan, akan ada orang yang 'alim-ahli ibadah, namun ia berada di zona nyaman. Ada keengganan tak terucapkan, saat ia harus menjadi ujung tombak dari semua pengorbanan.
Dalam tarbiyah, siapapun dan apapun latarbelakang kita, maka kita harus siap menjadi prajurit sebelum menjadi komandan. Karena komandan yang otpimum, lahir dari jiwa prajurit yang maksimum.
2. Ujung Tembok.
Lazimnya sebuah tembok, tarbiyah mengarahkan kader untuk menjadi jiwa-jiwa yang indah dipandang, kuat diterjang badai, tak lekang diguyur hujan. Sehat ruhiah harus seiring dengan kesehatan fisik. Pun sebaliknya.
Karena jiwa-jiwa yang ditarbiyah, harus siap menghadapi segala keadaan dan cuaca. Hujan-panas-kemarau-dingin. Atau cuaca fitnah-bully-ghibah-caci maki. Semua harus dihadapi dengan keramahan, namun tetap tegas dan tegar sekuat tembok.
Tarbiyah sama sekali tidak mentolelir jiwa-jiwa yang ringkih-galau-lebay-banyak alasan, atau jiwa-jiwa yang kasar, pengadil (salah benar, muslim-kafir), jiwa-jiwa yang antipati apalagi suka mengeluh.
3. Ujung Tambak.
Maksud tambak di sini adalah, tarbiyah membina semua jiwa-jiwa agar mampu menemukan potensi terbaik yang dimilikinya untuk kemudian disumbangkan bagi kemajuan dakwah dan kejayaan Islam-Muslimin.
Lulusan Timteng, Eropa, hingga tanah air diarahkan memeras otak-berpeluh keringat-bergerak cepat agar mampu memberikan jawaban atas setiap problematika yang dihadapi umat. Mulai dari problem kayakinan-kesehatan-budaya-pol
Kehadiran jiwa-jiwa tertarbiyah dalam setiap keadaan, susah-senang; bencana-bahagia; carut marut-damai sentosa. Bahkan jiwa-jiwa tarbiyah harus menjadi penyeimbang dari semua kondisi. Jika senang tak lupa daratan. Jika susah tak perlu keluh kesah. Saat carut-marut tak perlu makin sengkarut. Saat aman sentosa tak lup pada Allah Ta'ala.
Tarbiyah berfusngi memoles, bukan mengubah. Sebagaimana Umar yang keras dan Abu Bakar yang lebut, setelah ditarbiyah baginda Rasul tidak lantas berbalik. Umar tetap dengan sikap kerasnya, penuh prinsip, namun semua dipoles agar diarahkan semakin indah demi kebenaran. Sebagaimana Abu Bakar pun demikian.
Jadi tarbiyah bukanlah media sulap: Sim salabim semua berubah dari yang biasa jadi luarbiasa, from zero to hero, atau from koko to zoro. Sama sekali tidak. Tarbiyah adalah menggali potensi-potensi/bakat-bakat terpendam dan mengartikulasikannya dalam kehidupan.
4. Ujung Tombok.
Apapun selama di dunia ini, pasti membutuhkan uang-materi-harta. Tarbiyah mendidik jiwa-jiwa agar siap mengorbankan apa yang mampu dikorbankan. Semua demi peran memberikan sumbangsih yang mampu diberikan. Tenaga-fikiran-harta-waktu adalah hal lumrah dalam tarbiyah. Karena kelemahan umat Islam bukan hanya disebabkan rekayasa dan konspirasi musuh, tapi lebih dikarenakan jiwa-jiwa muslimnya enggan berkontribusi maksimal-optimal bagi kejayaan Islam itu sendiri.
Shunduquna juyuubuna, tidak pernah berubah menjad Shunduqunaa APBD-unaa. Karena jiwa-jiwa tertarbiyah akan siap menjadi ujung tambak, bagi roda perjalanan dakwah hingga ajal menjemput: dakwah menjadi pemenang atau kita telah banyak berkontribusi positif.
Ingat One Man One Dollar, atau iuran bulanan yang rutin dikeluarkan, hingga sumbangan sukarela untuk menjalani setiap fase-fase perjuangan.
Kesimpulan
Sahabat, betul saat sebuah adagium mengatakan, "Tarbiyah bukan segala-galanya. Tapi segala-galanya bisa berawal dari tarbiyah."
Dalam tarbiyah kita bisa:
1. Berkawan dengan orang yang multi latarbelakang. Karena tarbiyah anti fanatisme suku, golongan, almamater, hingga gelar-kedudukan-kekayaan. Jiwa paling bertakwa kepada Allah saja yang paling patut dijadikan teladan.
2. Bersaudara dengan orang yang asalnya multiinterest, multitabiat-watak, juga multidimensi. Karena tarbiyah mendidik jiwa-jiwa agar berusaha semua LILLAAH bukan Lil-Jaah (Kehormatan-kedudukan). Jika pun ada jiwa tertarbiyah yang kebetulan jadi Aleg-Bupati/
3. Berjuang dalam kebersamaan, melakukan hal-hal yang logis-rasional-terukur, jauh dari utopia-euforia-atau hanya klaim-klaim dewa yang tak nyata. Kendati demikian, tetap membuka diri untuk menghargai perjuangan yang bermuara pada kejayaan umat.
Jadi hari gini salah niat dalam tarbiyah? Apa kata dunia ....!
26/3/13
Selasa, 19 Maret 2013
Puisi: Kalau Kita Nanti Wisuda | Akankah? | Atau?
Kawan
Kalau nanti kita wisuda
Disaksikan sekian pasang mata
Didengar sekian pasang telinga
Akankah kita bertanya
Kita mau kemana
Atau kita sudah menyimpan jawabannya
Kalau kita nanti wisuda
Disambut suka cita orang tercinta
Dielukan lidah lidah
Atau dinobatkan sebagai pahlawan
Akankah kita siap berkorban
Mengantarkan manusia manusia
Pada kebahagian mencapai masa depannya
Kalau nanti kita wisuda
Masihkah kita punya banyak waktu
Melepas kemerdekaan nurani
Yang dijeruji tirani
Masihkah kita kita akan lantang
Mengisi ruang ruang perasaan
Mengisi ruang ruang pikiran
Dengan semangat kebaikan
Atau kita sudah tak berdaya
Menganggukkan kepala
Karena kalah oleh tuntunan kehidupan
Kalau nanti kita wisuda
Akankan kita berbeda
Dengan mereka yang berstatus siswa
Dan tak mengenyam bangku sekolah
Lebih berguna
Lebih mulya
Lebih dewasa
Atau
Kita justru sama seperti mereka
Atau malah semakin gelap dibawanya
Kawan
Jangan seperti toga yang dikenakan
Sekali dipakai selamanya pengangguran
Puisi ini ditulis oleh: Taufik Amsah. Sastrawan muda yang cukup dikenal di Jawa Timur.
sumber : http://m.cyberdakwah.com/2013/03/puisi-kalau-kita-nanti-wisuda-akankah-atau/
Kalau nanti kita wisuda
Disaksikan sekian pasang mata
Didengar sekian pasang telinga
Akankah kita bertanya
Kita mau kemana
Atau kita sudah menyimpan jawabannya
Kalau kita nanti wisuda
Disambut suka cita orang tercinta
Dielukan lidah lidah
Atau dinobatkan sebagai pahlawan
Akankah kita siap berkorban
Mengantarkan manusia manusia
Pada kebahagian mencapai masa depannya
Kalau nanti kita wisuda
Masihkah kita punya banyak waktu
Melepas kemerdekaan nurani
Yang dijeruji tirani
Masihkah kita kita akan lantang
Mengisi ruang ruang perasaan
Mengisi ruang ruang pikiran
Dengan semangat kebaikan
Atau kita sudah tak berdaya
Menganggukkan kepala
Karena kalah oleh tuntunan kehidupan
Kalau nanti kita wisuda
Akankan kita berbeda
Dengan mereka yang berstatus siswa
Dan tak mengenyam bangku sekolah
Lebih berguna
Lebih mulya
Lebih dewasa
Atau
Kita justru sama seperti mereka
Atau malah semakin gelap dibawanya
Kawan
Jangan seperti toga yang dikenakan
Sekali dipakai selamanya pengangguran
Puisi ini ditulis oleh: Taufik Amsah. Sastrawan muda yang cukup dikenal di Jawa Timur.
sumber : http://m.cyberdakwah.com/2013/03/puisi-kalau-kita-nanti-wisuda-akankah-atau/
Senin, 18 Maret 2013
Menjadi Rijal di Setiap Fase Kehidupan
Alkisah, di sebuah kepulauan, terdapat sebuah negeri yang heterogen.
Negeri tersebut sangat unik. Dipimpin seorang raja yang dipilih oleh
suku-suku dan kepala adat. Namun uniknya, sang raja hanya dibatasi
berkuasa 1 tahun. Setelah 1 tahun, ia diarak -diberikan pakaian
kemegahan dari emas- dipilihkan gajah paling besar. Semua rakyat
dikumpulkan dan larut dalam tangis pilu. Mereka mengantar kepergian sang
raja, yang akan diasingkan ke sebuah pulau jauh dari pulau yang mereka
diami.
Pulau yang dikenal angker. Berisi hewan buas dan hutan
belukar yang menyeramkan. Selain ular bison, ular berbisa pun
bergentayangan. Belum lagi buaya hingga tikus-tikus hutan yang berbulu
tajam dan bergigi taring yang membuat bulu kuduk merinding. Beberapa
orang mantan raja sudah merasakan keganasan hutan. Kondisi yang membuat
banyak rakyat yang enggan menginjakkan kaki ke pulau tersebut.
Hingga suatu masa, datang giliran seorang anak muda alim untuk menerima
mandat menjadi raja. Si anak muda alim ini pun tak kuasa menolak. Ia pun
dilantik menjadi raja untuk masa bakti 1 tahun saja.
Saat
memerintah, sang raja muda ini terus berpikir, bagaimana caranya agar ia
selamat di penghujung kekuasaannya dan selamat pula hingga akhir
hayatnya. 'Cling ...! ada ide' kata raja muda alim ini.
Ia lantas membuat sayembara, isi sayembara adalah:
1. Dicari anak muda yang memiliki kecakapan desain, ilmu lingkungan, ilmu menaklukkan hewan, dan kekuatan fisik.
2. Dicari orang tua yang paling mengenal wilayah dan pulau-pulau.
3. Siap bekerja keras membangun negeri.
Berkat sayembara itu dan setelah dilakukan seleksi, terkumpullah 90
anak muda. Dengan wewenangnya, sang raja muda ini (tanpa sepengatahuan
rakyatnya) melakukan kunjungan ke pulau pembuangan yang terisolir tempat
berakhirnya mantan-mantan raja. Kunjungan dilakukan secara rutin,
berlangsung selama 1 minggu.
Bulan 1 : Raja berangkat bersama
10 orang ahli lingkungan. Mereka mengamati kondisi pulau 'pembuangan'
dan cara menaklukkan. Program dilaksanakan selama 1 minggu.
Bulan 2 : Raja membawa rombongan ahli planologi untuk memetakan wilayah pulau tersebut. Rencana kota pun dibuat.
Bulan 3 : Giliran orang-orang yang memiliki fisik kuat dibawa bersama
para penakluk hewan. Raja memerintahkan untuk menebangi pohon-pohon dan
mengisolasi hewan-hewan buas ke tempat-tempat khusus.
Bulan 4 :
Para ahli perancang bangunan mulai berdatangan. Bersama yang kuat
fisiknya, tiang pancang kota dan pondasi-pondasi dibuat.
Bulan 5
: Raja mengirim lebih banyak lagi kuli-kuli bangunan, bahan-bahan, para
petani dan ahli pembuat taman. Pada bulan ini Raja sudah mengirim
orang-orang ahli ibadah dan yang paham agama.
Bulan 6 hingga 10
: Raja fokus mengabdikan diri ke negeri asalnya. Lebih mengarah dan
terukur selain 3 minggu pengabdian yang ia lakukan. Masyarakat merasakan
pengorbanan sang raja muda.
Bulan 11 : Raja sudah melakukan
peresmian-peresmian, termasuk peresmian di pulau terisolir. Tak ada yang
mengetahui apa yang sudah dilakukan sang raja di pulau terisolir.
Bulan 12 : Para penasihat raja mulai menyiapkan acara perpisahan dengan
sang raja. Rakyat pun tak kuat menahan kesedihan. Tapi semua dituntut
mengikuti aturan yang berlaku.
Penasihat raja mengatakan, "Maafkan baginda, kami bukan tega. Tapi ini aturan. Kami harus mengirimkan Tuan ke pulau seberang."
Raja berkata, "Siap penasihat. Tidak mengapa. Saya akan patuh dengan aturan yang dibuat. Kapan dilaksanakan?"
Penasihat, "Secepatnya Tuan!"
Tepat di penghujung tahun, raja muda dibawa keliling menunggangi gajah
yang terbesar. Isak tangis semua rakyat mengiringi kepergian sang raja.
Tapi raja muda tetap tegar. Ia pun ikhlas diberlakukan seperti itu oleh
rakyatnya: dilupakan segala kebaikannya dan diasingkan ke pulau
terpencil. Dalam benak raja, 'mereka tidak tahu apa yang sudah aku
lakukan di pulau terpencil itu'.
Ya, raja muda sudah banyak
melakukan perubahan di pulau yang tadinya buas dan tempat pembuangan,
menjadi pulau yang indah, eksotik, dan penuh dengan fasilitas menarik.
Raja dan seluruh pekerja, menikmati kelezatan dari jerih payah pengorbanan dan kecerdasannya. Tanpa seorang pun mengetahuinya.
Hikmah Kisah
Sahabat, dari kisah di atas kita dapat memetik pelajaran berikut:
1. Selamat dan celakanya hidup kita, erat kaitannya dengan cara kita
membangun kapasitas diri. Hanya orang yang berjiwa besar saja, yang akan
mampu meraih puncak kesuksesan: menebar manfaat di dunia, menuai
ampunan dan surga Allah di akhirat.
2. Mengubah keadaan
ternyata tidak bisa dilakukan hanya dengan koar-koar. Ingatlah kaidah
yang mengatakan, likulli marhalah rijaaluhaa (dalam setiap fase hidup
akan ada tokoh-tokoh sentral). Rijal bukan manusia pemalas, suka tidur,
senang berdebat, atau hanya mencaci-maki keadaan. Perilaku demikian
jelas bukan bagian dari Sunnah dan Syariat Islam.
3. Amal
Jama'i bukanlah bergerombol mengerjakan satu pekerjaan. Namun setiap
individu mengerjakan sesuai spesialisasi, hingga bertemu pada satu
kesiapan bersama. Bayangkan jika kita hanya fokus pada satu program,
dengan menutup mata pada keahlian masing-masing. Bisa dipastikan kita
bukan beramal jama'i, tapi bergerombol dalam kerumunan.
4. Jika
memang tak suka dengan keadaan yang berlaku, maka sangat arif kita
mencari tempat baru dimana kita dapat mensosialisasikan program-program
kita. Tentu sangat ironis, ketika kita hanya menjadi manusia yang selalu
memburuk-burukkan keadaan di sekeliling, namun kita masih menjadi
penikmat sejati berlindung di balik 1000 dalih.
Tengoklah
sejarah, orang-orang besar adalah yang terdepan dalam amal nyata. Mari
belajar soal integritas dari sosok mujahid yang terdepan melawan
penjajah. Belajar ilmu dari ulama yang terukur keshalihan, karya nyata,
dan generasi pelanjutnya. Belajar sains teknologi, dari ilmuwan yang
sukses melahirkan produk yang telah teruji. Belajar teori-teori
peradaban dari jiwa-jiwa yang tak pernah melacurkan diri kepada
penghancur peradaban. Saat itu, kita tengah menuliskan takdir sejarah
kita, sebagai desainer kehidupan. Buktikan!
Wallahu a'lam.
18-3-2013 // By: Nandang Burhanudin
***
Sumber: http://www.pkspiyungan.org/2013/03/menjadi-rijal-di-setiap-fase-kehidupan.html
Minggu, 17 Maret 2013
Aku dan Departemen Syiar
Hari bahagia sekali,dapat kesempatan kembali mengisi
up-grading penggurus LDK Al-Ihsan, bertemu dengan muka2 calon pejuang
departemen Syiar periode 2013/2014, ah seolah tengah membayangkan kembali
ketika di lantik bersama pengurus syiar periode 2009/2010 di gedung type C
lantai 3 fak.pertanian Unsyiah.
Memori itu masih teringat kuat ketika ane diamanahi menjadi
Ketua Dept.Syiar yang saat itu memang masih minim ilmu dan pengalaman, saat itu
masih jarang ada yang berbagi tentang syiar itu apa??, artinya saat menjadi
komando syiar , ibarat berjalan di kelamnya malam tanpa bantuan cahaya tapi
harus bisa sampai di ujungnya.
Saat itu saya berazzam, insya Allah dari sini kita akan
membuat lembaran sejarah baru untuk Al-ihsan dan penggurus Syiar generasi berikutnya,
ya keyakinan itu membuat partner di Syiar semakin solid, ada Akh Safwan sbg
Sekdept dan Ukh Risma (Wakadep) di bantu
beberapa anggota syiar yang lain terus membuat goresan sejarahnya masing2.
Perjalanan Dept.Syiar periode 2009/2010 bisa dikatakan tidak
semulus jalan Banda Aceh- Meulaboh, saya mengakui banyak tantangan yang di
hadapi apalagi di titik tertentu harus berbenturan dengan ikhwah di bawah
naungan alihsan, terkadang harus bersabar tatkala departemen lain memdapat
perhatian serius dari DPH, yang membuat saya saat itu “Bandel” untuk tidak taat
dengan Qiyadah (amir), mungkin ini ujian terberat saya di Al-ihsan.Kondisi
tersebut membuat saya diantara dua pilihan tetap bertahan di Al-Ihsan atau
keluar mengikuti jejak ikhwah yang lain usai Musyawarah Pergantian Penggurus
(MPP) 2010, ya kita boleh berencana tapi Allah lah yang menentukan.
MPP 2010 benar2 kejutan luar biasa bagi saya, ternyata
Langkah ini untuk surut dari Al-ihsan berubah total 100%, ya saya di Amanahkan
menjadi Amir Al-Ihsan mengatikan seorang ikhwah yang meminta mundur ditengah
jalan dengan alasan Syar’i.
Sebuah Puisi menutup tulisan ini.
Andai waktu dapat kuputar
Fajar pagi kuhampiri dengan sejuta harapan
Rasa membuncah kian memuncak
Izinkan diri ini untuk tak surut kebelakang
Andai waktu dapat kuputar
Niatkan dengan azzam yang kuat
Derap langkah menuju
medan laga
Ingin menjadi pemenag di akhir pertempuran.
#Banda Aceh, 17 maret 2012.
Sabtu, 16 Maret 2013
Generasi Buih Air Laut
By : Rahmat Idris.
Kita adalah generasi buih. romantis menurut kita adalah bila sudah dibukukan dan di filmkan. sedangkan yang tertulis dalam sirah kita abaikan.
Kita adalah generasi buih, menghabiskan waktu mendukung si lelaki dan perempuan yang menari di atas panggung kontes factor X,Y,Z tanpa mengerti apa sebenarnya keuntungan untuk kita. berdebat semalam suntuk soal penampilan si A yang begitu mempesona, si B yang kadung tinggi suara, si C yang unik kostumnya, lalu tidur tanpa sadar meninggalkan kewajiban shalat isya.
Kita adalah generasi buih, harga bawang merah dan putih naik saja kita mencaci langit, meributkannya di forum2 diskusi, menuduh kanan kiri, namun merasa jijik dan tidak pernah menghargai petani hortikultura.
Kita adalah generasi buih, artis di idolakan bah berhala, pemain bola diagungkan bak dewa. klub-klub eropa adalah majelis-majelis ilmu sejati. mata lupa pejam hanya untuk menyaksikan performa mereka. memilih duduk di cafe-cafe hingga tengah malam, namun ketika shalat jum'at, dua ribupun enggan dimasukkan dalam celengan amal.
Kita adalah generasi buih, menangis tersedu-sedu melihat program seandainya aku menjadi, namun malah terbelalak aneh menatap serangan yahudi ke GAZA. sambil berkata, "Kenapa mereka hobi benar perang tiada habisnya?"
Kita adalah generasi buih, Ijazah adalah kehormatan, akidah bukanlah soal yang harus dibanggakan. tidak bisa baca quran tidak mengapa, tidak bisa berbahasa inggris adalah cela. lalu berharap diakhir hidup masuk syurga.
Kita adalah generasi buih, merasa merajai laut karena banyaknya, namun kenyataannya hanya buangan sisa yang selalu dihempas kepantai oleh ombak samudra.
Kita adalah generasi buih, dan selamanya buih adalah sia-sia.....
(dikutip dari status di Facebook beliau)
Kita adalah generasi buih. romantis menurut kita adalah bila sudah dibukukan dan di filmkan. sedangkan yang tertulis dalam sirah kita abaikan.
Kita adalah generasi buih, menghabiskan waktu mendukung si lelaki dan perempuan yang menari di atas panggung kontes factor X,Y,Z tanpa mengerti apa sebenarnya keuntungan untuk kita. berdebat semalam suntuk soal penampilan si A yang begitu mempesona, si B yang kadung tinggi suara, si C yang unik kostumnya, lalu tidur tanpa sadar meninggalkan kewajiban shalat isya.
Kita adalah generasi buih, harga bawang merah dan putih naik saja kita mencaci langit, meributkannya di forum2 diskusi, menuduh kanan kiri, namun merasa jijik dan tidak pernah menghargai petani hortikultura.
Kita adalah generasi buih, artis di idolakan bah berhala, pemain bola diagungkan bak dewa. klub-klub eropa adalah majelis-majelis ilmu sejati. mata lupa pejam hanya untuk menyaksikan performa mereka. memilih duduk di cafe-cafe hingga tengah malam, namun ketika shalat jum'at, dua ribupun enggan dimasukkan dalam celengan amal.
Kita adalah generasi buih, menangis tersedu-sedu melihat program seandainya aku menjadi, namun malah terbelalak aneh menatap serangan yahudi ke GAZA. sambil berkata, "Kenapa mereka hobi benar perang tiada habisnya?"
Kita adalah generasi buih, Ijazah adalah kehormatan, akidah bukanlah soal yang harus dibanggakan. tidak bisa baca quran tidak mengapa, tidak bisa berbahasa inggris adalah cela. lalu berharap diakhir hidup masuk syurga.
Kita adalah generasi buih, merasa merajai laut karena banyaknya, namun kenyataannya hanya buangan sisa yang selalu dihempas kepantai oleh ombak samudra.
Kita adalah generasi buih, dan selamanya buih adalah sia-sia.....
(dikutip dari status di Facebook beliau)
Selasa, 12 Maret 2013
Solidnya Massa dan Media PKS
Kerja Mesin politik PKS memang sudah tidak ada yang meragukan lagi. PKS terkenal dengan Partai yang mempunyai basis massa yg solid, baik di tataran akar rumput, Kader non struktur dan Kader yang menjabat di struktur PKS dari tingkat pusat hingga tingkat ranting. Kesolidan mereka membuat orang-orang yg ada diluar lingkarannya salut dan simpati kepada PKS baik secara kepartaian atau secara personal anggota partai.
Pasca pidato pertama Presiden PKS yang baru Anis Matta dan kunjungan Presiden PKS tersebut ke beberapa daerah pasca didaulat menjadi presiden PKS membuat para kader semakin mengencangkan ikatan persaudaraannya. Dengan semangat pidato yang menggelora dan memberi motivasi kepada para kader untuk bekerja lebih baik dan produktif. Para kaderpun bak tersihir oleh kata-kata sang Presiden, bahkan teman saya yang sudah ngefans sama PKS dari SMA langsung mencari link taujih (pidato) Presiden PKS tersebut dan bahkan kerap kali di putar menggantikan nyanyian islami yang biasa ia dengarkan.
Fenomena kekaguman bukan hanya dirasakan oleh kader internal. Tapi oleh orang orang lain (nonkader/simpatisan) yang bahkan sampai rela berdesakan untuk melihat pidato presiden PKS secara langsung didaerah tertentu pasca ditunjuknya Anis Matta menggantikan Luthfi Hasan Ishaq yg di sered oleh KPK karena diduga terlibat kasus impor daging sapi.
Pada Pilgub DKI, Pilgub Jawa Barat, dan Pilgub Sumatera Utara pun, mesin politik mereka aktif membuat trobosan kampanye melalui media, mulai dari youtube, twitter, facebook. mereka rela tapa dibayar mensosialisaikan jagoanya yang akan bertarung dalam pilgub. Tua, Muda, Ustad dan Kader lainnya bersatu tanpa ada jarak siapa dia, tanpa ada sungkan dan tanpa ada ancaman semuanya mengalir mengikuti perintah atasannya dai pusat hingga ranting.
Dalam hal media , yang terlihat berbeda dari yang lain adalah lewat youtube dan twitter. Dengan munculnya video unggahan nyentrik, menarik dan mengikuti perkembangan kekinian versi PKS (harlem shake, gangnam style dan kawan kawannya) membuat orang lain makin penasaran kepada PKS. Pada media sosial twitterpun hastag mereka mampu menembus tranding topik indonesia bahkan dunia. dalm menyemarakkan hastag mereka tentunya tidak hanya mengandalkan kader di satu provinsi tapi dilintas provinsi membantu provinsi yang sedang berjuang memenangkan pemilihan gubernur.
Partai lain mungkin belum ada yg seperti PKS dalm hal ini. Sehingga ada ungkapan jangan berani berani mengangkat polling dan menyerang PKS lewat media online karena divisi media mereka meskipun tidak resmi siap memberikan sinyal kepada kader dan simpatisan seantero negeri untuk meyerang balik atau hanya memberi klarifikasi meskipun belum sempat dimuat dimedia nasional. Karena PKS tidak seperti partai lain yg mempunyai media nasional untuk membuat opini atau menyerang lawan sehingga gerakan medianya sangat lama agar bisa muncul sebagai berita nasional. Meski bermodalkan akun dan domain (media) yg belum menasional tapi gerakannya lewat media layak diberi standing offision, tidak lagi hanya sebatas acungan jempol.
By : Heri Laregrage (Kompasiana)
http://politik.kompasiana.com/2013/03/07/media-pks-534932.html
Sabtu, 09 Maret 2013
At Tsabat Fid Da’wah (Teguh Di Jalan Dakwah)
Kami
selalu membangun dan berkemauan
Kami pasti akan mati tapi kami pantang hina
Kami punya tangan dan mau bekerja
Kami punya hari esok dan harapan
Dan Kami selamanya orang merdeka dan pantang menyerah
Tsabat bermakna teguh pendirian dan tegar dalam menghadapi ujian serta cobaan di jalan kebenaran. Dan tsabat bagai benteng bagi seorang kader. Ia sebagai daya tahan dan pantang menyerah. Ketahanan diri atas berbagai hal yang merintanginya. Hingga ia mendapatkan cita-citanya atau mati dalam keadaan mulia karena tetap konsisten di jalan-Nya.
Dalam Majmu’atur Rasail, Imam Hasan Al Banna menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan tsabat adalah orang yang senantiasa bekerja dan berjuang di jalan dakwah yang amat panjang sampai ia kembali kepada Allah SWT. dengan kemenangan, baik kemenangan di dunia ataupun mati syahid.
“Di antara orang-orang mukmin itu ada orang-orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allah SWT. maka di antara mereka ada yang gugur. Dan di antara mereka ada pula yang menunggu-nunggu dan mereka sedikitpun tidak merubah janjinya”. (Al- Ahzab: 23).
Sesungguhnya jalan hidup yang kita lalui ini adalah jalan yang tidak sederhana. Jauh, panjang dan penuh liku apalagi jalan dakwah yang kita tempuh saat ini. Ia jalan yang panjang dan ditaburi dengan halangan dan rintangan, rayuan dan godaan. Karena itu dakwah ini sangat memerlukan orang-orang yang memiliki muwashafat ‘aliyah, yakni orang-orang yang berjiwa ikhlas, itqan (profesional) dalam bekerja, berjuang dan beramal serta orang-orang yang tahan akan berbagai tekanan. Dengan modal itu mereka sampai pada harapan dan cita-citanya.
“Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan. Akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir yang memerlukan pertolongan dan orang-orang yang meminta-minta dan memerdekakan hamba sahaya, mendirikan shalat dan menunaikan zakat dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji dan orang-orang yang bersabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar imannya dan mereka itulah orang-orang yang bertaqwa”. (Al Baqarah: 177).
Disamping itu, dakwah ini juga senantiasa menghadapi musuh-musuhnya di setiap masa dan zaman sesuai dengan kondisinya masing-masing. Tentu mereka sangat tidak menginginkan dakwah ini tumbuh dan berkembang. Sehingga mereka berupaya untuk memangkas pertumbuhan dakwah atau mematikannya. Sebab dengan tumbuhnya dakwah akan bertabrakan dengan kepentingan hidup mereka. Oleh karena itu dakwah ini membutuhkan pengembannya yang berjiwa teguh menghadapi perjalanan yang panjang dan penuh lika-liku serta musuh-musuhnya. Merekalah orang-orang yang mempunyai ketahanan daya juang yang kokoh.
Kita bisa melihat ketsabatan Rasulullah SAW. Ketika beliau mendapatkan tawaran menggiurkan untuk meninggalkan dakwah Islam tentunya dengan imbalan. Imbalan kekuasaan, kekayaan atau wanita. Tetapi dengan tegar beliau menampik dan berkata dengan ungkapan penuh keyakinannya kepada Allah SWT.
‘Demi Allah, wahai pamanku seandainya mereka bisa meletakkan matahari di tangan kananku dan rembulan di tangan kiriku agar aku meninggalkan dakwah ini. Niscaya tidak akan aku tinggalkan urusan ini sampai Allah SWT. memenangakan dakwah ini atau semuanya akan binasa’.
Demikian pula para sahabatnya ketika menjumpai ujian dan cobaan dakwah, mereka tidak pernah bergeser sedikitpun langkah dan jiwanya. Malah semakin mantap komitmen mereka pada jalan Islam ini. Ka’ab bin Malik pernah ditawari Raja Ghassan untuk menetap di wilayahnya dan mendapatkan kedudukan yang menggiurkan. Tapi semua itu ditolaknya sebab hal itu justru akan menimbulkan mudharat yang jauh lebih besar lagi.
Kita dapat juga saksikan peristiwa yang menimpa umat Islam pada masa Khalifah Al Mu’tsahim Billah tentang fitnah dan ujian ‘khalqul Qur’an’. Imam Ahmad bin Hambal sangat tegar menghadapi ujian tersebut dengan tegas ia menyatakan bahwa Al Qur’an adalah kalamullah, bukan makhluk sebagaimana yang didoktrin oleh Khalifah. Dengan tuduhan sesat dan menyesatkan kaum muslimin Imam Ahmad bin Hambal menerima penjara dan hukum pukulan dan cambukan. Dengan ketsabatan beliau kaum muslimin terselamatkan aqidah mereka dari kesesatan.
Demikian pula kita merasakan ketegaran Imam Hasan Al Banna dalam menghadapi tribulasi dakwahnya. Ia terus bersabar dan bertahan. Meski akhirnya ia pun menemui Rabbnya dengan berondongan senajata api. Dan Sayyid Quthb yang menerima eksekusi mati dengan jiwa yang lapang lantaran aqidah dan menguatkan sikapnya berhadapan dengan tiang gantungan. Beliau dengan yakin menyatakan kepada saudara perempuannya, ‘Ya ukhtil karimah insya Allah naltaqi amama babil jannah. (Duhai saudaraku semoga kita bisa berjumpa di depan pintu surga kelak’).
Namun memang tidak sedikit kader yang kendur daya tahannya. Ada yang berguguran karena tekanan materi. Tergoda oleh rayuan harta benda. Setelah mendapatkan mobil mewah, rumah megah dan sejumlah uang yang dimasukan ke dalam rekeningnya. Membuat semangat dakwahnya luntur. Bahkan ia akhirnya sangat haus dan rakus pada harta benda duniawi yang fana itu. Dan ia jadikan harta benda itu sebagai tuhanya. Ada pula yang rontok daya juangnya karena tekanan keluarga. Keluarganya menghendaki sikap hidup yang berbeda dengan nilai dakwah. Keluarganya ingin sebagai keluarga kebanyakan masyarakat yang sekuler. Dengan gaya dan stylenya, sikap dan perilakunya Sehingga ia pun mengikuti selera keluarganya. Ada juga yang tidak tahan karena tekanan politik yang sangat keras. Teror, ancaman, kekerasan, hukuman dan penjara selalu menghantui dirinya sehingga ia tidak tahan kemudian ia pun meninggalkan jalan dakwah ini.
Oleh karena itu sikap tsabat mesti berlandaskan keistiqamahan pada petunjuk Allah SWT. (Al Istiqamah alal Huda). Berpegang teguh pada ketaqwaan dan kebenaran hakiki, tidak mudah terbujuk oleh bisikan nafsu rendah dirinya sekalipun. Sehingga diri kukuh untuk memegang janji dan komitmen pada nilai-nilai kesucian. Ia tidak memiliki keinginan sedikit dan sekejap pun untuk menyimpang lalu mengikuti kecenderungan hina dan tipu muslihat setan durjana. Dan sikap ini harus terus diri’ayah dengan taujihat dan tarbawiyah sehingga tetap bersemayam dalam sanubari yang paling dalam. Dengan bekalan itu seorang kader dapat bertahan berada di jalan dakwah ini.
Melalui sikap teguh ini perjalanan panjang menjadi pendek. Perjalanan yang penuh onak dan duri tidak menjadi hambatan untuk meneruskan langkah-langkah panjangnya. Bahkan ia dapat melihat urgensinya sikap tsabat dalam dakwah. Adapun urgensi tsabat dalam mengemban amanah dakwah ini diantaranya:
1. Dalalah salamatil Manhaj (Bukti jalan hidup yang benar)
Jalan hidup ini sangat beragam. Ada jalan yang baik ada pula yang buruk. ada yang menyenangkan ada pula yang menyusahkan. Dan sikap tsabat menjadi bukti siapa-siapa yang benar jalan hidupnya. Mereka berani menghadapi jalan hidup bagaimanapun selama jalan itu menghantarkan pada kemuliaan meski harus merasakan kepahitan atau kesusahan.
Sikap tsabat ini melahirkan keberanian menghadapi realita hidup. Ia tidak cengeng dengan beragam persoalan. Malah ia mampu mengendalikan permasalahan. Amatlah pantas perintah Allah SWT. pada orang beriman tatkala menghadapi musuh agar mengencangkan jiwa yang tegar dan konsisten pada keyakinanannya.
“Hai orang-orang yang beriman apabila kamu menghadapi satu pasukan maka berteguh hatilah kamu dan sebutlah nama Allah sebanyak-banyaknya agar kamu beruntung”. (Al-Anfal: 45).
Dengan demikian mereka yang tsabat dalam jalan dakwah ini menjadi pilihan hidupnya. lantaran ia tahu dan berani menerima kenyataan yang memang harus ia alami.
Pujangga termasyhur, Al Buhturi dalam baris syairnya ia mengungkapkan bahwa jiwa yang berani hidup dengan menghadapi resiko apapun dan tetap tegar berdiri di atas pijkannya adalah ‘nafsun tudhi’u wa himmatun tatawaqqadu, (jiwa yang menerangi dan cita-cita yang menyala-nyala’). Sebab jiwa yang semacam itu menjadi bukti bahwa ia benar dalam mengarungi bahtera hidupnya.
2. Mir’atus Syakhshiyatil Mar’i (Cermin kepribadian seseorang)
Sikap tsabat membuat pemiliknya menjadi tenang. Dan ketenangan hati menimbulkan kepercayaan. Kepercayaan menjadi modal utama dalam berinteraksi dengan banyak kalangan. Karena itu sikap tsabat menjadi cermin kepribadian seorang muslim. Dan cermin itu berada pada bagaimana sikap dan jiwa seorang mukmin dalam menjalani arah hidupnya. juga bagaimana ia menyelesaikan masalah-masalahnya.
Semua orang sangat membutuhkan cermin untuk memperbaiki dirinya. Dari cermin kita dapat mengarahkan sikap salah kepada sikap yang benar. Dan cermin amat membantu untuk mempermudah menemukan kelemahan diri sehingga dengan cepat mudah diperbaikinya. Amatlah beruntung bagi diri kita masih banyak orang yang menjual cermin. Agar kita semakin mudah mematut diri. Karenanya, Rasulullah SAW. Mendudukan peran seorang mukmin bagi cermin bagi mukmin lainnya.
Dan sikap tsabat adalah cermin bagi setiap mukmin. Karena tsabat dapat menjadi mesin penggerak jiwa-jiwa yang rapuh. Ia dapat mengokohkannya. Tidak sedikit orang yang jiwa mati hidup kembali lantaran mendapatkan energi dari ketsabatan seseorang. Ia bagai inspirasi yang mengalirkan udara segar terhadap jiwa yang limbung menghadapi segala kepahitan. Seorang ulama menginagtkan kita, ‘berapa banyak orang yang jiwa mati menjadi hidup dan jiwa yang hidup menjadi layu karena daya tahan yang dimiliki seseorang’. Dan disitulah fungsi dan peran tsabat.
3. Dharibatut Thariq ilal Majdi war Rif’ah (upaya untuk menuju kesuksesan dan kejayaan)
Setiap kesuksesan dan kejayaan memerlukan sikap tsabat. Istiqamah dalam mengarungi aneka ragam bentuk kehidupan. Tentu tidak akan ada kesuksesan dan kejayaan secara cuma-cuma. Ia hanya akan dapat dicapai manakala kita memiliki pra syaratnya. Yakni sikap tetap istiqamah menjalani hidup ini. Tidak neko-neko. Seorang murabbi mengingatkan binaannya dengan mengatakan, ‘Peliharalah keteguhan hatimu, karena ia bentengmu yang sesungguhnya. Barang siapa yang memperkokoh bentengnya niscaya ia tidak akan goyah oleh badai sekencang apapun. Dan ini menjadi pengamanmu’.
Begitulah nasehat banyak ulama kita yang mengingatkan agar kita berupaya secara maksimal mengokohkan kekuatan hati dan keteguhan jiwa agar mendapatkan cita-cita kita.
Juga terhadap jalan dakwah. Kegemilangan jalan suci ini hanya dapat diraih dari sikap konsisten terhadap prinsip dakwah ini. Yang tidak mudah bergeser karena tarikan-tarikan kepentingan yang mengarah pada kecenderungan duniawiyah. Tanpa sikap tsabat, pelaku dakwah ini akan terseret pada putaran kehancuran dan kerugian dunia dan akhirat.
“Dan sesungguhnya mereka hampir memalingkan kamu dari apa yang telah Kami wahyukan kepadamu agar kamu membuat yang lain secara bohong terhadap Kami. Dan kalau sudah begitu tentulah mereka mengambil kamu jadi sahabat yang setia. Dan kalau Kami tidak memperkuat hatimu niscaya kamu hampir-hampir condong sedikit kepada mereka. Kalau terjadi demikian benar-benarlah Kami akan rasakan kepadamu siksaan berlipat ganda di dunia ini dan begitu pula siksaan berlipat pula sesudah mati dan kamu tidak akan mendapat seorang penolongpun terhadap Kami”. (Al-Isra’: 73 – 75).
Sikap ini menjadi daya tahan terhadap bantingan apapun dan dari sanalah ia mencapai kejayaannya. Sebagaimana yang diingatkan Rasulullah SAW. pada Khabab bin Al ‘Arts agar tetap bersabar dan berjiwa tegar menghadapi ujian dakwah ini bukan dengan sikap yang tergesa-gesa. Apalagi dengan sikap yang menginginkan jalan dakwah ini tanpa hambatan dan sumbatan.
4. Thariqun litahqiqil Ahdaf (Jalan untuk mencapai sasaran)
Untuk mencapai sasaran hidup yang dikehendaki tidak ada jalan lain kecuali dengan bermodal tsabat. Teguh meniti jalan yang sedang dilaluinya. Meski perlahan-lahan. ‘alon-alon asal kelakon’. Tidak tertarik untuk zig-zag sedikit pun atau sesekali. Melainkan mereka lakukan terus-menerus meniti jalannya dengan sikap tetap istiqamah. Bahkan dalam dunia fabel dikisahkan kura-kura dapat mengalahkan kancil mencapai suatu tempat. Kura-kura meski jalan pelan-pelan namun akhirnya menghantarkan dirinya pada tempat yang dituju.
Imam ‘Athaillah As Sakandary menasehatkan muridnya untuk selalu tekun dalam berbuat agar meraih harapannya dan tidak cepat lelah atau putus asa untuk mendapatkan hasilnya. ‘Barang siapa yang menggali sumur lalu berpindah pada tempat yang lain untuk menggali lagi dan seterusnya berpindah lagi maka selamanya ia tidak akan menemukan air dari lobang yang ia gali. Tapi bila kamu telah menggali lobang galilah terus hingga kamu dapatkan air darinya meski amat melelahkan’ (Kitab Tajul ‘Arus). Karenanya ketekunan dan ketelatenan menjdi alat bantu untuk mencapai cita-cita dan harapan yang dikehendakinya. Dan kedua hal itu merupakan pancaran sikap tsabat seseorang.
Tsabat meliputi beberapa aspek yakni:
Pertama, Tsabat Ala dinillah, teguh terhadap agama Allah SWT.
Keteguhan pada masalah ini dengan tidak menanggalkan agama ini dari dirinya walaupun kematian menjadi ancamannya. Sebagaimana wasiat yang selalu dikumandangkan oleh Khatib jum’at agar senantiasa menjaga keimanan dan ketaqwaan sehingga mati dalam keadaan muslim. Ini pula yang menjadi wasiat para Nabi kepada keturunannya.
“Dan Ibrahim telah mewasiatkan ucapan itu kepada anak-anaknya. Demikian pula Ya’kub. ‘Hai anak-anakku, sesungguhnya Allah telah memilih agama ini bagimu. Maka janganlah kamu mati kecuali dalam memeluk agama Islam”. (Al-Baqarah: 132).
Wasiat ini untuk menjadi warning pada kaum muslimin agar tetap memelihara imannya. Jangan mudah tergiur oleh kesenangan dunia lalu mengganti keyakinannya dengan yang lain. Menjual agamanya dengan harga mie instan atau sembako. Atau menukar prinsip hidupnya dengan kemolekan tubuh wanita. Atau ia mau mengganti aqidahnya dengan lowongan kerja dan kariernya. Na’udzu billahi min dzalik.
Kedua, Tsabat Alal Iltizam bidinillah, Tetap komitmen pada ajaran Allah SWT. baik dalam ketaatan maupun saat harus menerima kenyataan hidup. Ia tidak mengeluh atas apa yang menimpa dirinya. Ia tegar menghadapinya. Bangunan komitmennya tidak pernah pudar oleh kenyataan pahit yang dirasakannya. Keluhan dan penyesalan bukanlah solusi. Malah menambah beban hidup. Oleh karena itu keteguhan dan kesabaran menjadi modal untuk menyikapi seluruh permasalahannya. Rasulullah SAW. Bersabda: ‘As Shabir fihim ala dinihi kal qabidh alal jumari’.
Mereka yang menjaga komitmennya pada ajaran Allah senantiasa memandang bahwa apa saja yang diberikan-Nya adalah sesuatu yang baik bagi dirinya. Persepsi ini tidak akan membuat goyah menghadapi pengamalan pahit segetir apapun. Dan sangat mungkin merubahnya menjadi kenangan manis yang patut diabadikan dalam kumpulan album kehidupannya. Sebab segala pengalaman pahit bila mampu diatasi dengan sikap tegar maka ia menjadi bahan nostalgia yang amat mahal.
Ketiga, Tsabat Ala Mabda’ id Da’wah, teguh pada prinsip dakwah yang menjadi rambu-rambu dalam memberikan khidmatnya pada tugas agung ini. Memprioritaskan dakwah atas aktivitas lainnya sehingga dapat memberikan kontribusinya di jalan ini. Tanpa kenal lelah dan henti. Ia selalu terdepan pada pembelaan dakwah. Walau harus menderita karena sikapnya. Ketenangan dan kegusaran hatinya selalu dikaitkan dengan nasib dakwah. Ia tidak akan merasa nyaman bila dakwah dalam ancaman. Karena itu ia berupaya untuk selalu disiplin pada prinsip dakwah ini. Bergeser dari prinsip ini berakibat fatal bagi dakwah dan masa depan umat.
Perhatikanlah peristiwa Uhud, Bir Ma’unah dan lainnya. Peristiwa yang amat memilukan dalam sejarah dakwah tersebut diantaranya disebabkan oleh ketidak disiplinan kader pada prinsip dan rambu dakwah.
Izzatu Junudid Da’wah (harga diri seorang kader dakwah)
Saat ini kita memasuki era di mana tantangan dan peluang sama-sama terbuka. Dapat binasa lantaran tidak tahan menghadapi tantangan atau ia berjaya karena mampu membuka pintu peluang seluas-luasnya. Karena itu kita dituntut untuk bersikap tsabat dalam kondisi dan situasi apapun. Senang maupun susah, sempit ataupun lapang. Tidak pernah tergoda oleh bisikan-bisikan kemewahan dan kegemerlapan lalu tertarik padanya dan lari dari jalan dakwah.
Tsabat tidak mengenal waktu dan tempat, dimana pun dan kapan pun. Kita tetap harus mengusung misi dan visi dakwah kita yang suci ini. Untuk menyelamatkan umat manusia dari kehinaan dan kemudharatan. Dengan jiwa tsabat ini kader dakwah memiliki harga diri di mata Allah SWT. maupun di mata musuh-musuhnya. Melalui sikap ini seorang kader lebih istimewa dari pada kebanyakan orang. Dan ia menjadi citra yang tak ternilai harganya.
Imam Hasan Al Banna menegaskan, ‘janganlah kamu merasa kecil diri, lalu kamu samakan dirimu dengan orang lain. Atau kamu tempuh dalam dakwah ini jalan yang bukan jalan kaum mukminin. Atau kamu bandingkan dakwahmu yang cahayanya diambil dari cahaya Allah dan manhajnya diserap dari sunnah Rasul-Nya dengan dakwah-dakwah lainnya yang terbentuk oleh berbagai kepentingan lalu bubar begitu saja dengan berlalunya waktu dan terjadinya berbagai peristiwa. Kuncinya adalah Tsabat dalam jalan dakwah ini’. Kalau begitu bagaimana bangunan tsabat yang kita miliki?.
Wallahu ‘alam bishshawwab.
“Duhai pemilik hati, wahai pembolak balik jiwa, teguhkanlah hati dan jiwa kami untuk senantiasa berpegang teguh pada agama-Mu dan ketaatan di jalan-Mu”.
http://www.al-ikhwan.net
Kami pasti akan mati tapi kami pantang hina
Kami punya tangan dan mau bekerja
Kami punya hari esok dan harapan
Dan Kami selamanya orang merdeka dan pantang menyerah
Tsabat bermakna teguh pendirian dan tegar dalam menghadapi ujian serta cobaan di jalan kebenaran. Dan tsabat bagai benteng bagi seorang kader. Ia sebagai daya tahan dan pantang menyerah. Ketahanan diri atas berbagai hal yang merintanginya. Hingga ia mendapatkan cita-citanya atau mati dalam keadaan mulia karena tetap konsisten di jalan-Nya.
Dalam Majmu’atur Rasail, Imam Hasan Al Banna menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan tsabat adalah orang yang senantiasa bekerja dan berjuang di jalan dakwah yang amat panjang sampai ia kembali kepada Allah SWT. dengan kemenangan, baik kemenangan di dunia ataupun mati syahid.
“Di antara orang-orang mukmin itu ada orang-orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allah SWT. maka di antara mereka ada yang gugur. Dan di antara mereka ada pula yang menunggu-nunggu dan mereka sedikitpun tidak merubah janjinya”. (Al- Ahzab: 23).
Sesungguhnya jalan hidup yang kita lalui ini adalah jalan yang tidak sederhana. Jauh, panjang dan penuh liku apalagi jalan dakwah yang kita tempuh saat ini. Ia jalan yang panjang dan ditaburi dengan halangan dan rintangan, rayuan dan godaan. Karena itu dakwah ini sangat memerlukan orang-orang yang memiliki muwashafat ‘aliyah, yakni orang-orang yang berjiwa ikhlas, itqan (profesional) dalam bekerja, berjuang dan beramal serta orang-orang yang tahan akan berbagai tekanan. Dengan modal itu mereka sampai pada harapan dan cita-citanya.
“Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan. Akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir yang memerlukan pertolongan dan orang-orang yang meminta-minta dan memerdekakan hamba sahaya, mendirikan shalat dan menunaikan zakat dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji dan orang-orang yang bersabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar imannya dan mereka itulah orang-orang yang bertaqwa”. (Al Baqarah: 177).
Disamping itu, dakwah ini juga senantiasa menghadapi musuh-musuhnya di setiap masa dan zaman sesuai dengan kondisinya masing-masing. Tentu mereka sangat tidak menginginkan dakwah ini tumbuh dan berkembang. Sehingga mereka berupaya untuk memangkas pertumbuhan dakwah atau mematikannya. Sebab dengan tumbuhnya dakwah akan bertabrakan dengan kepentingan hidup mereka. Oleh karena itu dakwah ini membutuhkan pengembannya yang berjiwa teguh menghadapi perjalanan yang panjang dan penuh lika-liku serta musuh-musuhnya. Merekalah orang-orang yang mempunyai ketahanan daya juang yang kokoh.
Kita bisa melihat ketsabatan Rasulullah SAW. Ketika beliau mendapatkan tawaran menggiurkan untuk meninggalkan dakwah Islam tentunya dengan imbalan. Imbalan kekuasaan, kekayaan atau wanita. Tetapi dengan tegar beliau menampik dan berkata dengan ungkapan penuh keyakinannya kepada Allah SWT.
‘Demi Allah, wahai pamanku seandainya mereka bisa meletakkan matahari di tangan kananku dan rembulan di tangan kiriku agar aku meninggalkan dakwah ini. Niscaya tidak akan aku tinggalkan urusan ini sampai Allah SWT. memenangakan dakwah ini atau semuanya akan binasa’.
Demikian pula para sahabatnya ketika menjumpai ujian dan cobaan dakwah, mereka tidak pernah bergeser sedikitpun langkah dan jiwanya. Malah semakin mantap komitmen mereka pada jalan Islam ini. Ka’ab bin Malik pernah ditawari Raja Ghassan untuk menetap di wilayahnya dan mendapatkan kedudukan yang menggiurkan. Tapi semua itu ditolaknya sebab hal itu justru akan menimbulkan mudharat yang jauh lebih besar lagi.
Kita dapat juga saksikan peristiwa yang menimpa umat Islam pada masa Khalifah Al Mu’tsahim Billah tentang fitnah dan ujian ‘khalqul Qur’an’. Imam Ahmad bin Hambal sangat tegar menghadapi ujian tersebut dengan tegas ia menyatakan bahwa Al Qur’an adalah kalamullah, bukan makhluk sebagaimana yang didoktrin oleh Khalifah. Dengan tuduhan sesat dan menyesatkan kaum muslimin Imam Ahmad bin Hambal menerima penjara dan hukum pukulan dan cambukan. Dengan ketsabatan beliau kaum muslimin terselamatkan aqidah mereka dari kesesatan.
Demikian pula kita merasakan ketegaran Imam Hasan Al Banna dalam menghadapi tribulasi dakwahnya. Ia terus bersabar dan bertahan. Meski akhirnya ia pun menemui Rabbnya dengan berondongan senajata api. Dan Sayyid Quthb yang menerima eksekusi mati dengan jiwa yang lapang lantaran aqidah dan menguatkan sikapnya berhadapan dengan tiang gantungan. Beliau dengan yakin menyatakan kepada saudara perempuannya, ‘Ya ukhtil karimah insya Allah naltaqi amama babil jannah. (Duhai saudaraku semoga kita bisa berjumpa di depan pintu surga kelak’).
Namun memang tidak sedikit kader yang kendur daya tahannya. Ada yang berguguran karena tekanan materi. Tergoda oleh rayuan harta benda. Setelah mendapatkan mobil mewah, rumah megah dan sejumlah uang yang dimasukan ke dalam rekeningnya. Membuat semangat dakwahnya luntur. Bahkan ia akhirnya sangat haus dan rakus pada harta benda duniawi yang fana itu. Dan ia jadikan harta benda itu sebagai tuhanya. Ada pula yang rontok daya juangnya karena tekanan keluarga. Keluarganya menghendaki sikap hidup yang berbeda dengan nilai dakwah. Keluarganya ingin sebagai keluarga kebanyakan masyarakat yang sekuler. Dengan gaya dan stylenya, sikap dan perilakunya Sehingga ia pun mengikuti selera keluarganya. Ada juga yang tidak tahan karena tekanan politik yang sangat keras. Teror, ancaman, kekerasan, hukuman dan penjara selalu menghantui dirinya sehingga ia tidak tahan kemudian ia pun meninggalkan jalan dakwah ini.
Oleh karena itu sikap tsabat mesti berlandaskan keistiqamahan pada petunjuk Allah SWT. (Al Istiqamah alal Huda). Berpegang teguh pada ketaqwaan dan kebenaran hakiki, tidak mudah terbujuk oleh bisikan nafsu rendah dirinya sekalipun. Sehingga diri kukuh untuk memegang janji dan komitmen pada nilai-nilai kesucian. Ia tidak memiliki keinginan sedikit dan sekejap pun untuk menyimpang lalu mengikuti kecenderungan hina dan tipu muslihat setan durjana. Dan sikap ini harus terus diri’ayah dengan taujihat dan tarbawiyah sehingga tetap bersemayam dalam sanubari yang paling dalam. Dengan bekalan itu seorang kader dapat bertahan berada di jalan dakwah ini.
Melalui sikap teguh ini perjalanan panjang menjadi pendek. Perjalanan yang penuh onak dan duri tidak menjadi hambatan untuk meneruskan langkah-langkah panjangnya. Bahkan ia dapat melihat urgensinya sikap tsabat dalam dakwah. Adapun urgensi tsabat dalam mengemban amanah dakwah ini diantaranya:
1. Dalalah salamatil Manhaj (Bukti jalan hidup yang benar)
Jalan hidup ini sangat beragam. Ada jalan yang baik ada pula yang buruk. ada yang menyenangkan ada pula yang menyusahkan. Dan sikap tsabat menjadi bukti siapa-siapa yang benar jalan hidupnya. Mereka berani menghadapi jalan hidup bagaimanapun selama jalan itu menghantarkan pada kemuliaan meski harus merasakan kepahitan atau kesusahan.
Sikap tsabat ini melahirkan keberanian menghadapi realita hidup. Ia tidak cengeng dengan beragam persoalan. Malah ia mampu mengendalikan permasalahan. Amatlah pantas perintah Allah SWT. pada orang beriman tatkala menghadapi musuh agar mengencangkan jiwa yang tegar dan konsisten pada keyakinanannya.
“Hai orang-orang yang beriman apabila kamu menghadapi satu pasukan maka berteguh hatilah kamu dan sebutlah nama Allah sebanyak-banyaknya agar kamu beruntung”. (Al-Anfal: 45).
Dengan demikian mereka yang tsabat dalam jalan dakwah ini menjadi pilihan hidupnya. lantaran ia tahu dan berani menerima kenyataan yang memang harus ia alami.
Pujangga termasyhur, Al Buhturi dalam baris syairnya ia mengungkapkan bahwa jiwa yang berani hidup dengan menghadapi resiko apapun dan tetap tegar berdiri di atas pijkannya adalah ‘nafsun tudhi’u wa himmatun tatawaqqadu, (jiwa yang menerangi dan cita-cita yang menyala-nyala’). Sebab jiwa yang semacam itu menjadi bukti bahwa ia benar dalam mengarungi bahtera hidupnya.
2. Mir’atus Syakhshiyatil Mar’i (Cermin kepribadian seseorang)
Sikap tsabat membuat pemiliknya menjadi tenang. Dan ketenangan hati menimbulkan kepercayaan. Kepercayaan menjadi modal utama dalam berinteraksi dengan banyak kalangan. Karena itu sikap tsabat menjadi cermin kepribadian seorang muslim. Dan cermin itu berada pada bagaimana sikap dan jiwa seorang mukmin dalam menjalani arah hidupnya. juga bagaimana ia menyelesaikan masalah-masalahnya.
Semua orang sangat membutuhkan cermin untuk memperbaiki dirinya. Dari cermin kita dapat mengarahkan sikap salah kepada sikap yang benar. Dan cermin amat membantu untuk mempermudah menemukan kelemahan diri sehingga dengan cepat mudah diperbaikinya. Amatlah beruntung bagi diri kita masih banyak orang yang menjual cermin. Agar kita semakin mudah mematut diri. Karenanya, Rasulullah SAW. Mendudukan peran seorang mukmin bagi cermin bagi mukmin lainnya.
Dan sikap tsabat adalah cermin bagi setiap mukmin. Karena tsabat dapat menjadi mesin penggerak jiwa-jiwa yang rapuh. Ia dapat mengokohkannya. Tidak sedikit orang yang jiwa mati hidup kembali lantaran mendapatkan energi dari ketsabatan seseorang. Ia bagai inspirasi yang mengalirkan udara segar terhadap jiwa yang limbung menghadapi segala kepahitan. Seorang ulama menginagtkan kita, ‘berapa banyak orang yang jiwa mati menjadi hidup dan jiwa yang hidup menjadi layu karena daya tahan yang dimiliki seseorang’. Dan disitulah fungsi dan peran tsabat.
3. Dharibatut Thariq ilal Majdi war Rif’ah (upaya untuk menuju kesuksesan dan kejayaan)
Setiap kesuksesan dan kejayaan memerlukan sikap tsabat. Istiqamah dalam mengarungi aneka ragam bentuk kehidupan. Tentu tidak akan ada kesuksesan dan kejayaan secara cuma-cuma. Ia hanya akan dapat dicapai manakala kita memiliki pra syaratnya. Yakni sikap tetap istiqamah menjalani hidup ini. Tidak neko-neko. Seorang murabbi mengingatkan binaannya dengan mengatakan, ‘Peliharalah keteguhan hatimu, karena ia bentengmu yang sesungguhnya. Barang siapa yang memperkokoh bentengnya niscaya ia tidak akan goyah oleh badai sekencang apapun. Dan ini menjadi pengamanmu’.
Begitulah nasehat banyak ulama kita yang mengingatkan agar kita berupaya secara maksimal mengokohkan kekuatan hati dan keteguhan jiwa agar mendapatkan cita-cita kita.
Juga terhadap jalan dakwah. Kegemilangan jalan suci ini hanya dapat diraih dari sikap konsisten terhadap prinsip dakwah ini. Yang tidak mudah bergeser karena tarikan-tarikan kepentingan yang mengarah pada kecenderungan duniawiyah. Tanpa sikap tsabat, pelaku dakwah ini akan terseret pada putaran kehancuran dan kerugian dunia dan akhirat.
“Dan sesungguhnya mereka hampir memalingkan kamu dari apa yang telah Kami wahyukan kepadamu agar kamu membuat yang lain secara bohong terhadap Kami. Dan kalau sudah begitu tentulah mereka mengambil kamu jadi sahabat yang setia. Dan kalau Kami tidak memperkuat hatimu niscaya kamu hampir-hampir condong sedikit kepada mereka. Kalau terjadi demikian benar-benarlah Kami akan rasakan kepadamu siksaan berlipat ganda di dunia ini dan begitu pula siksaan berlipat pula sesudah mati dan kamu tidak akan mendapat seorang penolongpun terhadap Kami”. (Al-Isra’: 73 – 75).
Sikap ini menjadi daya tahan terhadap bantingan apapun dan dari sanalah ia mencapai kejayaannya. Sebagaimana yang diingatkan Rasulullah SAW. pada Khabab bin Al ‘Arts agar tetap bersabar dan berjiwa tegar menghadapi ujian dakwah ini bukan dengan sikap yang tergesa-gesa. Apalagi dengan sikap yang menginginkan jalan dakwah ini tanpa hambatan dan sumbatan.
4. Thariqun litahqiqil Ahdaf (Jalan untuk mencapai sasaran)
Untuk mencapai sasaran hidup yang dikehendaki tidak ada jalan lain kecuali dengan bermodal tsabat. Teguh meniti jalan yang sedang dilaluinya. Meski perlahan-lahan. ‘alon-alon asal kelakon’. Tidak tertarik untuk zig-zag sedikit pun atau sesekali. Melainkan mereka lakukan terus-menerus meniti jalannya dengan sikap tetap istiqamah. Bahkan dalam dunia fabel dikisahkan kura-kura dapat mengalahkan kancil mencapai suatu tempat. Kura-kura meski jalan pelan-pelan namun akhirnya menghantarkan dirinya pada tempat yang dituju.
Imam ‘Athaillah As Sakandary menasehatkan muridnya untuk selalu tekun dalam berbuat agar meraih harapannya dan tidak cepat lelah atau putus asa untuk mendapatkan hasilnya. ‘Barang siapa yang menggali sumur lalu berpindah pada tempat yang lain untuk menggali lagi dan seterusnya berpindah lagi maka selamanya ia tidak akan menemukan air dari lobang yang ia gali. Tapi bila kamu telah menggali lobang galilah terus hingga kamu dapatkan air darinya meski amat melelahkan’ (Kitab Tajul ‘Arus). Karenanya ketekunan dan ketelatenan menjdi alat bantu untuk mencapai cita-cita dan harapan yang dikehendakinya. Dan kedua hal itu merupakan pancaran sikap tsabat seseorang.
Tsabat meliputi beberapa aspek yakni:
Pertama, Tsabat Ala dinillah, teguh terhadap agama Allah SWT.
Keteguhan pada masalah ini dengan tidak menanggalkan agama ini dari dirinya walaupun kematian menjadi ancamannya. Sebagaimana wasiat yang selalu dikumandangkan oleh Khatib jum’at agar senantiasa menjaga keimanan dan ketaqwaan sehingga mati dalam keadaan muslim. Ini pula yang menjadi wasiat para Nabi kepada keturunannya.
“Dan Ibrahim telah mewasiatkan ucapan itu kepada anak-anaknya. Demikian pula Ya’kub. ‘Hai anak-anakku, sesungguhnya Allah telah memilih agama ini bagimu. Maka janganlah kamu mati kecuali dalam memeluk agama Islam”. (Al-Baqarah: 132).
Wasiat ini untuk menjadi warning pada kaum muslimin agar tetap memelihara imannya. Jangan mudah tergiur oleh kesenangan dunia lalu mengganti keyakinannya dengan yang lain. Menjual agamanya dengan harga mie instan atau sembako. Atau menukar prinsip hidupnya dengan kemolekan tubuh wanita. Atau ia mau mengganti aqidahnya dengan lowongan kerja dan kariernya. Na’udzu billahi min dzalik.
Kedua, Tsabat Alal Iltizam bidinillah, Tetap komitmen pada ajaran Allah SWT. baik dalam ketaatan maupun saat harus menerima kenyataan hidup. Ia tidak mengeluh atas apa yang menimpa dirinya. Ia tegar menghadapinya. Bangunan komitmennya tidak pernah pudar oleh kenyataan pahit yang dirasakannya. Keluhan dan penyesalan bukanlah solusi. Malah menambah beban hidup. Oleh karena itu keteguhan dan kesabaran menjadi modal untuk menyikapi seluruh permasalahannya. Rasulullah SAW. Bersabda: ‘As Shabir fihim ala dinihi kal qabidh alal jumari’.
Mereka yang menjaga komitmennya pada ajaran Allah senantiasa memandang bahwa apa saja yang diberikan-Nya adalah sesuatu yang baik bagi dirinya. Persepsi ini tidak akan membuat goyah menghadapi pengamalan pahit segetir apapun. Dan sangat mungkin merubahnya menjadi kenangan manis yang patut diabadikan dalam kumpulan album kehidupannya. Sebab segala pengalaman pahit bila mampu diatasi dengan sikap tegar maka ia menjadi bahan nostalgia yang amat mahal.
Ketiga, Tsabat Ala Mabda’ id Da’wah, teguh pada prinsip dakwah yang menjadi rambu-rambu dalam memberikan khidmatnya pada tugas agung ini. Memprioritaskan dakwah atas aktivitas lainnya sehingga dapat memberikan kontribusinya di jalan ini. Tanpa kenal lelah dan henti. Ia selalu terdepan pada pembelaan dakwah. Walau harus menderita karena sikapnya. Ketenangan dan kegusaran hatinya selalu dikaitkan dengan nasib dakwah. Ia tidak akan merasa nyaman bila dakwah dalam ancaman. Karena itu ia berupaya untuk selalu disiplin pada prinsip dakwah ini. Bergeser dari prinsip ini berakibat fatal bagi dakwah dan masa depan umat.
Perhatikanlah peristiwa Uhud, Bir Ma’unah dan lainnya. Peristiwa yang amat memilukan dalam sejarah dakwah tersebut diantaranya disebabkan oleh ketidak disiplinan kader pada prinsip dan rambu dakwah.
Izzatu Junudid Da’wah (harga diri seorang kader dakwah)
Saat ini kita memasuki era di mana tantangan dan peluang sama-sama terbuka. Dapat binasa lantaran tidak tahan menghadapi tantangan atau ia berjaya karena mampu membuka pintu peluang seluas-luasnya. Karena itu kita dituntut untuk bersikap tsabat dalam kondisi dan situasi apapun. Senang maupun susah, sempit ataupun lapang. Tidak pernah tergoda oleh bisikan-bisikan kemewahan dan kegemerlapan lalu tertarik padanya dan lari dari jalan dakwah.
Tsabat tidak mengenal waktu dan tempat, dimana pun dan kapan pun. Kita tetap harus mengusung misi dan visi dakwah kita yang suci ini. Untuk menyelamatkan umat manusia dari kehinaan dan kemudharatan. Dengan jiwa tsabat ini kader dakwah memiliki harga diri di mata Allah SWT. maupun di mata musuh-musuhnya. Melalui sikap ini seorang kader lebih istimewa dari pada kebanyakan orang. Dan ia menjadi citra yang tak ternilai harganya.
Imam Hasan Al Banna menegaskan, ‘janganlah kamu merasa kecil diri, lalu kamu samakan dirimu dengan orang lain. Atau kamu tempuh dalam dakwah ini jalan yang bukan jalan kaum mukminin. Atau kamu bandingkan dakwahmu yang cahayanya diambil dari cahaya Allah dan manhajnya diserap dari sunnah Rasul-Nya dengan dakwah-dakwah lainnya yang terbentuk oleh berbagai kepentingan lalu bubar begitu saja dengan berlalunya waktu dan terjadinya berbagai peristiwa. Kuncinya adalah Tsabat dalam jalan dakwah ini’. Kalau begitu bagaimana bangunan tsabat yang kita miliki?.
Wallahu ‘alam bishshawwab.
“Duhai pemilik hati, wahai pembolak balik jiwa, teguhkanlah hati dan jiwa kami untuk senantiasa berpegang teguh pada agama-Mu dan ketaatan di jalan-Mu”.
http://www.al-ikhwan.net
Langganan:
Postingan (Atom)